Dewasa ini penilaian tentang baik–buruk terasa semakin kabur. Label tentang sesuatu atau seseorang itu baik atau buruk dengan cepat bisa dibentuk sebelum mendapat pemahaman akan keseluruhan situasi.
APAKAH mantan narapidana adalah seorang yang buruk? Apakah donatur penyumbang dana sosial adalah seorang yang baik? Sebelum menghukum seorang anak yang berkelahi, adakah kita menanyakan alasan perbuatannya tersebut? Bisa saja ia berkelahi karena membela temannya yang lebih lemah dan di-bully oleh yang lain. Tentunya berkelahi adalah salah, tetapi dialog mengenai alasan ia melakukannya sangat penting bagi perkembangan moralnya mengenai baik-buruk.
Dalam setiap tindakan kecil yang kita lakukan sehari-hari, kita perlu mempertanyakan alasan di balik tindakan kita ini. Demi apa kita berderma ke fakir miskin? Demi reputasi kita atau benar-benar demi menolong orang yang kekurangan? Ayah Freddy Mercury vokalis Queen memiliki sebuah petuah yang begitu tertanam dalam benaknya, "Do good for goodness' sake". Berbuatlah baik demi kebaikan itu sendiri.
Asas manfaat dan asas kepentingan umum
Pada masa bayi, kita lahir dengan membawa hanya kepentingan diri. Dalam proses pertumbuhan, orang tua memperkenalkan disiplin dan aturan. Kita belajar membedakan apa yang boleh dan yang tidak boleh. Ego kita sering dihadapkan pada berbagai konflik antara apa yang diinginkan dengan apa yang dibolehkan. Dalam mencari keseimbangan konflik inilah ego belajar mengenai pertimbangan-pertimbangan baik buruk yang akan menetap sampai dewasa. Ada yang menemukan konsep kebaikan secara jelas dan jernih, ada yang mendasarkan pada penilaian lingkungan sosialnya, tetapi ada pula yang menilai keburukan tergantung pada ada atau tidaknya sangsi atas hal tersebut.
Istilah WIIFM (What’s In It For Me) sudah demikian membudaya sehingga kita menggunakannya dalam berbagai strategi berjualan, maupun memotivasi orang. Tanpa disadari, cara pikir ini mendorong orang untuk lebih egois memikirkan dirinya sendiri di atas kepentingan yang lain. Bayangkan bila asas ini digunakan terus. Apakah sebuah kebaikan itu baik bagi dirinya sendiri, atau seyogianya baik bagi orang lain? Fokus pada diri sendiri akan menimbulkan pembenaran-pembenaran terhadap hal yang kita tahu tidak baik. Meskipun sadar besarnya bahaya plastik bagi kehidupan anak cucu kita di masa depan, masih saja kita sulit menghentikan penggunaan kantong plastik karena khawatir ditinggalkan oleh para pelanggan yang masih menuntut ketersediaannya.
Bagaimana mengembangkan sikap menuju kebaikan?
Mantan Head of Human Resources Toyota Eiji Toyoda selalu berpesan: “To do what you believe is right. To do what you believe is good. Doing the right things, when required, is a calling from on high. Do it boldly, do as you believe, do as you are.” Pemahaman baik-buruk ini karenanya perlu diolah oleh tiap individu secara mendalam. Chairman Mitsui & Co Shoei Utsuda mengingatkan, “Values have to be one’s own, they can’t be borrowed.”
Ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan sikap menuju kebaikan. Pertama, membahas semua kejadian, terutama kesulitan, ketika kita bisa keluar dari masalah tanpa perlu mematahkan prinsip kebaikan. Kedua, merumuskan prinsip-prinsip kebaikan dalam bentuk tingkah laku yang jelas dan nyata. Uniqlo memiliki 23 prinsip yang selalu diingat para karyawannya seperti hargai tindakan baik, hukum tindakan buruk. Ketiga, tumbuhkan rasa bangga yang bisa membawa orang lain untuk menjaga standard dan tidak melanggar prosedur yang sudah ditetapkan.
Mereka yang sudah berhasil mempraktikkan keberhasilan menyelesaikan konflik dan membuat pilihan berdasarkan kebaikan biasanya akan mengalami rasa senang. Rasa itu oleh beberapa ahli disebut sebagai elevation atau sebenarnya heartwarming. Ahli interaksi sosial dari Berkeley Dacher Keltner mengatakan bahwa bila saraf vagus dalam diri kita aktif, sistem saraf yang berkaitan dengan degup jantung dan pelepasan oksitonin, (hormon yang berkaitan dengan ikatan sosial dan rasa percaya) akan bekerja lebih aktif. Ini adalah respons fisik yang membuat orang ingin menjadi lebih baik lagi.
Mengembangkan kebaikan di tempat kerja pun akan mendorong pertumbuhan moral para karyawannya dan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi ketika karyawan mengetahui bahwa mereka bekerja pada perusahaan yang menjaga etika moral dengan baik. Atasan tentunya akan menjadi role model yang sangat penting mengenai perilaku baik-buruk ini. Kemungkinan mereka menampilkan perilaku-perilaku yang tidak baik tentunya akan semakin kecil bila mereka tahu bahwa organisasi tidak menoleransi munculnya perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, kita perlu mengecek sejauh mana prinsip baik-buruk yang dikumandangkan oleh perusahaan sudah dihayati segenap jajaran dari paling atas sampai paling bawah sekalipun.
Latihan untuk mendorong kita ingin tetap lebih baik lagi
Kita bisa melatih diri melakukan beberapa hal. Kita bisa melatih kepekaan untuk mengidentifikasikan kebaikan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, kita perlu tertarik pada cerita orang. Bila kita membuat waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya, memahami situasi dari sudut pandangnya, kita akan semakin mengerti tentang apa yang terjadi pada diri orang lain dan bisa mengasah empati kita.
Kita tidak perlu banyak mengeluh, tetapi perlu mengembangkan keterampilan menanggulangi rasa sakit kita sendiri. Dengan demikian, rasa tanggung jawab kita terhadap diri sendiri akan semakin meningkat dan kemampuan ini justru bisa memperkuat kita untuk menolong orang yang lebih menderita daripada kita. Janda miskin yang memberikan seribu rupiah seluruh miliknya jauh lebih berkenan di mata Yang Esa, dibandingkan pengusaha kaya yang mendonasikan sejuta rupiah dari sekian miliar rupiah miliknya. Kecanggihan era digital ini tetap saja mengandalkan kita sebagai manusia untuk membawa semesta ke kehidupan yang lebih baik dan manusiawi.
"Have a heart that never hardens, and a temper that never tires, and a touch that never hurts." - Charles Dickens
Diterbitkan di Harian Kompas Karier, 23 Maret 2019.