
Kita pasti memiliki pengalaman berinteraksi langsung dengan pemilik usaha yang bersemangat menawarkan produknya sebab memberikan solusi atas kebutuhan pelanggan adalah kunci sukses keberhasilan usahanya. Di sisi lain, ada pegawai yang “sekadar” menjalankan tugasnya. Ia hanya berpatokan pada SOP tanpa upaya mencari jalan keluar yang dapat mengakomodasi kebutuhan pelanggan. Akibatnya, pelanggan bisa jadi pergi dengan kecewa dan mencari tempat lain yang dapat memberikannya solusi.
Sense of ownership tidak hanya dimiliki pemilik usaha, tetapi juga bisa dimiliki siapa saja. Contohnya, seorang asisten rumah tangga di Taiwan memilih tetap melindungi majikannya saat gempa, meski berisiko bagi dirinya. Sebaliknya, ada kisah menyedihkan orangtua yang meninggal sendirian karena kurangnya kepedulian anak.
Colleen Barrett, sosok legendaris di balik kesuksesan Southwest Airlines, memulai langkahnya sebagai sekretaris hukum Herb Kelleher, pendiri Southwest Airlines. Tugas resminya mengurus dokumen, menjadwalkan pertemuan, dan pekerjaan administratif biasa. Namun, Colleen tidak hanya mengurus kertas. Ia terjun membantu petugas frontline, memastikan para karyawan merasa dihargai, dan menanamkan budaya pelayanan sepenuh hati. Ia dikenal rela melakukan hal-hal kecil yang sebenarnya bukan tugasnya, seperti mengatur makanan untuk kru penerbangan, menghibur karyawan yang stres, bahkan turun langsung melayani pelanggan saat dibutuhkan.
Herb Kelleher sering berkata bahwa Colleen adalah “jiwa” Southwest. Ia percaya, kepemimpinan bukan soal jabatan, melainkan soal kepedulian. Dari situlah ia dipromosikan menjadi vice president, lalu executive VP of customers, hingga akhirnya dipercaya menjadi Presiden Southwest Airlines pada 2001, perempuan pertama yang memimpin maskapai besar Amerika.
Mereka yang memiliki sense of ownership tidak segan menerima tantangan baru ketika melihat hal ini merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk lebih maju, tidak bersembunyi di balik alasan tidak mampu dan melemparkan tanggung jawab pada pihak lain. Mereka berupaya keras memikirkan cara lain bisa dengan bertanya ke Chat-gpt maupun mencari ahli yang dapat memberikan solusi untuk kemajuan perusahaan.
Aneka bentuk kepemilikan
Ownership bisa lahir dalam berbagai lapisan dan bentuk yang berbeda-beda. Ada ownership psikologis ketika seseorang merasa perusahaan ini adalah bagian dari dirinya, sehingga keputusan dan keberhasilan perusahaan dirasakan sebagai miliknya sendiri. Karyawan seperti memiliki skin in the game.
Ada juga ownership budaya ketika organisasi menekankan we over me, menghargai kontribusi tim lebih dari sekadar prestasi individu. Karyawan menyadari bahwa kontribusinya secara individual tidak akan berarti bila tidak bekerja sama dengan individu lain.
Selain itu, ada ownership struktural, ketika tata kelola perusahaan memberi ruang bagi keterlibatan berbagai pihak, dan ownership kolektif yang hadir dalam bentuk kepemilikan bersama seperti koperasi atau employee-owned company. Semua bentuk ini, bila diramu dengan seimbang, akan menumbuhkan rasa memiliki yang nyata.
Mengencangkan kepemilikan
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengencangkan rasa memiliki ini di organisasi kita? Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, mulai dari transparansi. Informasi adalah bahan bakar rasa memiliki.
Salah satu kebiasaan terkenal Warren Buffett adalah menulis surat tahunan kepada para pemegang saham Berkshire Hathaway. Surat yang tidak sekadar laporan keuangan, tetapi juga refleksi penuh kejujuran. Ia memperlakukan surat itu seakan sedang berbincang dengan sahabat, bukan sekadar “melaporkan” angka-angka.
Buffett tidak ragu mengakui kesalahan, bahkan menuliskannya dengan lugas, “Keputusan ini adalah blunder saya.” Transparansi semacam ini membuat para pemegang saham merasa benar-benar dihargai sebagai pemilik sejati, bukan sekadar penonton dari pinggir lapangan. Dari sini, kita belajar bahwa ownership sejati tidak hanya soal kepemilikan saham, tetapi juga bagaimana memperlakukan orang lain yang juga ikut memiliki. Kejujuran Buffett menjadi bentuk tertinggi dari penghargaan terhadap kepemilikan bersama.
Kedua, mendorong keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Menurut Elizabeth Lotardo, pemimpin yang berniat baik dengan selalu turun tangan menyelesaikan masalah tim justru membuat tim menjadi tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri. Akibatnya, muncul bottleneck masalah, pemimpin kelelahan, dan ownership pun berkurang.
Alih-alih langsung memberi jawaban, pemimpin bisa bertanya, “Apa yang sudah kamu coba?” atau “Kalau kamu ada di posisi saya, apa yang akan kamu lakukan?” Pertanyaan kecil ini memaksa karyawan berpikir selayaknya pemilik yang berani mengambil keputusan, bukan hanya sebagai pelapor.
Ketiga, rayakan keberhasilan tim. Imamu Tomlinson, seorang dokter yang berfokus memberdayakan tenaga medis di garis depan untuk berdampak nyata dalam komunitas mereka memperkenalkan culture of brilliance, budaya ketika menghargai keseluruhan tim, bukan hanya sang pencetak gol. Dengan pendekatan yang berfokus pada kelompok, ia berhasil membangun motivasi dan loyalitas tim hingga mendapat penghargaan internasional dengan keberhasilan programnya.
Keempat, jika memungkinkan, buat program kepemilikan nyata baik melalui saham maupun pembagian keuntungan. Program GoTo People Shares Program (GPSP) yang diberikan pada seluruh ekosistem Gojek memberikan pesan bahwa “pertumbuhan GoTo adalah pertumbuhan kita bersama”. Para penopang ekosistem GoTo tidak sekadar “penyedia jasa,” tetapi juga menjadi bagian pemilik masa depan perusahaan.
Kelima, dengan membuat karyawan merasakan dampak dari hasil kerja mereka terhadap organisasi, masyarakat, bahkan dunia. Patagonia memiliki slogan, “We’re in business to save our home planet”. Semua karyawan tahu, setiap produk yang mereka buat, setiap kampanye yang mereka jalankan, adalah bagian dari perjuangan melawan krisis iklim.
Pada 2022, Yvon Chouinard, pendiri Patagonia, mengalihkan kepemilikan perusahaan ke dua organisasi nonprofit lingkungan, yang berarti keuntungan perusahaan bukan lagi untuk keluarga Chouinard, melainkan misi lingkungan. Ini membuat karyawan benar-benar merasa bekerja untuk sesuatu yang lebih besar daripada bisnis semata.
Pada akhirnya, karyawan bukan cuma pekerja yang menukar waktu dengan gaji. Mereka adalah penjaga api keberlangsungan perusahaan. Ownership tidak hanya tentang siapa pemegang saham terbesar, tetapi juga tentang apakah setiap orang di dalamnya merasa dengan tulus, “Ini perusahaan saya. Masa depannya adalah masa depan saya.”
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 29 Agustus 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #rasa #memiliki