Banyak orang yang mungkin tidak menyadari bahwa sikap terhadap suatu kelompok tertentu adalah “bias” yang merugikan, baik itu masalah ras, maupun gender, termasuk juga usia. Golongan milenial atau gen Z yang sering sekali dibahas karena kekhasan karakter mereka, tidak jarang juga menjadi bulan-bulanan dari kelompok usia lain atau menjadi korban diskriminasi usia. Mereka sering dianggap sebagai generasi yang tidak mau susah, kurang berpengalaman, kurang profesional, sehingga tidak jarang dianggap belum qualified.
Sementara di sisi lain, mereka yang memasuki usia yang tergolong senior mulai mendapati banyak stigma tertentu. Dianggap gaptek, tidak lincah, dan senantiasa beroritentasi masa lalu sehingga sering ketinggalan zaman. Begitu kuatnya stigma ini sehingga kita menganggap benar sampai-sampai lupa akan pengetahuan dan keterampilan yang bisa dimanfaatkan, bahkan tak tergantikan dari para senior ini, hasil dari pengalaman mereka selama bertahun-tahun bergelut dengan beragam tantangan, krisis, dan kompetisi.
Bahkan, ada organisasi yang menggunakan cara pandang ini pada suksesinya. Mereka memaksakan para milenial untuk menduduki jabatan pucuk pimpinan perusahaan penting dengan anggapan bahwa agility generasi inilah yang dapat membawa perusahaan memenangkan kompetisi pada masa depan. Bila pertimbangan ini didasari dengan penilaian kompetensi sang milenial dengan cermat, tentu tidak menjadi masalah. Namun, bila paham ini dieksekusikan hanya atas dasar penilaian terhadap generasi millenial pada umumnya, kita perlu mewaspadai dampak keputusan ini pada nasib organisasi pada masa mendatang.
Ageism
Masalah diskriminasi usia sebenarnya dapat mengarah pada yang muda maupun yang tua. Namun, sering kali lebih diarahkan kepada yang tua dengan anggapan kemungkinan mereka untuk berkembang sudah semakin kecil. Sudut pandang yang diwarnai oleh ageism ini terkonstruksi secara sosial dan sering mengarah pada sifat negatif seperti lemah dan pikun, sementara yang muda lebih kuat dan kompeten.
Ada seorang kenalan saya yang berusia 70-an dan memang tidak menguasai coding yang dianggap sebagai keterampilan mutakhir yang mendasari digitalisasi sehingga banyak dikuasai anak-anak gen Z. Namun, ternyata dalam rapat-rapat, ia justru dengan kritis mengajukan banyak pertanyaan yang tidak terpikirkan oleh para anak muda sehingga dijadikan bahan yang perlu ditindaklanjuti dalam upaya digitalisasi perusahaannya.
Ia sama sekali tidak berorientasi pada masa lalu, tetapi pertimbangannya justru diwarnai tacid knowledge yang dimilikinya selama ini. Hasil dari bertahun-tahun malang-melintang dalam kompetisi bisnis organisasinya.
Terbukti bahwa orang yang sudah senior sebenarnya tetap bisa berkontribusi secara optimal. Bila saja kita memiliki sikap negatif terhadap orang senior seperti ini, perusahaan akan kehilangan beberapa wisdom yang sebetulnya dapat mengarahkan perusahaan lebih baik lagi.
Semua orang pasti akan menua. Namun, bagaimana individu menjaga staminanya, baik secara kognitif, fisik, maupun mental adalah pengalaman yang berbeda satu sama lain. Kita tidak bisa menggeneralisasi bagaimana kondisi para senior ini. Banyak bukti yang menunjukkan para senior ini justru semakin tua semakin tajam dalam menganalisa bisnis dan organisasi.
Era nonpensiun
Banyak lembaga yang sudah bersiap untuk kehilangan individu yang mulai memasuki usia 50 tahunan. Mereka memberikan posisi-posisi yang kurang strategis ataupun kritikal. Individu pun seolah-olah sudah bersiap untuk pensiun dengan program-program masa persiapan pensiun dari organisasi.
Berapa banyak yang justru membuat program transfer knowledge dari para senior ini secara terstruktur agar dapat menjadi aset organisasi? Ini benar-benar suatu kerugian yang amat besar. Selain bahwa individu berusia 50 tahun masih produktif untuk berkembang dan belajar materi baru, pengalamannya selama lebih dari 30 tahun juga harus dimanfaatkan secara optimal bagi organisasi.
Strategi pemerintah untuk memotong usia aktif para eksekutif sungguh perlu dipikirkan masak -masak. Seorang pejabat perusahaan listrik mengatakan, “Alih alih memahami masalah teknis, para milenials tidak pernah pergi dan melihat, menyaksikan apa isi sebuah gardu listrik. Bagaimana mereka mau membuat strategi perusahaan dengan cermat?” Dengan kedatangan para milenial, kita seharusnya dapat mengoptimalkan kreativitas, kekritisan para milenial, dan jam terbang para senior.
Strategi memperpanjang usia sumber daya manusia (SDM) diterapkan oleh perusahaan baru seperti Altos Labs yang memperpanjang masa pensiun sambil tetap juga memperhatikan perkembangan kompetensi para seniornya. Memang, begitu mereka mulai menunjukkan sindrom penuaan, perusahaan akan mengambil kebijakan pensiun. Namun, selama mereka masih aktif, bisa dilakukan reversed mentoring, yaitu pairing antara si senior dan junior dalam mengerjakan proyek akan sangat berguna bagi kedua belah pihak. Mereka dapat saling mengajari dan belajar.
Dari data yang ada, terlihat bahwa populasi para senior sekarang sudah lebih banyak dibandingkan 50 tahun lalu. Kalau pada 1950 orang berusia 65 tahun berjumlah 5 persen dari populasi, diramalkan pada 2050 akan berjumlah sekitar 16 persen. Dengan kondisi kesehatan yang lebih baik, masa hidup manusia pun semakin lama semakin panjang. Bahkan, ada ahli yang mengatakan bahwa anak-anak yang lahir pada era ini akan bertahan sampai usia 100 tahun. Banyak orang yang memilih untuk terus bekerja ketika mereka berusia 65 tahun, karena mereka tidak bisa menjamin masa depannya ketika mereka berusia 90 tahun.
Jadi, kita memang harus mengubah cara pandang kita. Para senior ini bukanlah beban ataupun korban diskriminasi usia, melainkan aset yang berharga. Agar dapat memanfaatkan energi dan pengalamannya, organisasi haruslah age ready membangun infrastruktur dan sistem untuk menunjang, “Turn ageism into sageism.” Oleh karena itu, perusahaan akan menganut paham panjang umur dan bijak.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 2 April 2022
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #diskriminasi #usia