was successfully added to your cart.

Humanisasi

Fenomena mudik yang baru kita saksikan, atau alami sendiri, mengingatkan betapa setiap orang ingin berada di “rumah”-nya ketika lebaran, memenuhi rasa haus bertatap muka, merasakan hangatnya peluk-cium sanak saudara. Dalam kesempatan ini, kita bisa merasakan apa yang namanya “manusiawi”. Orang rela menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, meski mengendarai motor yang bisa mengancam keselamatan jiwanya, untuk mengisi kebutuhan bersilaturahmi yang dalam.

Kita sadar jaman memang sudah berubah. Hal yang disebut “normal” sekarang adalah komunikasi lewat email, telpon, silaturahmi secara elektronik. Banyak pihak mengatakan: “The old ways aren’t working”. Kalau bisa, ‘rasa percaya’, peduli, dan nilai-nilai luhur pun disalurkan dengan instan, secara elektronik pula

Dalam dunia kerja, kita tidak bisa menutup mata melihat kenyataan bahwa unsur manusia memang kerap dilihat sebagai “alat” untuk meningkatkan laba. Proses pelik dalam kepribadian manusia banyak disikapi dengan menggampangkan. Organisasi memang lebih sadar untuk menerapkan upaya “bedah orang” melalui asesmen yang canggih, namun hasil pembedahan tindaklanjutnya hanya sebatas mutasi, promosi, rotasi, tanpa keseriusan untuk dijadikan patokan pembenahan manusianya, apalagi bicara hati ke hati dengan manusianya. Lambat laun, kita menerima kenyataan bahwa banyak pihak melihat karyawan tidak sebagai “manusia”, namun lebih sebagai ‘corporate engine’ dan semacam ‘sekrup’ yang bisa di gunting-copot. . Seorang ahli syaraf, dari Rutgers University menyatakan bahwa otak manusia sekarang sudah dirangsang oleh 3 hal secara hirarki, yaitu pertama makanan sebagai kebutuhan primer, kedua: uang, baru ketiganya hal-hal sosial seperti pertemanan, silaturahmi, ‘care’ dan hal interpersonal lainnya. Ini tentu membuat kita jadi bertanya-tanya, betulkah manusia lebih bersemangat mengejar uang daripada kegiatan hubungan antar manusia? Apakah kita, manusia yang berakal budi memang menghendaki hal ini dan bisa bertahan dengan keadaan ini?

Apakah kita mau terjebak memandang binis sebagai mesin ekonomi yang tidak bernyawa? Apakah kita tidak lagi meyakini bahwa proses hubungan antar manusia justru tidak lekang dimakan jaman? Benarkah ada sikap lain yang lebih baik daripada melakukan pendekatan yang “manusiawi”?

George Carlin, seorang artis, penulis, comedian yang aktif menyuarakan kritik sosial, menyatakan:” “We're so self-important. So arrogant. Everybody's going to save something now. Save the trees, save the bees, save the whales, save the snails. And the supreme arrogance? Save the planet! Are these people kidding? Save the planet? We don't even know how to take care of ourselves; we haven't learned how to care for one another.”. Secanggih apapun dunia kita sekarang, kita tentu harus ingat bahwa kita manusia, pelanggan kita, partner kita, karyawan dan bawahan kita adalah manusia. Proses dan perbaikan apapun hanya bisa berhasil bila kita sebagai manusia memanfaatkan kemanusiawian kita. Kita pun tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa dunia ini didominasi oleh proses hubungan interpersonal, lebih dari segala-galanya.

Apakah kita berkepribadian?

Seorang ahli mengatakan bahwa kesulitan individu untuk melakukan pendekatan manusiawi adalah ketidaksadaran bahwa ia sendiri adalah manusia utuh. Kesadaran ini sebenarnya bisa dimulai dengan mengenal diri dalam-dalam dan bersikap jujur terhadap diri sendiri. Kekurangan di terima, kelebihan pun dinikmati, walau tidak perlu disombongkan. Banyak orang yang melihat asesmen kepribadian sebelah mata. Hanya sedikit orang yang melihat proses asesmen dan sesi umpan balik atau coaching sebagai sebuah “kemewahan” atau sesi yang ditunggu-tunggu. Padahal, untuk bisa mengembangkan pendekatan manusiawi, kita perlu mulai dengan menyadari apa adanya diri kita sendiri, dan kemudian dengan penuh kesadaran meng-‘amal’-kan, mengeluarkan dan mengekspresikan kekhasan dan kekuatan diri kita. Bila kita berhasil melakukan ‘action’ ini dan merasakan reaksi orang lain, maka kita bisa mengklaim bahwa kita mulai mempraktekkan ekspresi kepribadian kita.

Selain mengekspresikan diri setulus-tulusnya, kita pun perlu menarik ‘data’ dari orang lain, benar-benar mengenali dinamika yang berkecamuk dalam kepribadiannya. Interest kita terhadap manusia lain harus ada, bukan basa basi, apalagi melihatnya sebagai “benda” atau “alat” yang harus kita jalankan atau manfaatkan. Kita perlu mulai kembali untuk berkomunikasi secara manusia ke manusia, dan melakukannya dalam mode yang komplit: rasa, pikir dan tindakan.

Personal dan Tatap Muka

Sudah lama kita tidak melihat pemimpin yang ‘turun tangan’, menghadapi masalah di lapangan dan betul-betul melakukan ‘problem solving’ di tempat. Sampai-sampai istilah ‘blusukan’ menjadi begitu populer. Padahal, bukankah sangat wajar bahwa bila kita ingin  berkomunikasi dengan seseorang ataupun khalayak ramai, bentuk hubungan yang paling efektif adalah tatap muka? Begitu langkanya cara ini, sehingga orang yang menggunakan cara ini dianggap ‘overacting’. Bila kita ingin hidup dengan pendekatan manusiawi, kita memang perlu menganggap bahwa menginspirasi dan membuat koneksi, dalam situasi semodern apapun, bisa kita lakukan dengan cara yang “basic”. Tengok betapa sederhana pendekatan Jokowi untuk memindahkan orang ke rumah susun. Beliau bertanya pada seorang ibu,”Apakah ibu ingin hidup lebih layak?” Tentu saja ibu itu setuju dan bersedia dipindahkan. Bukankah ini sungguh pendekatan manusiawi, namun kerap kita sepelekan?

Ada pimpinan di kantor pusat yang mengeluhkan besarnya kendala untuk bisa mendapatkan data akurat di lapangan untuk menyusun pembenahan. Namun, buktinya ada juga pejabat yang bisa mendapatkan data lapangan akurat dengan kesungguhan untuk membuka jalur komunikasi 2 arah secara elektronik dan menepati janji untuk menjawab semua sms. Lagi-lagi kita buktikan bahwa pendekatan manusiawilah yang paling sakti. Kita jelas perlu meninjau kembali bagaimana diri kita memandang manusia. Apakah kita melihat manusia sebagai ‘alat’ untuk mencapai tujuan saja? Apakah kita betul-betul ingin bermitra dan meningkatkan ‘social value’ yang pada akhirnya bisa meningkatkan ‘economic value’ juga? Singkatnya, kita betul-betul perlu menaruh kepercayaan dan harapan pada manusia lain di sekitar kita dan percaya bahwa kita memang saling membutuhkan dan meyakini bahwa kemitraan kita akan menghasilkan “power” luar biasa dan suatu saat akan  membuahkan hasil.

(Dimuat di Kompas, 24 Agustus 2013)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com