was successfully added to your cart.

MENJADI PANUTAN

MENJADI PANUTAN

Modelling merupakan proses belajar yang paling sederhana dan alamiah dilakukan oleh manusia sampai hewan sekalipun. Anak kecil mulai belajar meniru tingkah laku dan perkataan orang-orang dewasa di sekelilingnya bahkan sebelum mereka memahami artinya.

Sebuah survei pada 70.000 anak usia 12 tahun ke atas menemukan bahwa mereka yang memiliki orangtua perokok memiliki kecenderungan lebih besar untuk merokok. Sebanyak 38 persen anak yang memiliki orangtua perokok pernah mencoba untuk merokok sepanjang hidupnya dibandingkan dengan hanya 13 persen anak dengan orangtua non-perokok yang mencoba untuk merokok.

Dari situ, kita melihat besarnya pengaruh perilaku orangtua terhadap pilihan perilaku anak-anaknya.

Menurut Albert Bandura, penggagas Social Learning Theory, proses belajar terjadi ketika mengamati perilaku sosial orang lain dan kemudian meniru apa yang dilakukan atau dikatakan orang lain. Ada empat hal yang dapat membuat proses meniru itu berlangsung dengan sukses.

Pertama, atensi, ketika individu memperhatikan lingkungannya, melihat hal-hal yang menarik minatnya. Orangtua yang menjadi pahlawan pertama bagi anak-anaknya, tokoh publik yang gerak-geriknya banyak diberitakan media massa, atau pimpinan organisasi adalah tokoh-tokoh yang dengan mudah menjadi role model bagi individu lain melalui keberadaannya.

Sebagai pemimpin, kita harus ingat bahwa semua mata memperhatikan kita, sebagaimana layaknya paparazi dan netizen. Menjadi role model tidak ada dalam KPI seorang pemimpin. Namun, seorang pemimpin tidak bisa mengelak dan menganggap enteng sorotan mata pengikutnya. Tanggung jawab pemimpinlah untuk berstrategi bagaimana menjadi role model yang lebih baik.

Kedua, retensi. Hal-hal yang menarik perhatian dari para role model ini akan masuk di ingatan para pengamatnya untuk nanti muncul ke permukaan dan menjadi perilaku pengamat ketika ia menemukan situasi serupa. Konsistensi dari para role model ini karenanya sangatlah penting sehingga perilaku yang kerap teramati tersebut dapat masuk ke memori para pengamatnya.

Menjadi role model berarti menginspirasi orang lain untuk meniru apa yang kita lakukan, bukan melakukan apa yang kita katakan. Tidak semua atasan dapat menjadi role model. Seorang role model pasti menentukan standar yang tinggi bagi dirinya sendiri dan membuat orang lain tergerak untuk berubah karena melihat komitmen dan disiplinnya dalam menjalani standar tersebut. Sementara itu, seorang atasan menuntut orang lain untuk memenuhi standar yang ia tetapkan bagi orang lain.

Pemimpin yang ingin menjadi role model tidak pernah berkompromi dengan standar yang sudah ia canangkan. Begitu ia goyah dan tidak konsisten, hancurlah  citra dirinya sebagai panutan dan standar perilaku yang ingin ia tegakkan pun akan sulit tertanam dalam memori anak buahnya. Apalagi sampai muncul dalam bentuk perilaku nyata.

Kita menyaksikan bagaimana pemimpin saat sekarang yang tadinya terlihat memukau dengan kerja keras dan janji menjaga integritasnya, dengan mudahnya menjilat ludahnya sendiri, mengakali aturan yang ada demi kepentingannya sendiri, sehingga membuat banyak orang yang dulu menjadikannya sebagai panutan pun patah hati.

Ketiga, reproduksi. Ketika individu yang mengamati dapat menampilkan perilaku-perilaku yang ia pelajari dari para panutannya. Tugas seorang pemimpin adalah membantu individu menampilkan versi terbaik dari dirinya, segala potensi yang ia miliki.

Di situ positive encouragement dari seorang pemimpin yang menjadi panutannya sangatlah penting. Ketika individu merasa dihargai dan didukung, mereka akan lebih termotivasi dan sukses. Di sisi lain, jika seseorang merasa diabaikan atau putus asa, kecil kemungkinan mereka dapat mencapai potensi mereka.

Pemimpin yang bisa mempersuasi, kuat dalam mengeluarkan ide-idenya secara tajam, biasanya sangat dihargai publik. Namun, bila tidak memiliki kepekaan dan kerendahan hati untuk mendengarkan orang lain, ia tidak dapat membuat koneksi untuk mendorong transformasi dalam diri seseorang.

Mendengar jauh lebih sulit dari berbicara karena melalui bicara kita menyalurkan keinginan untuk menguasai, memengaruhi orang lain. Sementara dalam mendengar, kita memberikan diri, waktu, dan perhatian kepada orang lain. Oleh karena itu, ketulusan lebih terlihat dalam kemampuan pemimpin untuk mendengar ketimbang kefasihannya menjual ide. Respek dibangun melalui telinga, bukan mulut.

Keempat, motivasi yang mendorong pengamat untuk menampilkan perilaku yang baru dipelajarinya. Motivasi dimulai dari mengamati seseorang diberi penghargaan atau hukuman atas tindakan dan perilakunya. Ketika kita melihat bagaimana publik selalu berdecak kagum dan menunggu dengan semangat peluncuran produk baru Apple, kita mengagumi dan berusaha mempelajari cara Steve Jobs mendorong inovasi di organisasinya.

Menjadi panutan tidak berarti harus selalu tampil sempurna karena dalam proses belajar kita bisa saja memiliki lebih dari satu panutan. Kita memiliki panutan seorang entertainer yang kuat dalam membangun suasana hangat dan menyenangkan dengan siapa saja yang ditemuinya.

Kita memiliki panutan tokoh-tokoh bisnis yang berjuang dari nol, bagaimana kisah kerja keras tiada henti mereka menginspirasi kita untuk tidak takut berjuang. Kita memiliki panutan Bapak Polisi Hoegeng yang tanpa kenal takut memperjuangkan integritasnya dalam lingkungan yang sangat kotor.

Mereka bukanlah orang-orang yang sempurna. Penulis biografi Walter Isaacson mengatakan, “When it comes to Steve Jobs, there's the ‘Good Steve’ and then, there's the ‘Bad Steve’” karena ia dikenal kasar terhadap banyak rekan kerjanya.

Banyak tokoh bisnis yang mungkin seperti ini, tajam dalam mengendus kesempatan dan terampil dalam berdagang hingga bisa membangun kerajaan bisnisnya. Namun, sering kali buruk dalam memperlakukan para karyawannya. Seorang pemimpin yang ingin menanamkan legacy perlu menunjukkan komitmennya dalam menjaga konsistensi atas perilaku-perilaku yang ia inginkan tumbuh dari anak buahnya.

Organisasi yang memiliki pemimpin yang menjadi panutan yang kuat tentunya lebih mudah bergerak maju. Artinya, para pemimpinnya berhasil berfungsi sebagai pencetak biru perilaku bawahannya.

“Kita semua adalah panutan bagi seseorang di dunia ini dan kita semua dapat memberikan dampak - untuk kebaikan.” – Tony Dungy

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 22 Juni 2024

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #menjadi #panutan

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com