Servis yang kini jadi komoditas primadona untuk memenangkan kompetisi, jelas terasa semakin tidak mudah, semakin bertambah tantangannya. Makin diulik, semakin muncul kompleksitasnya. Industri, seperti perbankan, airlines, hotel, di mana kehandalan servisnya senantiasa dibanding-bandingkan dan dikompetisikan satu sama lain, memahami benar betapa untuk menjadi “juara” servis, tidak bisa dilakukan sekedar dengan strategi di atas kertas, tapi butuh “tangan kotor”, upaya total dan “habis-habisan” dari seluruh jajaran karyawan. Seorang CEO rumah sakit di Bangkok, yang terkenal karena menyandang juara ‘customer experience’, saat berbagi tips mengenai servis, mengatakan bahwa kekuatan utama manusia dan karyawan-lah yang menentukan ‘policy’ dan strategy perusahaannya. “Saya tidak akan bisa mencanangkan pola pengembangan perusahaan tanpa melihat ‘bibit kekuatan’nya. Kalau bibit bagus ada pada manusia, maka saya akan berfokus pada bagaimana manusia di rumah sakit ini kita ‘jual’. Bila kekuatan kita pada manajemen, sementara manusia kita lemah, maka kita akan memperkuat manajemennya. Untungnya, dalam dunia servis, manusia memang unsur maha penting. Di sini akhirnya sangat terlihat: “The way you work, is the way you serve”.”
CEO rumah sakit tersebut juga mengungkapkan, “Kami tidak menyelesaikan masalah tamu dengan ‘senyum-sapa-salam saja’. Kami terlatih untuk mencarikan solusi tamu-tamu yang ‘unpredictable’, yang selalu meningkatkan tuntutannya. Kami tidak pernah berusaha sekedar memoles frontliner sebagai garda depan tanpa memperhatikan yang terjadi di dalam.” Di rumah sakit ini, kita bisa merasakan betapa para ‘tamu’ dijepit dengan ‘hospitality’ dari setiap manusia yang ditemuinya. Ketepatan waktu ditunjukkan oleh setiap anggota tim, dari CEO, kepala dokter, sampai kepada garda terdepan. Sharing informasi mengenai tamu, penyakit, keluhan dan kekhasannya tersedia di setiap ‘station’. Siapa yang melakukannya? Ya, manusia-manusianya. Mengapa mereka dengan konsisten dan sabar mau melakukannya? Karena setiap orang mempunyai pemahaman yang kuat mengapa mereka melakukan hal itu. Mereka tahu bahwa apa yang mereka ‘kerjakan’ di bawah kolong meja, di belakang pintu dan dihadapan ‘tamu’ sama pentingnya. “Manajemen kami bukan manajemen ‘panggung’, tetapi manajemen keseluruhan proses kerja. Apa sebenarnya yang terjadi di ‘dalam’ perusahaan? Inilah yang kita kenal dengan ‘budaya perusahaan’.
Kultur servis memang bermuara pada manusia, yang ketika melakukan pekerjaannya harus tahu apa yang harus ia kerjakan, bagaimana, dan seberapa memuaskan pekerjaannya. Kegiatan ‘kerja’ ini juga selalu menyangkut perbaikan, penyesuaian, pengarahan , sehingga setiap ‘tamu’ terlayani dengan baik. Simple bukan? Ya, asalkan seluruh organisasi, bergerak ke arah yang samam yaitu memberi pengalaman “WOW” pada pelanggan, dari CEO sampai tukang parkir. Inilah yang dilakukan oleh juara-juara bertahan servis, seperti Nordstorm, Southwest Airlines, Four Seasons Hotels, yang tidak pernah berhenti berinvestasi pada hal lain selain manusia, karena manusia inilah yang bisa menjaga ketulusan hatinya dan senantiasa ambisius untuk maju dan berkembang.
Superhuman strength
Kita bisa melihat ada bank atau airlines yang dulunya dikenal juara dalam servis, kemudian melorot servisnya. Ada juga organisasi yang ‘kelelahan’, di mana manusia didalamnya merasa seperti ‘sandwich’, atau terjepit dengan tuntutan stakeholdernya, sampai-sampai mulai merasa jenuh dengan servis yang merupakan komoditas bisnisnya. Situasi ini tentu saja berbahaya. Seperti kata orang, “di atas langit ada langit”. Bila bukan kita yang memperbesar ‘marketshare’, maka orang lainlah yang akan masuk ke ‘marketshare’ kita.
Pemilik Zappos, Tony Hsieh senantiasa mengatakan: “It's all about the people and their own belief in themselves.” Setiap orang, apakah CEO ataupun sekuriti, harus ‘happy’ menjadi “customer experience leader’ dalam bekerja, baik itu saat melayani customer internal ataupun external. Tak ada gunanya sekuriti bersikap ramah, bila direktur membiarkan tamu menunggu lama. Dari situasi seperti ini kita yakin bahwa CEO nya tidak menikmati persentuhan dengan tamu. Budaya perusahaan sangat tercermin dari perlakuan terhadap karyawan secara 360 derajat. Bagaimana kita memperlakukan atasan, diperlakukan olehnya, bahkan juga bagaimana individu diperlakukan oleh perusahaan. Tidak boleh ada perlakuan yang membedakan antara tamu dan karyawan. Kita tidak bisa memperlakukan karyawan sebagai ‘orang belakang’. Bila demikian, bagaimana ia diharapkan untuk menjadi ‘service leader”? Kita harus berusaha menjadikan perusahaan kita sebagai tempat yang ‘amazing’ suasananya. Dengan situasi ini, meski kasarnya, gaji kecil sekali pun perusahaan kita tetap menjadi pilihan utama.
Tetap ‘fit’
Kebiasaan tidak mengkritik, berbicara di belakang, mengejar jabatan, tidak belajar, kesemuanya ini, buntut-buntutnya, akan dirasakan oleh pelanggan yang sudah terdidik dengan pendapat ‘value for money’. Pelanggan jelas tidak mau membayar untuk servis yang sia-sia, lousy, ataupun tidak sesuai keinginan. Ini sebabnya organisasi yang membangun kultur servis senantiasa mempertanyakan apakah ‘value’ yang ditawarkan ke pelanggan sepadan dengan apa yang ia bayarkan.
Sangat keliru bila ada orang yang memandang organisasi akan ‘rampung’ setelah mereka selesai dengan berbagai program pembenahan. Organisasi justru harus diupayakan bergoyang terus. Kita pun perlu mengajak pelanggan bermitra agar hubungan yang dinamis selalu terjalin. Karyawan memang tidak boleh bosan. Itu sebabnya mereka memang perlu melakukan hal-hal baru, bereksperimen dan mencoba. Otot karyawan harus kuat dan karyawan perlu berkeyakinan bahwa otot mentalnya pun perlu dilatih. Tetap harus ada ‘building blocks’ yang berubah-ubah dan itu hanya bisa dilakukan melalui komunikasi, pengakuan, pengukuran, latihan dan pembentukan. Orang akan senang berhubungan dengan organisasi yang selalu melakukan riset, dan belajar untuk ‘memahami’ dan mendalami. Pada akhirnya bukan servis yang dijual, tetapi budaya perusahaannya.
(Dimuat di Kompas, 18 Mei 2013)