
Dalam sesi wawancara kerja, ada satu pertanyaan yang sering diajukan pewawancara, “Ceritakan tentang diri Anda.” Sekilas pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi sebenarnya tidak mudah dijawab. Biasanya, kita menjelaskan diri dengan menyebutkan hal-hal yang melekat pada diri kita, seperti latar belakang pendidikan, agama, prestasi, atau identitas lainnya. Namun, ketika semua atribut itu berubah atau hilang, apakah jati diri kita juga ikut berubah? Lalu, pada akhirnya, siapa sebenarnya diri kita?
Fenomena ini semakin kompleks pada era digital. Tidak jarang pembentukan tentang siapa diri kita didasarkan pada tuntutan lingkungan sosial, apa yang mereka sukai, apa yang mereka harapkan untuk dilihat. Hal ini membuat beberapa orang melakukan hal-hal yang belum tentu sesuai dengan dirinya sekadar untuk meningkatkan perhatian terhadap media sosialnya. Jati diri kita dipengaruhi oleh jumlah like yang diterima.
Mereka yang tidak tahu siapa dirinya mudah sekali goyah, terombang-ambing oleh opini orang lain, bahkan terjebak dalam kecemasan tanpa ujung. Naomie Pilula, pengacara asal Zambia, menjadi viral ketika foto selfie-nya mendapatkan ribuan komentar jahat terkait fisiknya.
Ia sempat terguncang dan marah dengan komentar itu, tetapi kemudian ia menyadari bahwa dirinya tidak ditentukan oleh komentar orang lain. Alih-alih menghapus postingan-nya, ia menyatakan, “Saya bukan orang yang secara estetika cantik. Saya bukan, dan itu tidak apa-apa. Tapi, saya mencintai diri sendiri dan bisa menjadi diri sendiri. Dan, dengan demikian, ada tingkat kecantikan tertentu karena setiap orang memiliki cahaya yang layak untuk bersinar.”
Banyak eksekutif yang mengalami krisis identitas ketika label-label yang sebelumnya melekat pada dirinya, tiba-tiba hilang ketika mereka tergerus dari restrukturisasi organisasi atau memasuki masa pensiun. Tidak ada lagi label jabatan yang melekat pada dirinya. Mereka yang memilih memandang situasi ini sebagai kesempatan untuk menemukan identitas baru dapat menemukan cara untuk menjalani hidup dengan lebih autentik.
Eksistensi, sebuah proses
David Mandel, seorang penulis skenario di Amerika yang terpaksa harus kembali tinggal bersama orangtuanya pada usia 31 tahun, menceritakan bagaimana refleksi dirinya saat ia berada dalam krisis tersebut. Pernah tinggal di apartemen mewah dengan penataan desainer interior sebagai simbol kesuksesannya, ia akhirnya harus menghadapi kenyataan saat kehilangan segalanya hingga merasa seolah kehilangan sebagian dirinya. Namun, dari titik rapuh itu, ia menemukan kekuatan baru.
Ia mengatakan, “Terkadang, kehilangan jati diri yang kamu kira adalah satu-satunya cara untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya.” Ia belajar bahwa identitas tidak hanya mengenai profesi atau apa pun pencapaian yang kita raih, tetapi juga tentang keberanian menerima kenyataan menghadapi siapa diri kita ketika apa yang kita miliki lenyap.
Pertanyaan “siapa saya” memang tidak sederhana. Heather Plett, penulis dan mentor mengenai cara menyediakan ruang aman dan mendukung dalam proses penyembuhan, konflik, dan transformasi personal, menyatakan bahwa penemuan identitas selalu merupakan sebuah proses. Kita selalu bergerak, merajut, mengubah, dan membentuk diri sepanjang hidup.
