Di beberapa daerah di negara kita, seperti Jawa Tengah, Bali, kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa rata-rata manusia di sana sudah berjiwa servis. Tidak hanya mereka ramah, penuh senyum, terasa benar senang menolong tamu dan turis, mereka pun seolah lebih mudah belajar bahasa. Meski dengan bahasa asing yang patah-patah, pedagang dan pelaku servis yang tidak sekolah tinggi pun ‘survive’ dalam interaksi melayani tamu asing. Apa kesan para tamu? “Orang Indonesia sangat ramah”. Sebaliknya, ada daerah di mana kita tidak merasakan kesan keramahan yang sama, dan seketika merasa tidak betah. Tidak heran, meskipun keindahan alamnya luar biasa, namun ‘daya jual’ pariwisata atau jasa-jasa lain pun langsung merosot. Kita juga sebetulnya bisa melihat betapa potensi servis sangat memungkinkan dijadikan modal bisnis. Tengok saja bisnis seperti rumah sakit, penginapan, pengangkutan, jasa keuangan, jasa telekomunikasi, semua adalah jasa pelayanan. Ini jelas bukti nyata betapa servis sangat besar pengaruhnya pada bisnis dan perekonomian, bukan?
Kita tahu bahwa dalam kompetisi bisnis saat ini, sungguh sulit untuk sekedar beradu produk, harga dan metode. Satu-satunya jalan kita memenangkan persaingan bisnis adalah mengandalkan servis, baik itu kenyamanan, keramahan, keamanan, kecepatan dan jaminan kepada pelanggan. Saat kita melakukan hal-hal tersebut secara konsisten, kita tiba-tiba mempunyai daya jual yang hebat. Kita bisa melihat tidak sedikit lembaga yang sudah berusaha keras membangun budaya pelayanan, mulai dari pelatihan, disiplin mati, penanaman nilai, standar perilaku, hafalan produk, hadiah dan survei-survei yang berkepanjangan. Konsep jemput bola, penilaian servis yang berujung pada ‘reward dan punishment’ sudah menjadi hal biasa. Namun, dengan begitu ketatnya standar servis yang diterapkan, seringkali “Service dari Hati” yang digaung-gaungkan tetap tidak dirasakan oleh pelanggan. Para pelaku servis memang tidak pernah lupa menyapa, memberi salam, mengucapkan nama, namun sikap servisnya malah terasa kaku dan tidak personal, banyak yang seolah jadi kehilangan rasa dalam menservis. Ini tentu bukan situasi yang kita inginkan. Servis seharusnya dilakukan secara ser-san: serius dan santai. Pelanggan akan merasa nyaman bila suasana pelayanan bersifat natural dan personal.
Individu: produk terpenting servis
Secanggih apapun produk servis, bila individu yang ‘membawakan’-nya tidak trampil dan tidak ikhlas, maka produk akan terasa hambar dan tidak menggiggit. Manusia di dalam organisasi atau di suatu daerah atau bahkan negara-lah yang perlu ‘membawakan’ servis dengan ‘hati’-nya. Dan, karena pelayanan pun semakin lama semakin berdiversifikasi, individu pun tidak bisa statis. Ia perlu senantiasa meng-‘update’ dan meng-’upgrade’ dirinya. Filsuf bisnis Jim Rohn pernah mengungkapkan : “Never wish life were easier, wish that you were better.”Di sinilah kita melihat betapa ‘rasa’ alias emosi merupakan modal utama manusia, bukan sekedar membina hubungan, tetapi juga berbisnis, yang harus dikembangkan, dan dibudidayakan.
Individu yang bekerja di bidang servis, tapi masih kerap dipermasalahkan empati dan simpatinya, memang jelas perlu membenahi diri dulu. Kalau kita ingin mengklaim “servis dari hati”, maka servis harus merupakan implementasi dari kecerdasan emosi yang utuh dilandasi nilai-nilai respek dan kesetaraan “I am OK, You are OK”, juga ‘heartsmartness’ yang tinggi. Orang yang masih “self centered”, semata memikirkan diri sendiri, tidak akan bisa mempraktikkan servis dengan kepekaan dan kehalusan yang canggih, meskipun hafal seluruh standar perilaku layanan. Sebaliknya, orang dengan kecerdasan emosi yang terasah, otomatis bisa menyusun kata-kata, membina hubungan dan mempunyain pengaruh yang positif lebih baik. Inilah alasan kita perlu mengasah kematangan emosi dalam kegiatan problem solving, menyaksikan perdebatan, merasakan nuansa tegang dan membayangkan kita berada di tengah situasi itu untuk menambah perbendaharaan reaksi-reaksi kita, bila menghadapi komplen pelanggan. Di sinilah kecerdasan emosi bermain. Praktek kecerdasan emosi memang tak pernah berhenti, dan memang harus dihidupkan seumur hidup di semua aspek kehidupan, termasuk men servis.
Servis dengan Hati: “Person to Person”
Perusahaan Amerika L.L. Bean & Co, yang berusia 101 tahun, memiliki prinsip servis yang baku: “Free shipping, Lifetime guarantee, No minimum order, No end date, Just free”. Mereka tidak mengubah fitur servisnya, tidak menggunakan mesin untuk menjawab telpon, tidak pernah mengabaikan keluhan pelanggan, selalu merespon telpon pada dering ketiga, dan selalu memberi jawaban yang memuaskan pelanggan. Sederhana bukan? Hal yang nampaknya ‘common sense’ tetapi sebetulnya hakiki adalah bahwa manusianya memang mempunyai jiwa servis yang tidak goyah. Servis seolah sudah mengalir dalam darahnya. Faith is the first factor in a life devoted to service. Without it, nothing is possible. With it, nothing is impossible.Mary McLeod Bethune .
Leon Gorman, CEO LL Bean selama 45 tahun, ketika di tanya apa rahasia servisnya, balik bertanya: Are you talking to your customers? Tentunya yang dimaksud bukan sekedar bicara, tetapi bertanya jawab, saling memahami dan menggali. Kita bahkan juga perlu selalu menanamkan dalam hati kita bahwa ‘customers’ berarti internal customer dan external customer. Jelas bahwa terlepas dari segala macam akal dan mesin untuk meningkatkan pelayanan, unsur ‘person to person’ tetap hal terpenting dalam servis. Pelanggan tetap paling happy kalau dia diperlakukan secara personal dan manusiawi, begitu pula dengan karyawan dan rekan kerja. Menerka ‘rasa’ pelanggan, menjaga hati anak buah yang lelah, menjadi ‘bumper’ saat menghadapi pelanggan kecewa, bersahabat dengan pelanggan, menolong pelanggan yang ‘gaptek’, kesemuanya ini bila dilakukan dengan kematangan emosi (EQ) yang canggih akan terasa ‘mendinginkan’ diri sendiri dan juga lingkungan sekitar. Dengan kondisi ini, bisnis pun bisa berkembang dengan sendirinya.
(Dimuat di Kompas, 29 Juni 2013)