ZASKIA bersahabat dengan Ana semenjak di bangku sekolah dasar sampai mereka kuliah. Ana sangat mengagumi Zaskia yang cantik, pintar dan populer. Keduanya jarang sekali bertengkar karena sikap Ana yang cenderung mengalah. Zaskia tampak selalu tahu apa yang diinginkan dan bisa meyakinkan Ana untuk setuju dengan pilihannya.
Amin adalah atasan yang ditakuti di kantornya. Bila ia menemukan kesalahan anak buah, dengan suara lantang ia langsung memarahi mereka di depan umum. Dalam rapat ia cenderung mendominasi pembicaraan dan mengabaikan masukan-masukan dari anak buahnya.
Ani, seorang karyawan yang kreatif dan pekerja keras. Banyak klien yang senang dengannya sehingga produktivitasnya cukup tinggi. Namun, ketika ada kesempatan untuk menjadi creative director, posisi yang sangat didambakannya, ia terpaksa gigit jari karena jabatan tersebut diisi oleh orang lain yang memang lebih pandai menjual diri. Ani menganut paham “biarlah orang lain yang menilai”.
Ana, Amin dan Ani adalah beberapa contoh dari orang-orang yang memiliki masalah dalam berkomunikasi. Ana dan Ani, tidak yakin bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara Amin justru mengabaikan hak-hak orang lain. Masalah-masalah ini bisa disebabkan oleh mindset yang mengharuskan orang untuk mendahulukan kepentingan orang lain dan mengecilkan kepentingan sendiri. Namun, kekhawatiran untuk menyinggung perasaan orang lain atau ketakutan akan penolakan, justru membuat orang mengalah atau bahkan mendominasi pembicaraan. Apa pun alasannya, ketidakmampuan berkomunikasi secara gamblang dan otentik ini akan merugikan individu.
Era digital ini justeru era komunikasi
Saat di mana komunikasi bisa diselesaikan dalam bentuk teks-teks singkat, sering kali kita menjadi tergagap-gagap untuk menyampaikan pendapat, apalagi berargumentasi secara langsung. Kepribadian kita bisa begitu berbeda antara yang tertangkap di dunia maya, dengan yang tampil di dunia nyata. Padahal justru dengan persaingan yang semakin hebat ini kita perlu menjadi pribadi yang koheren baik di dunia nyata maupun maya. Kita perlu bersuara lantang, percaya diri, tidak ragu, namun tetap santun. Namun, bagaimana memulainya?
Banyak orang menyebut komunikasi yang jelas dan ekspresif ini sebagai komunikasi lugas. Seorang yang lugas biasa berkomunikasi, bernegosiasi dan mengikuti rapat dengan efisien, karena ia dapat menyampaikan isi pikirannya dengan susunan kalimat yang baik. Orang yang lugas tidak mengkhawatirkan pendapat orang lain terhadap dirinya, bahkan dengan keterbukaannya ia bisa didekati dan direspek oleh orang lain. Ia tidak ragu untuk mengkoreksi perkataannya bila ternyata pendapat lain yang lebih baik. Ia tidak harus merasa diri paling benar karena ia menyadari bahwa orang lain bisa saja memiliki pandangan berbeda yang sama benarnya. Bukankah perbedaan generasi di jaman sekarang sering dibumbui oleh tidak lancarnya berkomunikasi, masing-masing pihak memiliki prasangka terhadap pihak lain sehingga akhirnya berkurang respek antar generasi?
Dasar kelugasan : respek
Kebiasaan bersikap defensif atau ‘bully-membully’ justru banyak menghambat kita untuk mengembangkan sikap respek. Respek yang paling utama sebetulnya terarah pada diri sendiri. Kita perlu menyadari hak-hak kita sebagai manusia. Kita perlu sadar siapa kita, dan apa saja hak-hak kita. Bila kita bisa memahami kekuatan dan keterbatasan kita secara berimbang, dan secara sehat membuat batasan-batasan yang jelas dan fair pada diri kita, maka inilah yang dinamakan mengenal diri sendiri. Hanya setelah menghormati diri kita sendiri, barulah kita bisa menghormati orang lain. Ingat bahwa orang lain juga mempunyai hak yang sama dengan kita. Mereka juga punya kelebihan dan kekurangan. Merekapun boleh tidak setuju, tidak suka, tidak menjawab dan mengatakan “tidak”.
Kuasai situasi pembicaraan
Dengan adanya perbedaan generasi kemampuan berkomunikasi justru menjadi semakin penting. Kami di Experd, sering mendapatkan permintaan untuk mengkarbit generasi muda agar dapat segera mencapai kematangan seperti senior-seniornya supaya para talenta muda ini dapat efektif berinteraksi dengan pimpinan perusahaan. Atasan seringkali mengatakan bahwa generasi muda di organisasinya merasa minder dan menjaga jarak bila harus rapat dengan pimpinan di perusahaan kliennya. Di sisi lain, kita juga melihat anak-anak kuliahan yang juga sudah mampu memulai bisnis startup-nya. Mereka bisa berdiskusi dengan santun dan jenaka, sambil meyakinkan lawan bicaranya yang jauh lebih tua, akan ide-idenya. Tidak jarang alat presentasi mereka hanyalah ponsel yang ada dalam genggamannya. Jadi, siapa bilang anak muda jaman sekarang tidak mampu berkomunikasi dengan setara?
Sepanjang kita mampu dengan cepat menangkap maksud lawan bicara, membuat kesimpulan dan memberi komentar positif terhadap apa yang dikatakan orang, kita bisa membuat pembicaraan menjadi menyenangkan dan berdampak positif. Tidak peduli tua atau muda, kita harus memiliki kejelasan akan visi kita sendiri, sehingga kita tampak memiliki ‘isi’ dalam pembicaraan. Bahkan dengan bantuan ponsel, kita dapat memiliki alat peraga yang ampuh. “Social proof”, hal-hal yang bisa menguatkan opini kita, bisa segera kita sajikan. Apalagi kalau kitalah yang menindak lanjuti pembicaraan lebih dahulu. Bisa dikatakan beginilah cara kita melakukan control terhadap situasi. Kelugasan pada prinsipnya mencari hasil ‘win-win’, mengupayakan memahami dan dipahami sambil merespek orang lain. Kelugasan justru akan mengentalkan hubungan menjadi lebih baik.
Dimuat dalam harian Kompas, 2 Desember 2017.