
Istilah sudah duduk lupa berdiri menggambarkan pemimpin yang enggan melepas kekuasaan meski masa jabatannya telah usai. Dalam bisnis, hal ini tampak dari berbagai upaya mempertahankan pengaruh, dalih dibutuhkan, hingga mengoreksi suksesor. Sikap semacam ini mencerminkan kegagalan mempersiapkan suksesi dan ketidakmampuan mundur secara elegan.
Pemimpin yang pada masa awalnya penuh dengan semangat pembaruan pun dapat berubah menjadi tidak lagi relevan sehingga muncul gejala keletihan kolektif. Keputusan-keputusan yang dulu progresif, sekarang justru menghambat. Inovasi digantikan rutinitas. Kepercayaan bahwa "hanya saya yang bisa" menjadi selimut yang membutakan.
Pemimpin seperti itu tidak hanya kehabisan energi, tetapi juga membunuh dinamika organisasi dengan keyakinan bahwa dirinya yang paling paham, paling kompeten, dan paling bijak. Padahal, organisasi bukanlah panggung untuk mempertahankan kejayaan pribadi, melainkan ruang untuk regenerasi. Semakin lama ia bertahan, semakin besar harga yang harus dibayar oleh organisasi.
Proses pergantian pimpinan sebenarnya merupakan sebuah perjalanan psikologis. "Melepaskan kekuasaan bukanlah masalah prosedural, itu adalah perjalanan psikologis," tulis Harvard Business Review (HBR). Banyak pemimpin yang merasa identitas dirinya lekat dengan jabatan yang dimiliki sehingga melepas jabatan berarti kehilangan makna hidupnya. Oleh karena itu, tak heran jika banyak pemimpin menunda suksesi, bukan karena belum waktunya, melainkan tidak siap kehilangan sorotan. Mereka lebih memilih memanipulasi struktur, menunda keputusan, bahkan membuat penerus terlihat tidak siap.
Beragam cara dilakukan pemimpin senior untuk mempertahankan jabatan dengan cara-cara simbolis: tetap menjadi "penasihat utama", tampil dalam konferensi, sampai memastikan seluruh proses perubahan sekecil apa pun dalam organisasi harus mendapatkan persetujuannya terlebih dahulu. Dalam perusahaan keluarga, ayah bisa memberikan jabatan CEO pada anaknya, tapi tetap memegang seluruh kendali keputusan. Di pemerintahan, pemimpin bisa saja lengser secara formal, tetapi seluruh aparatur tetap merujuk padanya.
"Suksesi adalah budaya, bukan sekadar peristiwa." Budaya regenerasi tidak bisa dibangun seketika. Ia harus menjadi bagian dari cara berpikir organisasi sejak awal. Namun, yang kerap terjadi adalah sebaliknya. Suksesi hanya dibicarakan saat krisis ketika ada posisi kosong yang harus segera diisi karena satu dan lain hal. Atau lebih buruk, sengaja dihindari karena dianggap mengancam kekuasaan.
Dalam organisasi yang sehat, menyiapkan penerus merupakan wujud tanggung jawab setiap pemimpin puncak. Organisasi seperti Unilever membangun program leadership pipeline semenjak level manajerial. Procter & Gamble merancang siklus suksesi dengan saksama. Mereka sadar bahwa regenerasi bukan soal jabatan, melainkan kesinambungan.
Mundur dengan elegan
Hal yang mungkin sering terabaikan adalah memberikan penghormatan kepada pemimpin yang mundur, tidak hanya dalam bentuk upacara perpisahan, tetapi juga bagaimana kita mengapresiasi kontribusinya selama ini dan meneruskan mimpinya yang belum terealisasi.
"Martabat pemimpin yang akan mundur merupakan bagian dari warisan perusahaan."
