Banyak orang menganalogikan kepemimpinan dengan kesuksesan. Kehidupan pemimpin selalu dikaitkan dengan sesuatu yang baik. Bahkan, banyak bawahan yang terkagum-kagum dengan apa yang dimiliki dan dilakukan pemimpinnya, terlepas dari benar atau salahnya. Orang lebih sering membayangkan pemimpin dari bagaimana pembawaannya, apa yang ia tampilkan, sehingga jarang orang membayangkan bahwa dalam kepemimpinan, ‘rasa’ dan kepribadian itu sangat penting. Terlihat betapa kita lebih sering mementingkan ‘looks’ daripada ‘feels’-nya.
Kualitas diri seorang pemimpin akan diuji dan disorot saat ia memecahkan masalah, memilih individu yang potential untuk menjadi bawahannya, juga menguatkan manajemen kinerja dan pembelajarannya. Hal yang sering kita lihat, saat seorang peimpin diangkat, kita kemudian merasakan ia berjarak dengan bawahannya. Seringkali, meski memiliki kecerdasan dan kemampuan teknis yang tidak diragukan, pemimpin jelas segera sorot bila ia tidak memiliki purpose yang jelas, sulit membawa tim menghayati masalah, dan tidak mampu mencari solusi dan mengubah kebiasan. Alhasil kita mulai meragukan kemampuannya sebagai pemimpin.
Sebaliknya, kita bisa melihat seorang pemimpin saat ia bisa membentuk sinergi kelompoknya. Seorang CEO, yang kemampuan bahasanya pas-pasan, berhasil membawa sebuah perusahaan ke kinerja paling atas, dan membuat perusahaan sangat terkenal dengan sinergi timnya. Beliau memang dikritik karena sedikit ketinggalan dalam memandang perkembangan teknologi ke depan. Namun, ia berpendapat bahwa banyak ahli teknologi yang bisa berada dalam timnya. “Masalahnya bukan di perubahan sistem dan teknologi, tetapi lebih kepada kemampuan menggerakkan pemikiran dan hati setiap bawahan”. Ia tidak segan ‘pasang badan’ untuk bergaul, maupun bersusah-susah dengan bawahan. Prinsip yang ia pegang: “People don't grow from the neck up”. Kita harus melibatkan head, heart dan hand-nya”. Ia juga tidak segan mengeluarkan testimoni tentang bagaimana ia mendapatkan keyakinan-keyakinannya sebagai manusia, maupun sebagai pemimpin. Kita bisa segera angkat topi karena merasakan betapa beliau sangat “mindful” dan penuh perasaan dalam mengembangkan potensi timnya. Seperti diungkapkan John C. Maxwell “Leadership is not about titles, positions or flowcharts. It is about one life influencing another.”
Pemimpin adalah Pembentuk Karakter
Setiap pemimpin perlu sadar sesadar-sadarnya bahwa seluruh perilaku dan ‘value system’ pribadinya akan diawasi ‘followers’nya. Komitmennya akan dihitung, konsistensi antara bicara dan kenyataan akan ditunggu. Apa yang ia janjikan di dalam meeting, komentar dan celetukannya terhadap situasi tidak lepas dari perhatian orang lain. Begitu apa yang dijanjikan betul-betul dilakukan dan terbukti benar, ‘followers’ pun akan mulai bergerak sejalan dengan apa yang diarahkan oleh sang pemimpin. Apa sebenarnya yang menggerakkan para ‘followers’ ini? Self leadership yang kuatlah yang memancarkan karisma seorang pemimpin. Karakter pemimpin yang seolah-olah terpampang di etalase-lah yang menjadi panutan pengikutnya. Sebelum ‘self leadership’ kuat, arahan pemimpin hanya ‘sesuatu’ di atas kertas yang tidak menyatu dengan dirinya. Itulah sebabnya pemimpin harus menguatkan karakternya dahulu, sehingga bisa menjadi pusat perubahan, ditengah beraneka ragam karakter followersnya.
Seorang pemimpin, apakah itu pemimpin RT/RW, pemimpin keluarga, apalagi pejabat negara, paling tidak perlu mendalami apa itu kepribadian dan bagaimana kepribadiannya terbentuk. Ia perlu mengklarifilasi ‘nilai-nilai’ yang dia anut, mengakui kekuatan dan kelemahannya, meningkatkan kemampuan bicara dan presentasinya sehingga ia bisa membagi enerji dan waktunya agar sempat membangun kepribadian para followers-nya. Sudah tidak jamannya lagi pemimpin mengeluh mengenai timnya, apakah kemampuan atau karakternya. Sebaliknya, pemimpin harus membangkitkan keyakinan pada anak buahnya, bahwa ia bisa menjadi orang yang lebih mumpuni dan lebih baik. Kita lihat betapa Jokowi –Ahok menerima anak buah apa adanya dan mencoba mengembangkan dari yang ada, plus mengubah karakternya. “Our character defines us. Only after we determine who we are can we know how to grow.”
Open Intelligence
Saat seseorang di angkat menjadi pemimpin, sering kita lihat lay-out ruangan dipindah menjadi ruang tersendiri yang lebih besar, lebih ‘private’. Fasilitas, seperti tempat makan atau kendaraan pun terpisah, dengan kondisi lebih baik. Bila tidak hati-hati, hal ini bisa membuat para pemimpin lupa bahwa ia sebetulnya perlu berada di tengah pengembangan dan perubahan ‘followers’-nya. Kepemimpinan bukan "solo practise”. Pemimpin punya peran krusial untuk menggerakkan, mendorong orang lain dan memberi arahan. Pemimpin perlu peka bila ada ketidakkompakan anak buah, penolakan, rasa tidak nyaman. Ia juga harus mengetahui “timing” kapan mengguncang anak buah untuk bergerak. Pemimpin perlu berani membentuk komunitas gaya barunya. Di masa sekarang, pemimpin jelas perlu upaya yang lebih smart dan gesit. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang ‘tertutup’ dan ‘tidak terbaca’ oleh anak buah bisa mengarahkan emosi anak buah? Sudah waktunya kita membuktikan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi: I suppose leadership at one time meant muscles; but today it means getting along with people.
Sebagai pemimpin kita tidak bisa mempunyai persepsi yang realistik bila kita berjarak dengan lapangan, yang lebih dikuasai bawahan. Kita perlu selalu ingat bahwa ‘business’ seorang leader adalah menemukan kesempatan, bekerja dengan persepsi bawahan, mendeteksi kesulitan praktis dan menikmati kesuksesan yang dialami anak buah? Pemimpin perlu mengembangkan “open intelligence’ sambil kuat-kuat menjaga prinsip, ‘engagement’ dan integritasnya. Apapun dan dimana pun bentuk kepemimpinan yang ada di pundak kita, peran terbesar kita adalah memberi inspirasi kepada ‘follower’ kita.
(Dimuat di Kompas, 7 September 2013)