was successfully added to your cart.

DARI HOMO ECONOMICUS KE HOMO HUMANUS

Oleh 23 September 2025 Articles
DARI HOMO ECONOMICUS KE HOMO HUMANUS

Kita mungkin bingung melihat angka penggelapan yang dilakukan para koruptor ketika tertangkap. Besaran nilainya sungguh tak terbayangkan bila dibandingkan dengan kehidupan yang kita jalani ini. Apa saja yang bisa dibeli dengan uang sebanyak itu? Untuk apa orang harus memiliki uang sebanyak itu sampai rela mengambil hak orang lain dengan menghambat pertumbuhan negara yang seharusnya bisa menyejahterakan orang banyak?

Apakah ini merupakan gambaran dari paradigma homo economicus yang dikemukakan John Stuart Mill, ahli ekonomi, pada abad ke-19? Pandangan yang menganggap manusia sebagai makhluk rasional yang hanya bertindak demi kepentingan ekonominya sendiri, mengejar keuntungan pribadi, uang, dan efisiensi? Tidak mementingkan apa, mengapa, siapa, tetapi lebih berfokus pada “berapa”-nya. Media sosial pun marak dengan budaya flexing yang memamerkan kekayaan, menjual mimpi bagi yang lain. 

Mill juga mengingatkan, paradigma ini hanyalah sebuah model analisis karena senyatanya manusia sering tidak hanya berpikir untung-rugi, tetapi juga mempertimbangkan faktor sosial, moral, bahkan emosional. Dalam situasi ekonomi yang sulit, banyak yang mengingatkan untuk membeli kepada pedagang kecil meskipun mungkin dengan harga yang sedikit lebih mahal.

Pola pikir homo humanus yang melihat setiap individu sebagai manusia yang utuh dengan emosi, moralitas, kebersamaan, dan tujuan lebih besar dari sekadar materi juga banyak diadaptasi oleh anak-anak generasi Z. Mereka lebih mengutamakan penghargaan terhadap nilai dirinya sebagai manusia dibandingkan dengan besaran upah yang akan mereka terima.

Erika James, Dekan Wharton School, menyatakan, generasi mahasiswa yang datang ke sekolah bisnis saat ini memiliki ekspektasi berbeda. Mereka menuntut agar kurikulum juga membahas isu keadilan sosial dan etika, memaksa fakultas untuk lebih peka, dan menyesuaikan diri dengan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Dialog langsung dengan para eksekutif membahas tantangan yang mereka hadapi di dunia nyata menjadi metode pembelajaran yang dicari para mahasiswa.

Hal inilah yang banyak membuat kaum menengah sekarang lebih peduli pada isu politik. Ketidakadilan, keberagaman, dan inklusi ini bukan sekadar politik tetapi mengenai kemanusiaan. Keputusan mengenai harga beras, bensin, listrik, dan akses kesehatan adalah keputusan politik yang pada akhirnya menyentuh kehidupan kita semua.

Humanisasi, bukan ekonomisasi

Martin Reeves dan koleganya dari Boston Consulting Group mengutip Aristoteles yang membedakan dua aktivitas ekonomi. Pertama, chrematistike yang dikenal sebagai seni mengejar kekayaan sebagai tujuan akhir dengan menumpuk harta. Kedua, oikonomia yaitu seni mengelola kebutuhan hidup sehingga manusia bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka dengan baik, misalnya dengan pertanian dan peternakan.

Chrematistike ini memiliki dua bentuk, yang pertama dinilai masih dalam batas kewajaran misalnya berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan saling menukar kelebihan yang dimiliki. Sementara itu, yang kedua dinilai tidak alami ketika menimbulkan eksploitasi berlebihan demi keuntungan semata.

