Konon Shakespeare dan Isaac Newton justru menjadi super kreatif semasa wabah melanda dunia di awal abad ke 17. Pada saat itu, Newton sekeluarga harus mengurung diri di Lincolnshire dan ketika itulah ia menemukan dasar-dasar teori gravitasi, optik dan bahkan prinsip-prinsip kalkulus. Shakespeare juga menulis puisi dan drama terbaiknya ketika ada wabah yang menyebabkan semua teater di London ditutup.
KONDISI saat itu mirip sekali dengan keadaan sekarang. Apakah ini memang saat yang terbaik untuk meningkatkan intensitas berpikir kita? Tentunya kita tidak perlu berinovasi menemukan rumus atau peralatan kerja baru seperti mereka. Namun, bersikap pasif, diam, merasa terkungkung, bahkan apatis juga bukan merupakan pilihan yang baik di masa pandemi yang sepertinya akan berlangsung cukup lama ini.
Menghidupkan koneksi dan resiliansi
Di seluruh dunia, budaya virus korona ini sepertinya berkembang secara cepat, progresif, spontan tak terbendung. Dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan kesehatan, keadaan finansial yang tidak menentu, pembatasan gerak manusia, membuat kita kadang-kadang gamang dan berpikir apakah situasi ini benar-benar kita alami, atau sekedar science fiction yang sedang kita tonton. Berdoa bersama tidak dianjurkan, bermobil bersama dibatasi. Agustín Fuentes, antropolog University of Notre Dame mengatakan bahwa sudah pasti evolusi yang terjadi akan mengalami percepatan.
Kita menjadi semakin menyadari betapa pentingnya hubungan atar manusia. Larangan bersalaman saja nampak berpengaruh besar terhadap emosi. Apalagi sekarang ketika bertemu muka semakin sulit dan diminta menjaga jarak bila berada bersama dalam satu ruangan. “What is so important to humanity is connection. The kind of quarantines will require people to connect in other ways”. Beruntung kita hidup di jaman internet, sehingga komunikasi masih bisa dijalankan. Namun setelah berminggu-minggu menjalankan karantina, kita merasakan adanya kebutuhan lain. Kita ingin duduk berhadapan, ngopi bersama, hingga bernyanyi bersama. Untungnya sebagai mahluk tertinggi ciptaan Allah, manusia selalu berupaya mencari jalan keluar. Kita menjadi lebih kreatif. Kita berusaha mencari jalan agar kita tetap bisa menjalin kebersamaan dan bergembira bersama.
Ingat para penyanyi opera di Italia yang bernyanyi di balkon apartemen dan diikuti oleh semua penghuni apartemen lain untuk bernyanyi bersama? Ide yang sama juga terjadi di Wuhan, kota yang kuat dengan kehidupan malamnya. Mereka akhirnya memiliki acara reality show Home Karaoke Station, lengkap dengan DJ yang bermain secara live di chat room, sehingga semua bisa berkomunikasi satu sama lain. Aplikasi WeChat yang populer di Cina pun langsung berimprovisasi dengan fitur-fitur baru, yaitu komunitas yoga, senam, dan beragam olah raga lain bisa menjalankan program-program mereka di rumah secara bersama-sama. Dengan demikian masyarakat tidak kehilangan kesempatan untuk berkomunitas.
Eropa pun beradaptasi. Jauh sebelum Provinsi Lombardi ditutup total, Giorgio Armani, merek fashion yang paling terkemuka di Italia, menggelar show tanpa penonton dalam rangka Milan Fashion Week. Penonton dipersilakan menyaksikan secara daring. Di Paris Fashion Week, perancang Marine Serre, memunculkan busana lengkap dengan variasi masker yang modis.
Restoran mengubah produk mereka menjadi bentuk siap saji yang dapat disimpan oleh pelanggannya dalam bentuk beku dan dinikmati kapan saja mereka rindu dengan makanan restaurant tersebut. Bukankah manusia memang memiliki kemampuan kuat untuk beradaptasi?
Kendala dan rasa bosan
Dalam dekade akhir ini, banyak orang menyadari bahwa berada dalam comfort zone akan membuat kita tidak kreatif dan inovatif. Dalam situasi isolasi ini, tentunya hampir semua manusia di dunia ini ditarik dari comfort zone mereka. Berada di rumah dengan pandangan yang itu-itu saja bisa membangkitkan rasa bosan. Namun, beberapa ahli mengatakan: “This cocktail of constraints and boredom is a potent trigger for innovation”. Bagaimana bisa demikian?
Menurut para ahli, dampak kebosanan pada manusia tidak selalu negatif. Ada 5 tingkatan kebosanan, dimulai dari sikap masa bodoh terhadap situasi, kemudian mengalibrasi, lalu mulai mencari-cari cara untuk kemudian bereaksi. Bila reaksi ini membuahkan hasil, maka individu tidak masuk dalam situasi apatis. Namun bila ia tetap ‘mentok’ dan tidak berhasil, bisa-bisa ia menjadi apatis.
Dalam situasi mencari-cari inilah, pikiran kita berusaha mencari stimulasi, berpikir keras dan menggali informasi apa yang sudah pernah ada di pikiran kita. Dalam proses ini timbullah pikiran “AHA” mengapa saya tidak mencoba melakukan sesuatu. Disinilah inovasi mulai bekerja.
Menemukan “silver lining” dari situasi pandemik ini
Bagaimana cara mengorek isi pikiran kita agar dapat menemukan ide-ide baru? Pertama, kita bisa mulai dengan minat dan passion kita. Hal apa saja yang ingin sekali dilakukan tetapi belum terjadi. Gali beragam ide yang muncul di pikiran Anda.
Kedua, jadilah orang yang open minded, menerima masukan dari semua orang termasuk beragam fakta dan informasi meskipun mungkin tampaknya bertolak belakang dengan apa yang kita ketahui selama ini. Ketiga, bermainlah dengan percobaan-percobaan kecil yang sebenarnya bisa membuka kesempatan kita untuk belajar dari kesalahan dengan kemungkinan koreksi dan eksplorasi ulang. Di sinilah kemungkinan silver lining dari situasi pandemik ini bisa tercipta dan menjadi terobosan baru.
Diterbitkan di harian Kompas karier 25 April 2020
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #kreativitas #creative #covid19 #quarantine #karantina