Kita banyak mengenal istilah hacking yang berarti membobol jaringan, merusak, bahkan merampoknya. Dalam dunia sistem keamanan, banyak lembaga yang menyewa hackers untuk mencoba apakah sistem yang dibangunnya sudah cukup kebal terhadap beragam tindak penjebolan. Kita yakin dengan berkembangnya artificial intelligence, sistem pengamanan komputer semakin lama memang semakin canggih, tetapi para hackers pun tidak ketinggalan juga berkembang menjadi lebih canggih.
Meski demikian, sadarkah bahwa kita sendiri ternyata juga memiliki sistem perangkat lunak dan keras yang mengatur reaksi-reaksi, emosi, dan alam pikiran kita? Bahkan, sistem yang ada di dalam diri kita ini adalah sistem tercanggih yang belum dapat ditiru oleh artificial intelligence canggih di dunia sekalipun.
Kemampuan kita untuk bisa kreatif, berinovasi, dan mendapatkan ide out of the box, adalah hasil kerja sistem yang ada di dalam otak kita. Demikian pula kekeraskepalaan orang, atau ketidakinginannya untuk berubah. Kehidupan kita adalah alur-alur neurologis yang sudah berkarat di dalam sistem setiap individu sehingga membentuk kebiasaan-kebiasaan berpikir maupun bertindak.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering tidak menyadari bekerjanya fungsi autopilot. Contoh yang konkret adalah kegiatan menyetir. Kita sudah tidak memerintahkan tangan dan kaki kita untuk melakukan oper gigi, menyeimbangkan antara pedal gas dan rem pada sistem mobil manual, sampai pada mengerem ketika ada lampu merah. Semuanya bergerak otomatis walaupun ketika baru mencoba belajar menyetir, otak dan koordinasi motorik kita harus bekerja keras.
Hal yang juga merupakan fenomena menarik adalah banyak orang yang tidak menyadari bagaimana ia mulai belajar merokok, jari mana yang digunakan untuk memegang rokok sampai bagaimana mengisap asapnya. Tingkah laku ini dibentuk dari observasi orang lain yang dilakukan terus-menerus sampai akhirnya masuk ke alam bawah sadar dan membentuk perilaku merokok sendiri.
“Old habits die hard”
Rupanya, sistem syaraf kita juga mengikuti paham Mick Jagger dalam lagunya “Old Habits Die Hard!” Artinya, apa yang sudah berkarat dalam pikiran kita sulit untuk dihapus. Hal inilah yang sering melatarbelakangi gejala yoyo effect pada orang yang ingin menurunkan berat badan.
Ada masa begitu bersemangat sehingga berat badan turun drastis. Kemudian berat badan akan kembali naik karena pantangan makan yang dilakukan selama diet belum diterima sebagai gaya hidup baru yang akan dijalani sepanjang hidup, tetapi lebih merupakan keterpaksaan yang diharapkan hanya dijalani dalam kurun waktu tertentu.
Pada awal masa pandemi ketika disarankan untuk bekerja dari rumah (work from home), banyak yang menyambut gembira karena mengira ini hanyalah selingan sementara. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, banyak yang merasa kelelahan dan stres karena ternyata banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Banyak orang menanti-nantikan konsep “bekerja kembali” segera terealisasi. Mindset ini bisa jadi menghambat semangat mereka untuk bekerja melalui Zoom secara optimal. Kita juga menemui gejala ini pada orang-orang yang kurang latihan, kurang olahraga, dan selalu menemukan alasan untuk tidak melakukannya.
Apa yang sudah kita lakukan secara bertahun-tahun, seperti pola pikir, pola makan telah membuat hidup kita terasa nyaman. Sulitnya, kita jadi membiarkan pola-pola ini bertahan terus dan tidak mempertimbangkan pola hidup lain yang mungkin terasa sulit untuk dimulai. Betapa sering kita mendengar kata-kata: saya tidak bisa bangun pagi, saya tidak bisa berhenti merokok, saya sudah terlalu tua untuk menggunakan komputer, dan sekarang saya tidak mengerti kehidupan digital.
Mengapa kita sulit berubah? Ternyata, fenomena ini bisa diterangkan secara fisiologis. Bila kita sudah memiliki pola tertentu yang membuat kita nyaman, pola atau algoritma tersebut akan dipertahankan oleh bagian otak kita yang bernama basal ganglia. Bagian otak ini akan mengingat alur yang pernah kita buat. Semakin sering alur tersebut digunakan, ia akan semakin kuat.
Ketika kita mengganti perilaku, syaraf otak berusaha membuat algoritma baru. Namun, basal ganglia akan berusaha mengembalikan pola yang lama agar kita merasa nyaman kembali. Hal ini terjadi pada pola tingkah laku yang baik maupun yang buruk. Inilah sebabnya untuk mengubah diri tidak semudah seperti membalik tangan saja. Hal ini karena pola lama akan bertahan dan tidak mau mengalah pada otak yang membentuk jalan baru.
Jadi, bagaimana cara meng-“hack” sistem yang sudah terpola?
Pertama, kita perlu mempersiapkan support system, baik secara material maupun sosial. Kita perlu memiliki sistem peringatan bila ada indikasi kita kembali pada pola yang lama. Kita pun secara pribadi perlu memiliki penguat secara rasional. Misalnya, melakukan self talk yang meyakinkan diri, perubahan akan membawa hal-hal yang lebih positif daripada pola lama yang kita anut.
Contohnya, dalam berdiet, kita tidak sekadar melakukan pantang makanan tertentu, tetapi juga mempelajari mengenai pola makan sehat, nutrisi setiap makanan sampai kepada cara pengolahannya. Oleh karena itu, ketika basal ganglia berusaha mengarahkan kita kembali ke pola lama, self talk inilah yang bekerja untuk melawannya.
Tidak ada perubahan yang bisa terjadi tanpa langkah pertama. Jadi, kuatkan mental dan yakinkan pentingnya kita untuk membenahi diri. Tidak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan kita, kecuali diri kita sendiri. Oleh karena itu, kitalah yang perlu menjaga betul pembentukan pola pikir dan perilaku yang sedang ingin kita bangun.
Kita juga tidak boleh ambisius dan mengharapkan perubahan drastis. Perubahan drastis akan mengejutkan keseluruhan sistem kita yang sudah berjalan dan malah menciptakan konflik yang menguras energi kita. Target perubahan sebaiknya dirancang spesifik dan realistis sesuai dengan situasi yang kita miliki agar memudahkan untuk diukur serta dijaga konsistensinya hingga kebiasaan yang baru terbentuk kuat.
EXPERD | HR Consultant/ Konsultan SDM
Diterbitkan di harian Kompas karier 27 Maret 2021
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #hack #yourself