was successfully added to your cart.

PEMIMPIN ATAU PEMEGANG JABATAN?

PEMIMPIN ATAU PEMEGANG JABATAN?

Setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan baik di tingkat negara maupun organisasi, kita menanti dengan harap-harap cemas bagaimanakah formasi tim yang akan dibentuk oleh pemimpin yang baru ini. Apakah ia akan memilih orang-orang yang sudah terbukti kompetensinya atau mereka yang dihadirkan karena alasan lain. Mereka yang mengabdi bukan pada tugas dan tanggung jawab yang harus diembannya, melainkan yang menempatkan dia di posisinya ini.

Di perusahaan keluarga atau instansi publik, praktik seperti itu muncul dengan bentuk beragam. Ada yang mempromosikan keponakan, ada yang mempekerjakan pasangan, ada pula yang memberi proyek hanya pada vendor tertentu karena hubungan pribadi.

Rochelle Clarke menyebutkan, "Transparansi adalah obat penawar bagi nepotisme.” Dalam lembaga yang sudah memiliki mekanisme pengadaan proyek secara terstruktur sekalipun, bisa saja terjadi proses yang dibungkus dengan metode formal, tetapi tidak benar-benar transparan.

Gejalanya beragam. Proyek strategis jatuh ke tangan yang “kebetulan” satu almamater atau satu grup olahraga dengan atasan. Kandidat promosi yang layak dan berpotensi dikesampingkan demi wajah yang lebih akrab dan mudah dikendalikan. Keputusan penting lebih banyak dibicarakan di luar forum resmi.

Sementara itu, rekan-rekan yang penuh dedikasi justru tak pernah dilibatkan dalam keputusan penting. Pelatihan, fasilitas, hingga kesempatan belajar diberikan secara selektif. Ada yang selalu diajak ke pelatihan luar negeri, selalu masuk daftar kandidat suksesi meskipun kontribusinya dalam berorganisasi tidak dirasakan nyata. Sementara itu, yang berprestasi dibiarkan stagnan karena tidak memiliki pengaruh terhadap pemegang kekuasaan. Bahkan, dalam sesi evaluasi, nilai-nilai tertentu seperti loyalitas lebih dihargai daripada kontribusi nyata.

Menurut Jonathan H Westover, "Ketika karyawan percaya bahwa ikatan keluarga lebih penting daripada kompetensi, sesuatu yang mendasar dalam kontrak kerja terganggu." Begitu kepercayaan pada keadilan retak, semangat kerja pun perlahan-lahan surut. Orang mulai menahan ide, menurunkan standar, dan mengganti semangat juang untuk maju menjadi strategi bertahan. Individu bekerja bukan untuk berkarya, melainkan agar tidak disalahkan. Diam menjadi aman, inisiatif menjadi berisiko.

Organisasi pun kehilangan denyutnya, hubungan antartim menjadi renggang, tak jarang muncul rasa saling curiga dan enggan berbagi karena khawatir digunakan untuk kepentingan pribadi. Dalam ruang yang tidak adil, banyak yang memilih untuk berhenti berbicara karena merasa masukan tidak akan dipertimbangkan jika tidak berasal dari nama yang "dikenal baik".

Situasi itu menciptakan kesenjangan yang merusak motivasi, baik individual maupun kolektif.  Karyawan  yang baru masuk pun dengan cepat belajar bahwa untuk maju, lebih penting membangun relasi dengan orang yang tepat, bukan meningkatkan kualitas kerja.     

Kita mulai percaya bahwa sistem tidak bisa diandalkan. Harapan pun memudar. Dalam survei employee engagement, tim yang berada dalam situasi dengan kepemimpinan tidak adil menunjukkan penurunan skor keterlibatan secara signifikan. Ketika proyek, jabatan, dan pilihan hanya berputar dalam lingkaran kecil yang sama, yang terbentuk bukan organisasi profesional, melainkan jaringan loyalitas pribadi. Klaus Kneale menulis, "Nepotisme bisa menjadi racun atau perekat, tergantung pada seberapa etis penerapannya.”

Namun, sebenarnya tidak semua bentuk koneksi bersifat buruk. Ada yang memang tumbuh dari rekam jejak yang berupaya keras membangun kualitas sehingga langkah di kemudian hari lebih ringan karena sudah mendapatkan kepercayaan. Hanya ketika koneksi begitu kuat tanpa didasari dengan kompetensi yang teruji, yang lain akan merasa tersingkir dari sistem. Susahnya, sebagai karyawan, kita sering kali merasa tidak memiliki pilihan untuk menghindari organisasi seperti ini.

Lalu bagaimana kita bertahan dalam situasi seperti ini?

Pertama, setia kepada nilai pribadi sendiri. Keadilan mungkin tidak menjadi budaya organisasi, tapi kita memiliki kontrol penuh terhadap integritas pribadi kita. Kita bisa memilih untuk tetap bekerja dengan baik; semata-mata karena kita menghormati diri kita, menghormati kerja keras kita dalam membangun kompetensi, dan menghormati mereka yang menaruh kepercayaan kepada kita. Secara pribadi, kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan benar, berkembang, dan berguna bagi lembaga kita.

Kedua, disiplin dalam mendokumentasikan setiap kontribusi. Menulis laporan yang jelas dan terstruktur, mencatat pencapaian, mendokumentasikan ide yang disampaikan. Ini bukan sekadar arsip, melainkan perisai. Karena dalam sistem yang tidak transparan, jejak kerja adalah kekuatan kita. Cari kesempatan untuk mendorong organisasi melakukan audit. Tidak semua perubahan dimulai dari konfrontasi. Kadang, data bisa berbicara lebih lantang.

Ketiga, kita bisa berusaha menciptakan ruang aman bagi diri sendiri dan anggota tim kita. Yakinlah bahwa kita tidak sendirian. Dalam lingkungan yang paling buruk sekalipun, ada orang-orang yang masih percaya pada proses yang adil. Bisa jadi mereka hanya berdiam saja saat ini karena merasa tidak memiliki kekuatan sendirian. Bangun komunitas kecil yang saling menguatkan, saling mengingatkan, dan saling menjaga semangat.

Keempat, budayakan ketrampilan untuk mengajukan pertanyaan. Bukan untuk menyerang, melainkan membuka diskusi. Transparansi sering kali dimulai dari keberanian satu orang untuk bertanya, "Apa dasar keputusan ini?" atau "Bagaimana proses seleksinya?"

Kelima, jaga kesehatan mental kita. Rasa frustrasi, kecewa, dan lelah itu nyata. Kita perlu mencari cara agar tidak hanyut di dalamnya, misalnya dengan mengatur ulang ekspektasi, membuat small wins yang dapat memompa semangat sebelum sampai pada tujuan yang lebih besar. Ini bukan berarti menyerah, melainkan memberi ruang bagi kita untuk bernapas. Mengumpulkan energi dan bangkit kembali.

Kita mungkin tidak bisa mengubah siapa yang duduk di atas. Namun, kita bisa menentukan bagaimana kita berdiri di tengah situasi itu. Kita bisa tetap memilih menjadi pemimpin meski tanpa jabatan. Dalam kerja, dalam etika, dan dalam cara memperlakukan orang lain.

Bukankah pemimpin sejati tidak diukur dari siapa yang paling sering tampil, tetapi dari siapa yang paling konsisten memelihara nurani? Kepemimpinan adalah keberanian untuk tetap bersih saat sekeliling mulai pudar. Ketika sistem terasa mengecewakan, mungkin justru saat itulah integritas kita diuji.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 19 Juli 2025

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant pemimpin #atau #pemegang #jabatan

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com