Julian Frazier, psikolog klinis yang banyak menangani kasus krisis eksistensial, juga mengatakan bahwa identitas justru berakar pada tubuh dan tindakan kita sehari-hari. “Identitas bermula dari tubuh, siapa kita sebenarnya tidak hanya terungkap melalui pikiran kita, tetapi juga melalui tindakan kita, gerakan kita, dan kehadiran kita.”
Artinya, identitas ini tidak dapat dikejar dengan tergesa-gesa. Label yang sempit, seperti saya dokter, saya manajer, saya orang sukses tidak menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya. Kita perlu menunjukkan identitas melalui bagaimana kita hadir, dari tindakan nyata yang kita lakukan dalam menghadapi beragam situasi yang berbeda.
Perkuat eksistensi diri
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memperkuat eksistensi diri. Pertama, berani menghadapi krisis. Krisis bisa membuat kita menyingkap lapisan identitas lama dan menemukan akar jati diri kita yang lebih dalam. Seseorang yang kehilangan pekerjaannya di perusahaan multinasional tapi dapat menemukan panggilan barunya, tidak akan berlama-lama larut dalam kesedihan maupun rasa malu. Ia justru merasa lebih “hidup” ketika membuka usaha dari hobinya dibanding saat duduk di kursi eksekutif.
Kedua, melepaskan label yang sempit tentang siapa diri kita. Jati diri kita bukan hanya profesi, jabatan, atau status sosial. Kita bisa mengenali diri kita sebagai pembelajar, penggerak semangat, pendamping orang lain. Identitas yang lebih luas membuat kita lebih lentur menghadapi perubahan. Seorang atlet yang cedera dan tidak bisa bertanding lagi, dapat menemukan identitas baru sebagai pelatih atau motivator ketika ia menyadari kekuatannya untuk menginspirasi orang lain. Ia tidak berhenti eksis hanya karena satu peran hilang.
Ketiga, hidupkan nilai, bukan sekadar peran karena eksistensi sejati terikat pada nilai. Jika nilai kita adalah keberanian, kita eksis ketika berani bersuara meski berbeda. Jika nilai kita adalah kasih, kita eksis saat hadir memberi empati kepada orang lain. Seorang perawat di tengah pandemi mungkin merasa kewalahan menghadapi kematian demi kematian. Namun, ketika ia tetap memegang tangan pasien yang kesepian, ia tahu dirinya eksis sebagai wujud kasih.
Keempat, mencatat momen-momen eksistensial agar tidak terlupakan. Seorang teman rutin menulis jurnal sebelum tidur. Ia bertanya pada dirinya sendiri, kapankah kehadiran saya memberi dampak pada hari ini? Kadang jawabannya sederhana, saat ia memberi tumpangan kepada rekan kerja yang kesulitan transportasi, atau saat ia berani menyuarakan pendapatnya meskipun bertentangan dengan suara mayoritas. Dari hal-hal kecil itulah, rasa eksis bisa diperkuat.
Kelima, menemukan koneksi. Eksistensi kita sering kali teruji dalam hubungan. Saat kita merasa “terlihat” dan “didengar” orang lain, kita lebih yakin bahwa keberadaan kita berarti. Pada era kerja hibrida, banyak karyawan muda merasa tidak dilihat atasan. Pertanyaan seperti “apa yang membuatmu paling bersemangat di minggu ini?” dapat memberi ruang bagi karyawan untuk menyadari bahwa mereka tidak sekadar sekrup atau baut dalam mesin, tetapi juga manusia yang memiliki makna dan ceritanya sendiri.
Pada akhirnya, eksistensi bukanlah soal tampil di panggung, viral di medsos, ataupun memiliki jabatan prestisius. Eksistensi adalah ketika kita hadir utuh, sadar siapa kita, apa nilai kita, dan apa kontribusi yang kita pilih. Eksistensi berarti tetap teguh ketika dunia menawarkan seribu label baru dan tetap jujur ketika tekanan membuat kita ingin bersembunyi.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 6 September 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #eksistensi