
Dalam banyak organisasi, penilaian performa kerja sering kali dilihat dari kemampuan individu mencapai target yang diberikan dengan keterampilan teknis yang dimiliki. Kepemimpinan dikaitkan dengan strategi, angka dan visi masa depan, seberapa cemerlang rencananya, atau seberapa tajam logikanya.
Namun, pernahkah kita bertemu dengan pemimpin yang sangat kuat dalam pemikiran strategisnya, tetapi mudah meledak ketika ada yang tidak sesuai dengan keinginannya? Selain itu, rekan kerja yang sigap menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, tetapi sering membangun suasana tegang dengan komentar-komentar pedasnya terkait dengan pekerjaan rekan lain.
Dalam dunia kerja yang penuh perbedaan perspektif, konflik ide, dan tekanan deadline, kemampuan menerima kritik tanpa baper, menanggapi masalah tanpa drama, dan menghargai pandangan yang bertolak belakang adalah kunci. Kepemimpinan sejati berakar dari rasa, bukan sekadar hasil.
Seperti yang ditulis Mick Hunt, “Jika tak bisa merasakan tim, kita sebenarnya tidak sedang memimpin.” Banyak dari kita bekerja dalam tim yang terlihat solid di luar, tetapi hampa di dalam. Semua itu membutuhkan kesadaran diri dan pengendalian emosi yang diasah dari pengalaman dan refleksi.
Kecerdasan vs kematangan emosi
Kematangan emosional berbeda dengan kecerdasan emosi (EQ) yang sering didengung-dengungkan sebagai salah satu komponen penting untuk dimiliki seorang pemimpin. EQ yang tinggi dapat membantu individu untuk mengidentifikasi emosi dirinya dan orang lain, serta menyesuaikan dengan situasi yang ada.
Sementara dalam kematangan emosional, individu perlu memiliki tingkat kesadaran diri agar tidak dikendalikan oleh emosinya meskipun dipicu. Ia memiliki tanggung jawab penuh atas perilakunya sendiri sehingga tidak reaktif terhadap situasi. EQ ibarat seseorang yang memiliki keterampilan memasak dengan baik, sementara orang dengan kematangan emosional adalah mereka yang bisa menahan diri ketika berpuasa, tidak tergoyahkan meskipun di hadapannya disajikan masakan-masakan lezat.
Oleh karena itu, EQ yang tinggi bisa saja dimiliki semenjak muda. Kita tahu ada anak-anak yang memiliki kepekaan untuk membaca emosi orangtuanya, tahu kapan saat yang tepat untuk meminta mainan yang diinginkannya, kapan orangtuanya mulai menunjukkan kemarahan sehingga ia harus mengubah perilakunya. Sementara itu, kematangan emosional terbentuk melalui refleksi, pengalaman, dan pengembangan kepribadian.
Memiliki kematangan emosional bukan berarti menjadi pendiam ataupun menekan perasaan agar tidak memicu konflik. Mereka yang menekan perasaan bisa jadi menarik diri ketika situasi tidak nyaman dan menghindari pengambilan keputusan. Ini adalah tentang hadir sepenuhnya dengan emosi yang utuh namun terkelola.
Pemimpin yang matang secara emosional tidak khawatir ataupun menghindar ketika ia tidak tahu jawaban dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh timnya. Ia berani untuk berkata jujur bahwa dia belum tahu, dan dengan terbuka mengajak tim untuk berjalan bersama dengannya menghadapi ketidaktahuan tersebut. Ia mampu memberi ruang tanpa kehilangan arah, dengan kehadirannya, baik secara fisik maupun emosional.
Ia mampu menangani konflik dengan tenang, tanpa keberpihakan karena berusaha memahami perspektif semua pihak. Ia menciptakan ruang yang menumbuhkan rasa saling menghargai sehingga mampu mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik. Dalam hiruk-pikuk kehidupan berorganisasi, kematangan emosional ini akan menjadi batu karang yang berdiri kokoh menghadapi terpaan ombak.
Melatih kematangan emosi
Kematangan tidak bisa datang secara instan. Ia berbentuk tumpukan refleksi dari kejadian sehari-hari ketika kita berhasil memenangkan pertarungan, terutama dengan diri sendiri. Untuk itu, kita perlu berlatih agar kekuatan pribadi kita semakin lama semakin besar. Ada empat hal penting yang menjadi fondasi sehari-hari bagi pemimpin dengan kematangan emosional.
Pertama adalah kehadiran, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosi. Pemimpin yang hadir menciptakan rasa terlihat, rasa dihargai.
Kedua, empati. Bagaimana kita memahami yang dipikir, dirasakan oleh tim, bagaimana mereka memaknai pekerjaannya. Melalui empati inilah hubungan emosi terbangun dan performa kerja pun meningkat tanpa harus didorong ataupun dipaksa.
Ketiga, keberanian. Keberanian untuk berbicara jujur, terutama saat diam menjadi pilihan yang lebih mudah. Keberanian untuk tidak berlindung di balik angka, tapi bicara tentang makna dan rasa.
Keempat, menahan. Cepat tidak berarti tepat. Untuk itu, kita perlu mengambil napas, menimbang kata, dan memilih respons terbaik untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan, baik untuk sekarang maupun jangka panjang. Memiliki kematangan emosional berarti kita berpikir tidak hanya untuk here and now, tetapi justru untuk masa yang akan datang.
Meningkatkan kematangan emosional membutuhkan kombinasi dari latihan kesadaran diri, pengendalian diri, dan mengolah pengalaman hidup. Mulai dari mengambil jeda sebelum berespons untuk berpikir apa yang sebenarnya saya rasakan saat ini, apakah ini sekadar reaksi dari rasa takut atau tanggapan yang sudah saya pikirkan baik-baik? Kita juga bisa membuat catatan tentang emosi yang kerap muncul dan bagaimana seharusnya sikap yang lebih dewasa bisa ditampilkan.
Kita tidak selalu bisa mengendalikan perasaan yang muncul, tapi kita bisa mengelola reaksi. Belajar untuk memahami perbedaan antara hal-hal yang bisa kita kendalikan serta yang tidak dan berfokus pada apa yang bisa kita upayakan. Bangun keberanian untuk mengambil tanggung jawab penuh atas perasaan kita.
Kitalah empunya perasaan dan reaksi yang kita munculkan. Kita bukan robot yang bisa dikendalikan orang lain untuk merasa marah ataupun senang. Alih-alih mengatakan, “Kamu membuat saya marah,” katakan, “Saya merasa marah dengan perbuatanmu, tetapi saya bisa memahami, mari, kita cari jalan keluarnya.”
Dengan menggunakan bahasa konstruktif saat menyampaikan kekecewaan, kita dapat menciptakan rasa aman psikologis bagi orang lain untuk menjadi manusia seutuhnya.
Jika ini bisa kita bangun bersama, organisasi tak hanya akan menjadi lebih sehat, tetapi juga lebih kuat. Karena pada akhirnya, tidak hanya hasil akhir yang penting, tetapi juga bagaimana proses perjalanan kita sampai ke sana.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 16 Agustus 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #kematangan #emosional