Isu komunikasi bisa jadi salah satu tantangan “abadi” sepanjang hidup kita. Kita jelas melihat komunikasi berubah dari waktu ke waktu. Komunikasi lebih instan dan real time. Jalur dan metode komunikasi lebih beragam, bahkan kerap tidak ada hambatan untuk mengakses berbagai content komunikasi, bahkan yang tergolong rahasia dan tabu sekali pun. Anak-anak usia 1-2 tahun sekarang, tampak lebih pandai berceloteh, daripada balita di 3-4 dekade lalu. Kemampuan berbahasa asing anak-anak ini pun jauh lebih mahir, tanpa mengikuti kursus formal, namun sekedar karena melihat tayangan film asing saja. Bagaimana di perusahaan? Cara, proses, alur komunikasi memang berubah dan lebih canggih, namun tetap saja isu komunikasi dipersoalkan, bukan?
Orang sadar bahwa berbicara belum tentu berarti berkomunikasi. Orang juga tahu bahwa komunikasi melibatkan gerak, kemampuan memilih kata kata, kemampuan mendengar. Namun, kita masih kerap mengeluhkan tidak mengerti jalan pikiran ‘boss’ atau tidak bisa menerangkan pada atasan sehingga harus berbicara melalui sekretarisnya. Keberhasilan komunikasi memang dilihat dari dampaknya. Apakah dengan komunikasi yang kita lakukan hubungan satu sama lain lebih erat, lebih saling mengerti? Apakah informasi penting diterima dengan utuh dan tepat, dari jajaran bawah hingga pihak pembuat strategi dan keputusan, seperti manajemen puncak, baik di perusahaan, lembaga ataupun pemerintah?
Ada penelitian yang menyatakan bahwa informasi yang di dapat para frontliners dan individu di ‘grass root’ hanya 7 % saja yang sampai ke manajemen puncak atau pembuat strategi. Rumor beredar, tetapi informasi yang obyektif, terutama yang negatif, sering seolah terhambat. Seroang karyawan mengatakan :” mulut rasanya tersendat bila mengkritik, apalagi ke atasan, atau kebijakan perusahaan. Lebih baik cari aman saja...”. Jadi sekalipun sistem ‘knowledge management’ disediakan sekalipun, informasi yang penting penting banyak terpendam di sana sini perusahaan. Padahal sistem komunikasi dimaksud , tidak lain untuk memperkaya pengambilan keputusan para top management. Tanpa informasi terkini, obyektif dan benar, keputusan bisa merugikan. Dan, nampaknya hambatan komunikasi ini berlangsung terus , walaupun kita sadar akan bahayanya.
Menyikapi komunikasi dengan benar
Teman saya biasanya adalah orang terakhir yang diberitahu kabar buruk karena ia selalu panik dan heboh dalam menyikapinya. Walaupun ia berjanji untuk memperbaiki diri, orang di sekitarnya sudah terlanjur berhati-hati berkomunikasi dengannya. Beginilah situasi yang sering menyebabkan informasi tidak berpindah. Banyak orang memilih untuk menutup mulut, karena dampak negatif yang menjadi akibat beritanya.
Kita jelas tahu ungkapan, “Dont shoot the messenger”, tapi praktek di lapangan masih terus terjadi. Seorang CEO kerap menyerang individu yang memberi informasi mengenai rumor, kabar burung atau berita sepotong yang beredar di perusahaan. Ia akan menanyakan siapa yang mengatakan, sumber beritanya dari mana dan tidak segan-segan memanggil orang yang dinilai menjadi sumber beritanya. Walaupun kebanyakan berita mengandung kebenaran, si pembawa berita tentu akan merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi interogasi ini. “Bukannya berterimakasih diberi informasi, malahan kami yang diserang” demikian komplen beberapa orang yang berpengalaman buruk ini. Bila kita serius ingin mengoptimalkan arus komunikasi, rasanya kita perlu ingat bahwa salah satu rahasia keberhasilan komunikasi adalah bahwa pemberi informasi maupun penerimanya perlu mengupayakan agar sikap defensif tidak muncul. “Don`t communicate to be understood; rather, communicate so as not to be misunderstood.” Begitu salah-paham terjadi, mulut langsung terkunci.
Hal yang juga lazim terjadi adalah tidak adanya ‘follow up” terhadap komunikasi , atau bahkan komitmen tertentu. Banyak orang, baik pejabat maupun top management, sering, sengaja atau tidak, mengambangkan persoalan atau membiarkan komitmen yang sudah dibuat, tidak dilaksanakan. Hal ini juga sering membuat komunikasi jadi tidak bersemangat dan hambar. Jadi hirarki yang memang tetap berlangsung, dengan ketidakseimbangan ‘power’lah yang sering tanpa kita sadari menciptakan kesenjangan organisasi. Pejabat atau manajer yang tidak berusaha menjembatani ‘jarak’ ini, akan tetap sulit menciptakan suasana keterbukaan komunikasi.
Beyond division, Beyond communication
Komunikasi masa sekarang jelas berubah drastis dengan adanya media sosial. Berita, data, kritik, bisa diterima dan dikirimkan secara instan dan global. Informasi membanjir, sehingga seringkali malah membuat bingung. Dengan media sosial ini, siapa pun bisa menjangkau siapa saja. Beberapa teman yang tadinya merasa mustahil untuk menjangkau pejabat tinggi negara, sekarang bisa melompat kegirangan karena di ‘follow’ oleh kepala negara di media sosial ‘twitter’. Kitanya pun berubah. Kemampuan konsentrasi dan ‘attention span’ kita juga semakin singkat. Kita tidak biasa memberi waktu untuk mendengarkan presentasi yang kita anggap ‘bertele tele’, padahal menyajikan latar belakang permasalahan, atau hasil riset.
Belakangan ini, beberapa perusahaan juga tidak segan membagikan gadget canggih atau “tablet” untuk komunikasi, pada karyawan-karyawan intinya. Tujuannya jelas untuk mengoptimalkan komunikasi. Berkaitan dengan media sosial ini, seorang ahli J. B. Priestley menyatakan” The more we elaborate our means of communication, the less we communicate.” Ini jelas sinyal betapa kita juga perlu mengukur efektivitas komunikasi dari media komunikasi canggih yang kita pakai ini. Kadang kita melihat 2 orang berembug atau juga berbantah melalui e-mail, padahal duduknya bersebelahan. Bila dipikir-pikir, apa susahnya memutar badan dan kemudian berembug secara bertatap muka? Meskipun komunikasi elektronik memang efisien, tetapi jelas tidak selamanya efektif untuk segala macam komunikasi. Kita memang tidak bisa menghindar dari alat komunikasi yang sudah lebih elektronik, instan, pendek dan singkat. Ini adalah ‘game’ kita saat sekarang. Satu-satunya jalan kita untuk membuat komunikasi kita mempan adalah tidak lagi mengikuti birokrasi kaku, misalnya pemilahan divisi. Komunikasi tidak bisa dilihat sebagai ‘benda asing’, namun arus di-‘main’- kan, dianggap merasuk dalam hidup kita, sehingga menjadi bagian penting dari hidup. “Communication works for those who work at it.” John Powell.
(Dimuat di Kompas, 27 Juli 2013)