Dalam keberanian untuk mundur, seorang pemimpin justru menunjukkan kelasnya. HBR menyebut, "Perencanaan suksesi tidak hanya tentang mengidentifikasi pengganti, tetapi juga memastikan kelanjutan visi, budaya, dan kepercayaan." Tanpa perencanaan suksesi yang jelas, organisasi tidak siap dan kehilangan arah saat pemimpin lengser secara mendadak.
Dampaknya sangat nyata. Ketidaksiapan menghadapi transisi kepemimpinan bisa memicu kerugian besar, tidak hanya secara finansial, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik dan talenta terbaik. Krisis ini terjadi, baik di perusahaan maupun negara, seperti saat isu mundurnya menteri keuangan membuat pasar saham anjlok karena ketidakpastian kepemimpinan.
Ingatkah ketika ada desas-desus mundurnya menteri keuangan kita, secara serentak pasar saham pun terpuruk. Hal ini akibat kekhawatiran pasar yang tidak jelas siapa yang nantinya akan memimpin, siapa yang bertanggung jawab, dan siapa yang benar-benar memegang kendali.
Kita belajar dari tokoh-tokoh besar yang tahu kapan waktunya pergi. Nelson Mandela hanya menjabat satu periode karena ia sadar revolusi bukanlah miliknya pribadi. Angela Merkel mundur tanpa drama setelah 16 tahun memimpin Jerman meski ia masih sangat populer. Di dunia korporasi, Bill Gates menyerahkan tongkat estafet kepada Steve Ballmer dan fokus pada filantropi. Mereka tahu legacy bukan mengenai bagaimana tetap berada di atas, melainkan bagaimana meninggalkan fondasi yang kokoh.
Pemimpin yang mundur dengan anggun akan tetap dikenang, bukan karena berapa lama ia memimpin, melainkan bagaimana ia memberi ruang bagi yang baru untuk tumbuh.
Suksesi yang sehat
Bagaimana pemimpin menjalankan tanggung jawabnya untuk mewariskan legacy demi keberlangsungan organisasi?
Pertama, penerus harus dipersiapkan dengan saksama, melalui proses terbuka. Ketertutupan hanya menciptakan spekulasi. Persiapan tidak hanya pada proses pemilihan, tetapi juga bagaimana membentuk talenta yang mandiri. Pemimpin dapat mempersiapkan penerusnya dengan melakukan mentoring, pelatihan hingga memberi ruang eksperimen. Penerus bukanlah fotokopi dari pemimpin yang ada. Mereka harus memiliki kebebasan untuk menunjukkan gaya kepemimpinannya sendiri.
Kedua, beri makna pada perpisahan. Buatlah pemimpin yang mundur tetap menjadi bagian dari narasi organisasi. Sebab masa depan yang kuat selalu berdiri di atas penghargaan terhadap fondasi masa lalu. Pemimpin yang merasa disingkirkan tanpa penghargaan bisa menjadi penghambat, bahkan menyabotase transisi.
Ketiga, buatlah transisi menjadi bagian dari budaya organisasi. Pergantian bukan hanya terjadi pada saat pensiun atau krisis. Biasakan setiap level memiliki pengganti yang sudah dipersiapkan dengan baik. Seperti ungkapan, "Pemimpin terbaik membina orang lain untuk menggantikan mereka."
Keempat, pemimpin harus sadar bahwa kekuasaan bukanlah identitas. Kepemimpinan adalah amanah yang harus diwariskan pada waktunya. Bila terlalu lama digenggam, ia akan menjadi beban.
Terakhir, bagi para pemimpin muda, baik di organisasi maupun negara, ingatlah masa kepemimpinan bukanlah kekekalan. Kita hanya penjaga sementara dari misi yang lebih besar dari diri kita sendiri. Jangan sampai jabatan menjadikan kita lupa diri.
"Penuaan adalah hal yang tak terhindarkan. Kepemimpinan sejati adalah mengetahui kapan saatnya menyerahkan tongkat estafet dengan elegan."
-Paul Irving
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 26 Juli 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #angkat #kaki #dari #legacy