Bila kita menelaah perusahaan-perusahaan unicorn sekarang, ada satu kesamaan yang sepertinya merupakan kunci sukses mereka. Mereka semua menjalankan inovasi secara berkesinambungan.
Microsoft dan Apple yang sudah berdiri semenjak beberapa dekade yang lalu, dapat bertahan sampai sekarang karena konsistensi mereka dalam melakukan reinvention dan inovasi. Apa pun industrinya, sebuah organisasi sulit mempertahankan daya saingnya bila ia tidak menjadikan inovasi sebagai bagian utama kegiatan bisnisnya.
Pada 2016, General Motors mengumumkan investasinya sebesar 500 juta dollar AS di Lyft. Ford juga melakukan hal yang sama dengan sebuah perusahaan ride-sharing service. Mengapa kedua perusahaan mobil raksasa ini tiba-tiba bergabung dengan perusahaan yang justru menurunkan angka penjualan mobil?
Jawaban singkat mereka adalah untuk mengembangkan mobil tanpa pengemudi. Jawaban panjangnya adalah karena mau tidak mau transportasi sedang berevolusi dan manufaktur mobil harus mencari jalan untuk tetap kompetitif.
Dan Ammann, Presiden General Motors saat itu, mengatakan, bisnis sudah berubah pesat dalam 5 tahun terakhir, lebih cepat daripada 50 tahun terakhir. Sebelum ini, perusahaan-perusahaan yang berpusat di Detroit ini terus berusaha mengejar Toyota, yang konon selalu keluar dengan ide-ide baru dan senantiasa berada lebih depan dari mereka.
Toyota ternyata adalah perusahaan yang berhasil menyebarkan semangat inovasi di seluruh perusahaan, bahkan meyakini bahwa inovasi berpusat di lapangan, bukan di pucuk pimpinan.
Industri otomotif ini tentu bukan satu-satunya industri yang menghadapi disrupsi. Airbnb telah meruntuhkan supremasi hotel chain, media digital sudah meruntuhkan media cetak, sementara para peretail harus cepat bergeser dari strategi brick-and-mortar toko konvensional, ke click-and-mortar yang memudahkan pelanggan memilih untuk belanja online maupun offline.
“Adapt or die”
Namun, mengapa sebuah perusahaan harus berinovasi? Terutama ketika ia sebenarnya berjalan baik-baik saja? Perkembangan teknologi yang masif mengundang kompetisi yang luar biasa.
Sebuah perusahaan ekspedisi yang berkembang pesat belakangan ini pun harus berhati-hati karena ternyata banyak perusahaan kecil yang menyalip dan menawarkan jasa yang lebih murah dan lebih cepat. Mereka tidak bisa hanya diam menikmati proses bisnis yang terlihat sudah sedemikian mumpuni dan lengkap. Hampir tidak masuk akal, tetapi inilah kenyataannya.
Inovasi tidak mungkin menjebloskan perusahaan ke arah yang lebih buruk. Inovasi pasti membuat perusahaan berkembang. Perkembangan pasar yang disruptif ini membuat kita harus menjaga perusahaan kita agar terus relevan dan tidak basi. Setiap menit, lahir sekitar 570 situs web baru.
Pada 2020, ada 8 miliar perangkat yang saling berkontak satu sama lain. Kita berada di the new age of innovation. Dalam surplus society, ketika begitu banyak pebisnis yang menawarkan produk-produk mereka ke pasar, inovasi dapat menjadi “pembeda” produk atau jasa dalam kompetisi.
Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya bila Samsung tetap menjadi pembuat bingkai AC dari perusahaan Jepang. Namun, mereka mampu menembus cara berpikir konvensional dan membuat perubahan. Sekarang, mereka termasuk salah satu perusahaan paling inovatif di dunia. “Good design is the most important way to differentiate us from our competitors,” adalah strategic goal Samsung.
Untuk menerobos inovasi, CEO Samsung Jong Yong Yun membuat pusat-pusat desain di seluruh dunia, bahkan mengangkat seorang chief design officer untuk mengurangi birokrasi. Manajer dari pusat desain ini diberi pelatihan innovation leadership. Setiap orang di pusat desain harus mengungkapkan pendapatnya dan tidak boleh takut berargumentasi, bahkan menyerang ide-ide atasannya.
Situasi ini bukan terjadi di Samsung saja. Perusahaan seperti McDonalds yang sudah memiliki sistem dan prosedur yang sangat baku sekalipun tetap menciptakan noodle team yang bekerja dalam dapur uji coba yang bebas birokrasi dan hierarki. Jim Skinner, sang CEO, mengatakan, “The result is a wealth of ideas that flow through the organization. They come from all directions.”
Menginisiasi inovasi
Ada perusahaan-perusahaan yang sadar, mereka harus membuat gebrakan, tetapi banyak di antara mereka yang tidak tahu harus mulai dari mana.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai langkah awal. Pertama, jangan takut pada kegagalan. Kegagalan perlu kita garap. Inovasi tidak akan terjadi tanpa risiko. Terobosan tidak akan terjadi bila perusahaan terus bermain aman. Karyawan perlu diyakinkan, kegagalan adalah bagian dari eksperimen yang harus dilalui demi inovasi.
TATA, sebuah perusahaan konglomerasi di India memberikan penghargaan Dare to Try kepada karyawan yang memiliki ide yang paling baru, berani, dan serius. “Failure doesn’t always mean a mistake was made. If well-intentioned, it means a valuable business lesson was learned.”
Kedua, inovasi juga membutuhkan sumber daya yang tepat. Selain waktu dan tempat, manusia yang memiliki kekuatan growth mindset. Karyawan di Google dapat menggunakan 20 persen dari waktunya untuk kepentingan inovasi. Hasilnya antara lain adalah Gmail dan Adsense.
Ketiga adalah orientasi eksternal. Karyawan di perusahaan besar seringkali lebih banyak berorientasi internal karena kesibukannya. Hal yang terjadi di luar perusahaan, seolah-olah hanyalah tanggung jawab para salesman atau petugas humas. Padahal, setiap orang perlu belajar mengenai pelanggan, lingkungan, pergaulan profesi dan bahkan kompetitor.
“You need perspective from the outside. Having a strong innovation network and ecosystem is vital.”
Terakhir, sebuah organisasi perlu menerapkan design thinking, pendekatan customer centric, dalam melakukan brainstorming ide baru dan mencari solusi.
“It takes the right culture, mindset, and organizational design to enable bottom-up innovation, but then innovation needs to be championed and funded from the top-down.”
EXPERD | HR Consultant/ Konsultan SDM
Diterbitkan di harian Kompas karier 22 Mei 2021
#experd #expert #experdconsultant #hr #disrupsi #status #quo