was successfully added to your cart.

BERHENTI TENANG

BERHENTI TENANG

Istilah quiet quitting tiba-tiba menjadi fenomena yang dibicarakan orang akibat informasi di media sosial Tiktok. Beberapa pihak ada yang mengaitkannya dengan kondisi stres dan kebutuhan untuk healing, sampai ada aplikasi baru yang berusaha mengakomodasi kebutuhan individu-individu untuk “curhat” mengenai kondisi mereka ini.

Pertanyaannya, apakah ini gejala yang baru muncul terkait kondisi yang sering kita sebut sebagai disruptif? Atau, sebenarnya ini gejala lama yang baru sekarang dimunculkan ke permukaan akibat kekritisan generasi muda terhadap yang mereka amati dan rasakan di sekeliling mereka?

Para ahli manajemen SDM berpendapat bahwa gejala ini sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Engagement yang rendah dari karyawan di organisasi adalah tanda adanya quiet quitting ini. Kita sering menggolongkan karyawan dalam dua golongan.

Pertama, mereka dengan sense of belonging yang tinggi, diasumsikan memiliki loyalitas yang tinggi. Kedua, golongan orang dengan sense of belonging rendah yang diasumsikan tidak loyal terhadap organisasi, yang bila ada kesempatan segera akan meninggalkan organisasi.

Kita sering lupa bahwa ada golongan lain, yaitu mereka dengan sense of belonging rendah, tetapi tidak berpikir untuk keluar dari organisasi. Kelompok orang ini tidak bisa dengan cepat kita golongkan sebagai orang yang tidak berkinerja. Mereka bisa saja tetap mencapai target yang ditetapkan organisasi walaupun hanya secukupnya. Mereka juga biasanya cukup tertib mengikuti aturan organisasi dan menghindari masalah yang tidak perlu bagi pribadi mereka.

Namun, yang jelas mereka bukan orang yang mau meluangkan waktu untuk berpikir lebih jauh demi kepentingan pengembangan organisasi. Mereka pun enggan untuk berprestasi dengan “walking the extra mile”, berbuat, dan berpikir lebih. Kita seringkali menemukan tipe orang seperti ini yang berada dalam sebuah organisasi selama bertahun-tahun, yang hanya bekerja demi upah bulanannya saja. Mereka bisa dikatakan sebagai kelompok “quit and stay”, individu dengan tubuh di kantor tapi jiwanya entah berada di mana.

Hasil penelitian Gallup mengatakan bahwa 50 persen tenaga kerja di organisasi adalah quiet quitters. Bisa kita bayangkan berapa besar kerugian yang kita alami selama ini karena mengandalkan SDM yang hanya berfungsi separuh (bahkan mungkin juga kurang) dari kapasitasnya.

Sebetulnya apa yang terjadi pada kalangan karyawan seperti itu? Apa alasan mereka tidak memberikan hatinya pada organisasi? Bukankah organisasi adalah sumber mata pencaharian mereka?

EX, employee experience

Semua orang sibuk membahas tentang UX (user experience), CX (customer experience), tapi kita lupa untuk membahas EX (employee experience). Para ahli mendefinisikan employee experience sebagai penjumlahan dari sekian banyak momentum berkesan yang dialami karyawan dalam kehidupannya sehari-hari di organisasi, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan hatinya.

Namun biasanya, kita lebih mudah mengingat saat-saat menyakitkan ketimbang menyenangkan. Saat dipersalahkan, dipermalukan, dituding di depan umum akan cenderung menorehkan luka di hati yang sulit disembuhkan. Apalagi bila hal ini terjadi pada banyak karyawan sehingga atmosfer negatif pun semakin berkembang. Pimpinan perlu mendalami pengalaman yang merupakan asal-muasal perasaan negatif itu timbul agar dapat mengembangkan empati pada situasi mereka ini.

Bermula dari sikap

Esensi dari quiet quitting adalah mengerjakan pekerjaan tanpa memberikan nilai tambah. Beberapa orang di Tiktok berkomentar bahwa fenomena ini didasari sikap “ogah ribut-ribut” dan memilih diam saja. Dalam ilmu psikologi kita mengenal sikap pasif agresif. Ada kemarahan yang ditampilkan dengan kediaman.

Bagaimana kita mengatasi fenomena ini? Pertama, kita perlu menemukan hal-hal apa yang dikerjakan dengan sempurna oleh para bawahan, apa yang dikerjakan dengan setengah hati oleh mereka, sampai hal-hal yang cenderung dihindari oleh mereka.

Daftar itu kemudian kita bandingkan dengan daftar prioritas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal yang bukan prioritas penting, dapat kita tunda terlebih dulu. Namun, bila ada tugas yang berkaitan dengan inovasi, yang akan meningkatkan daya kompetisi organisasi tapi tidak dikerjakan anggota tim dengan alasan kesibukan pekerjaan rutin, kita perlu mendiskusikan bersama kembali tujuan organisasi.

Kita perlu bicara bagaimana tugas tersebut memberikan sumbangsih terhadap pencapaian tujuan organisasi.  Seorang ahli berpesan, “Do more listening than talking. Be open and non-defensive. It’s the only way you can find out what matters to them and what may need to change.”

Kedua, sebagai atasan kita perlu mempertanyakan apakah kita sudah cukup peduli pada anak buah kita? Apakah kita sudah benar-benar “mendengar” mereka sampai bisa mengimajinasikan hidup mereka? Bukan sekadar mengingat tanggal ulang tahun saja, tetapi mengenal pribadi mereka luar dalam. Hubungan pribadi seperti ini perlu benar-benar dirasakan anak buah sehingga mereka pun segan bersikap pasif agresif terhadap atasannya, yang adalah duta organisasi.

Bila selama ini sikap tersebut belum kita praktikkan, kita terpaksa belajar dan keluar dari comfort zone kita. Mulai bicara empat mata dengan mereka sehingga memperkecil “jarak hati” yang selama ini ada antara mereka dengan kita.

Ketiga, kita perlu mengaitkan semua kegiatan tim dengan sasaran organisasi yang lebih besar. Orang akan lebih berkontribusi bila ia merasa mengerjakan pekerjaan yang lebih bermakna.

Seseorang sekuriti sebuah bank yang merasa tugasnya hanya bersiap di depan pintu, akan merasa lebih semangat bila ia sadar bahwa kehadirannya menyapa nasabah dengan ramah dan membantu mereka yang kesulitan, ternyata membuat nasabah jatuh hati pada cabang tersebut. Semua orang perlu sadar bahwa tidak ada tindakan kecil yang tidak berkontribusi pada kesuksesan organisasi.

Jadi, untuk menghindari quiet quitting ini, setiap pemimpin perlu mengembangkan diri menjadi atasan yang dihormati anak buah, sehingga anak buah enggan mempecundangi kita.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 15 Oktober 2022

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #berhenti #tenang #quitquitting

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com