Ketika perusahaan hanya terpaku pada chrematistike, yang muncul adalah ekstraksi jangka pendek. Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa perusahaan yang mengutamakan oikonomia justru mengalami pertumbuhan lebih cepat dan keuangan yang lebih kuat. Ini mengingatkan kita bahwa berfokus pada emosi, relasi, dan moralitas kemanusiaan justru memberikan keuntungan jangka panjang.

Sudah waktunya kita mendahulukan pandangan homo humanus mengingat manusia adalah makhluk yang mencari makna, ingin berkembang, dan berkontribusi lewat pekerjaan dan keahliannya. Seorang manajer, CEO, bahkan presiden seyogianya tidak hanya berfokus pada pencapaian target, tetapi juga bagaimana membangun lingkungan tempat manusia bisa tumbuh menjadi pribadi yang utuh.

Beberapa ahli mengatakan, negara kita tidak hanya memiliki kekayaan alam, tetapi juga mempunyai kekayaan demografi yang luar biasa, yaitu manusianya. Penduduk Indonesia tercatat 285 juta, nomor 4 terpadat di dunia. Bayangkan kalau 50 persennya saja memiliki moralitas dan kompetensi yang kuat untuk menjadi motor penggerak dalam segala bidang. Alangkah kuatnya negara kita.

Negara memang sudah waktunya menjadi lebih humanis. Negara tidak bisa hanya mengejar pertumbuhan PDB, tetapi mengabaikan kesulitan rakyat bawah untuk hidup, mengejar kesehatan dan pendidikan. Demikian pula dalam perusahaan, pertumbuhan dan kesejahteraan manusia di dalamnya adalah kunci keberlangsungan hidup perusahaan.

Dari angka menuju arah

Untuk menjadi perusahaan yang lebih humanis, perlu adanya tindakan yang konsisten dengan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, bahkan meskipun hal itu tampak merugikan secara jangka pendek.

CVS Health, perusahaan ritel di bidang kesehatan, menghentikan seluruh penjualan rokoknya agar sejalan dengan komitmen mereka untuk menjaga masyarakat menempuh jalan menuju kesehatan yang lebih baik meski hal ini membuat pendapatan mereka menurun cukup signifikan pada awalnya.

Unilever menjadi contoh perusahaan dengan kampanye sustainable living. Mereka mendefinisikan tujuan sosial di balik setiap merek. Dove berbicara soal kepercayaan diri perempuan. Lifebuoy mendorong cuci tangan sehat. Hal ini membuat merek-merek dengan misi sosial yang kuat tumbuh lebih cepat daripada merek lain pada portofolio mereka.

Langkah-langkah menuju humanisasi, antara lain mendefinisikan tujuan sosial yang konsisten, mengadopsi metrik kesejahteraan di samping metrik keuangan, berinvestasi dalam teknologi yang menjawab kebutuhan manusia, mendidik ulang pekerja, mendukung ekosistem bisnis kecil, meningkatkan keberagaman, membangun narasi positif tentang globalisasi dan teknologi, hingga menghubungkan keuntungan dengan keberlanjutan jangka panjang.

Mantan pemimpin Selandia Baru, Jacinda Ardern, dipuji sebagai simbol kepemimpinan empatik. Ia memberi ruang besar pada identitas dan tradisi Maori. Bahasa Maori digunakan di ruang publik, doa-doa adat hadir di forum resmi, sehingga penduduk asli merasa dihargai. Akibatnya, imigran pun terdorong ikut merasakan semangat itu.

Bahkan, tarian perang Haka dijadikan ekspresi budaya dalam setiap kegiatan, seperti pertandingan olahraga maupun pertemuan kenegaraan lainnya. Inilah bukti humanisasi bisa menjadi perekat bangsa, bukan sekadar strategi ekonomi. Selandia Baru di bawah Ardern terlihat lebih tangguh karena spirit kebangsaannya berdiri di atas fondasi kemanusiaan.

Hanya dengan memanusiakan manusia, kita bisa menemukan keseimbangan baru dengan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial berjalan beriringan.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 20 September 2025

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #homo #economicus #humanus

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com