DENGAN mengglobalnya dunia, dikenal dengan istilah digital nomad, yaitu banyak anak muda sekarang yang hanya berbekal laptop dan perlengkapan gadget lainnya, bisa tinggal di tempat-tempat yang bagaikan surga dunia, sambil tetap berproduksi dan menghasilkan uang sebagai penunjang biaya hidup. Perusahaan-perusahaan pun menggurita dan membuka perwakilan di mana-mana untuk menggapai market yang lebih luas. Banyak professional yang diharapkan kesiapannya untuk ditempatkan di mana-mana.
Kenalan saya yang demikian berprestasi di perusahaannya di Eropa, mendapat tantangan baru untuk memimpin cabang di Shanghai, China. Dengan semangat yang menggebu-gebu ia berangkat. Namun, dalam waktu 3 bulan, ia menyerah. Ia tidak tahan dengan budaya kerja orang China yang menurutnya tidak profesional. Demikian pula tata krama di kendaraan umum menyebabkan ia stress. Ia merasa bahwa situasi di Shanghai serba ambigu. Tak jelas, tidak transparan, dan sulit diterka. Ia minta dikembalikan bekerja di Eropa, tetapi para atasan menganggap bahwa kegagalan fatal bagi seorang eksekutif setingkat kenalan saya ini. Ia diminta mengundurkan diri.
Seorang eksekutif bank besar mendapat tugas untuk menjadi kepala wilayah di Papua. Bagi rekan-rekan sekantornya, hal itu menjadi semacam hukuman, mengingat kondisi pasarnya yang cukup sulit. Eksekutif ini berpandangan lain. Ia menganggap bahwa penempatannya ini adalah tonggak ujian, tidak hanya bagi kariernya, tetapi juga dia sebagai individu. “Saya seolah mengambil pendidikan pascasarjana di sini”.
Ia memang membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk berbicara dengan para bawahan dan pelanggannya, untuk menemukan data-data yang akan menjadi bahan membuat strategi. Mengimplementasikan perubahan yang ia buat juga membutuhkan tantangan tersendiri karena menuntut perubahan sikap dan cara kerja orang-orang dalam timnya. Tetapi karena pendekatannya yang bersahabat, ia berhasil meluruhkan hati timnya dan bisa mengajak mereka untuk berubah. Inilah yang sekarang sering disebut dengan learning agility, kumpulan kualitas dan atribut individu, yang menunjang fleksibilitasnya, bangkit kembali dari kegagalan dan menemukan solusi baru lagi pemecahan masalahnya.
“Fleksibility”, “adaptability” dan “resilience”
Hidup, bekerja, apalagi memimpin pada masa sekarang itu ibarat lomba renang di danau yang luas. Kita berenang di air yang tampaknya tenang, tidak bergelombang. Namun, kita tidak pernah bisa memprediksi yang ada di dalam danau tersebut, apakah binatang buas, kumpulan ganggang atau pusaran air yang berbahaya. Pada masa sekarang, hidup tenang, jelas dan di bawah kendali kita hanyalah ilusi yang jauh dari kenyataan.
Seorang teman, yang sudah lama bekerja di media, sudah terbiasa di dekati orang yang ingin agar produk, hotel dan jasa lainnya, dapat dipublikasikan di majalah yang dipimpinnya. Situasi yang berlangsung bertahun-tahun ini membuatnya terbiasa dengan suasana dominasi dan menunggu. Pada saat sekarang, ketika media bukan lagi cara satu-satunya untuk menggapai pelanggan dan menguasai pasar, tiba-tiba ia terasa bahwa ia begitu ketinggalan dengan ketidakmampuannya berpikir atau menemukan cara untuk beradaptasi dengan keadaan tak menentu ini. Individu ini pasti kalah dengan orang-orang yang bisa belajar dengan gesit, menyesuaikan diri, dan berangkat lagi dengan semangat yang berbeda.
Korn/Ferry International melakukan riset terhadap eksekutif-eksekutif yang berhasil di masa sekarang ini. Hal yang menonjol ternyata adalah kapabilitas integratif untuk memahami, lalu menganyam semua informasi terkini dan ide-ide yang tadinya tidak berkaitan menjadi sebuah pemikiran baru dan inovatif untuk bisa menjadi solusi masa kini. Selain itu, dibutuhkan kepercayaan diri untuk membuat keputusan segera, walaupun kita menyadari bahwa data yang ada belum tentu lengkap. Kapasitas ini perlu ada untuk menunjang situasi yang memang senantiasa abu-abu ini dengan sikap terbuka adaptif.
“Speed to learn”
Keadaan tak jelas ini sungguh tidak memberi ampun kepada orang yang tidak mau belajar, melakukan riset, dan mengupayakan berbagai cara untuk tahu lebih banyak dan menguasai beragam keterampilan baru. Proses belajar ini perlu dilakukan dengan cukup cepat mengingat banyaknya hal baru yang harus dipelajari lagi.
Kemampuan fast learning ini sudah tidak berkaitan lagi dengan kemampuan akademis. Ini adalah kemampuan akademis dan passion terhadap hal yang belum dikenal sebelumnya, dan kemampuan mendalami dengan cepat. Ini adalah “knowing what to do when you don’t know what to do”.
Konsultan tersebut mengategorikan kapasitas belajar ini ke dalam 5 hal: mental agility : kemampuan berpikir kritis, dan mengembangkan beragam kemungkinan sehingga kapasitas menampung hal-hal yang segar tetap terjaga. People agility : kemampuan berhubungan dengan orang lain,memahami mereka dalam keadaan yang menyulitkan sekalipun, dan tetap mampu membina kerja sama. Change agility : semangat melakukan eksperimen, selalu ingin tahu dan mampu berenang dalam ketidaknyamanan. Result agility : dapat memberikan hasil dalam situasi tercepat dan mengarahkan produktivitas tim. Dan, terakhir self awareness : di mana kita tetap reflektif, senantiasa berkaca dan mawas diri, serta siap mendapatkan masukan dari orang lain.
Jangan defensif
Pengetahuan dan expertise yang sudah ada di kita, tidak bisa kita anggap sudah cukup dan tidak bisa ditambah lagi. Terlepas dari posisi kita yang sudah senior sekalipun, bila kita memang tetap ingin menjaga jalannya bisnis, kita harus bersikap terbuka untuk mengalami proses belajar. Membangun benteng “tidak mau tahu”, atau “dari dulu sudah begini”, sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Hal yang perlu diperkenalkan dan dibudayakan dalam organisasi adalah berinovasi, mawas diri, dan pengambilan risiko. Bagaimana mungkin kalau ini dilakukan oleh orang yang tidak mau belajar ?
Kompas, 9 September 2017