Dalam setiap tim atau kumpulan manusia, kita bisa langsung merasakan solid atau tidak solidnya tim tersebut. Meskipun banyak macam teori mengenai alignment dan kohesivitas yang kita kenal, namun menjaga solidaritas tim nyata-nyata bukan hal yang mudah. Ada anggota tim yang dalam situasi genting malah mengeluh sakit dan tidak muncul untuk melaksanakan komitmen untuk menyelesaikan tugas. Sebaliknya, ada tim yang sudah diminta oleh atasannya untuk pulang ke rumah tetapi tetap berusaha menuntaskan tugas. Ada anggota tim yang langsung meninggalkan tempat kerja begitu bagiannya selesai, namun ada juga individu yang sudah menyelesaikan bagiannya, namun dengan sukarela mengambil bagian pekerjaan dari rekan lain yang butuh bantuan. Ada anggota tim yang enggan berdekatan dengan atasannya, walaupun sangat merespeknya. Sebaliknya, ada juga individu yang kinerjanya baik, tapi terus-menerus membicarakan atasan di belakang.
Dalam setiap kelompok, tiap individu mempunyai temperamen yang berbeda. Ada yang introvert, ada yang ekstrovert. Ada yang berpikir cepat, ada yang lambat. Ada yang optimis, dan ada yang pesimis. Dan, bila di hitung-hitung kita bisa jadi memang asing satu sama lain. Pelatihan-pelatihan yang bertujuan membangun kekompakan tim memang kerap diupayakan, apalagi menjelang akhir tahun seperti ini, untuk memahami keberagaman tiap-tiap anggota tim. Dengan membuat kedekatan baik fisik secara emosional, kita memang dapat membangun keakraban, namun sayangnya keakraban yang terjadi lebih sering bersifat partial. Ada individu yang akrab secara informal dengan teman sekerjanya, misalnya bisa mengobrol berjam-jam saat makan siang, namun saat membicarakan pekerjaan tidak bisa berargumen sampai tuntas. Sementara, ada tim lain yang bisa mendekatkan kepala pada pengerjaan proyek, sangat kompak, tetapi dalam kehidupan informal tidak bersahabat. Kelihatan betapa individu dalam tim nampaknya memang harus direkatkan satu sama lain. Perekat ini yang membuat tim ‘mau’ untuk bersusah dan bersenang bersama. Sebagai pemimpin, manager atau supervisor, kita memang perlu berusaha keras untuk menjadi perekat dan menyatukan kelompok, bahkan membuat perbedaan yang ada justru saling menguatkan. Ini jelas seni kepemimpinan yang menjadi tantangan, terutama menyadari betapa keberbedaan yang demikian besar harus direkat untuk mencapai target, padahal dunia kita semakin bersaing dan kompleks.
Menjadi ‘glue guy”
Kalau dimungkinkan, orang memang cenderung menghindari konflik. Bila ketika kita memimpin kita merasa tidak sanggup memanfaatkan konflik untuk menganyam kelompok, kita perlu mawas diri dan cepat belajar bagaimana caranya merekat kelompok luar dalam. Tidak ada pilihan lain. Saat seorang pemimpin merasa sudah mendelegasikan tugas dengan baik, membagi-bagi tugas dengan adil sehingga ia punya waktu luang, saat seperti inilah yang sesungguhnya menjadi momentum yang tepat untuk mengembangkan daya perekat tadi. Daya perekat ini kongkrit, bukannya tidak teraga. Kita perlu mengkonsentrasikan dan memfokuskan upaya untuk menolong individu bekerja lebih efektif, cepat, tidak membuang buang waktu, bahkan bersikap adaptif terhadap perubahan dan bisa mencapai sukses. Meski kita merasa tugas sudah dilaksanakan dengan efektif, namun anggota tim tetap perlu diajak mengkaji kembali misi tim, terutama pada saat saat yang berat dan penuh ketegangan. Singkat kata, tim tidak bisa dilepas, karena keyakinan harus dihidupkan dan dikembangkan. Orang orang yang idealis, tidak mau berada disebuah kelompok yang tak jelas arah dan tujuannya. Tugas pemimpin kelompoklah untuk menjaga ‘ethos’ kerja kelompok.
Setiap tim membutuhkan perekat yang bisa menggerakkan anggotanya untuk melakukan hal-hal yang ‘lebih’ dari kinerja normalnya. Untuk itu, atasan jelas tidak bisa hanya sekedar banyak bicara, namun juga perlu terlihat melakukan “lebih” untuk timnya, misalnya menunggu anggota tim yang lembur atau mengambil tugas-tugas sulit yang dihadapi timnya. Seorang atasan baru keliatan merekatkan tim kalau dia juga berkorban. Nelson Mandela pernah mengungkapkan: "Real leaders must be ready to sacrifice all for the freedom of their people.". Bila setiap orang sudah melakukan hal lebih, misal rela masuk ke kolong-kolong untuk memasang kabel tanpa harus menunggu OB, maka baru akan terjadi enerji tambahan yang bisa membuat tim menikmati kesuksesan mereka pula. Saat tim sudah lebih erat, individu tidak lagi terlalu mempedulikan kelelahan dan kinerja pribadinya, tetapi lebih mementingkan kesuksesan tim.
Menemukan ‘sweet areas”
Kehidupan berkelompok sebetulnya tidak jauh-jauh dari kisah cinta sebuah pasangan. Semakin banyak ‘sweet moments’ semakin mesralah hubungan antar individunya. Disinilah pemimpin kelompok perlu membuat perhitungan, apakah ‘sweet moments’ persentasenya bisa jauh lebih besar daripada situasi kerja yang penuh stres dan tidak menyenangkan. Suasana yang tidak menyenangkan itu bisa saja tidak kita sengaja, misalnya melakukan ‘meeting’ yang tidak beragenda, sehingga bertele-tele. Ini bisa menyebabkan para anggota tim ‘ilfil” (hilang feeling). Demikian pula, bila kita lupa merespek ketegangan yang tengah dihadapi anggota tim atau ketidakpekaan kita dalam pemanfaatan waktu anggota tim. Hal ini bisa jadi kita anggap sepele, padahal bagi mereka ini sangat serius. Itulah sebabnya cek dan ricek ‘common ground’ dengan anggota tim adalah tindakan yang sangat penting.
Hal yang juga sering tidak kita pedulikan adalah komunikasi. Kita perlu terus menerus mengecek: Apakah instruksi kita jelas? Apakah bawahan mudah menuangkan instruksi itu ke dalam tulisan? Apakah kita menyadari bahwa ada anggota kelompok yang lebih visual , tetapi juga ada yang lebih auditif? Kitapun perlu mengajak anggota kelompok untuk berpikir obyektif dan progresif. Karenanya diskusi yang panjang yang mendalam diperlukan untuk dengan santai membahas apa yang sudah kita raih dan bagaimana masa depannya. “Collaboration With Diverse Individuals Is Not Easy — Just Vital”.
(Dimuat di Kompas, 7 Desember 2013)