Kinerja kita sangat menentukan karir kita. Dengan adanya berbagai pengukuran kinerja yang makin luas, kita semakin dituntut untuk berprestasi. Persaingan dengan teman sekerja semakin terasa, sementara persaingan bisnis juga membuat pertumbuhan kinerja menjadi sulit. Seorang kepala cabang di sebuah bank dengan santainya mengatakan: “Tidak apa-apa saya tidak mencapai target bulan ini, lebih baik saya berikan kesempatan kepada teman untuk mencapai 100% key performance indicator-nya. Daripada dua-duanya tidak mencapai...”, katanya. Meskipun terlihat sikap kerjasama dan setia kawan ini adalah sikap positif, namun sadarkah kita bahwa perusahaan akan menderita kerugian oleh sikap ini? Sikap seperti ini menunjukkan rendahnya komitmen keuangan yang dimiliki individu, karena ketidaktahuan akan dampak dari tindakan dan keputusan tiap individu di organisasi terhadap pergerakan biaya dan laba perusahaan.
Setiap tuntutan perusahaan, baik itu kinerja, produktivitas, kelancaran komunikasi, sikap belajar, happiness individu, kekompakan tim, ujung-ujungnya sebetulnya adalah tetap pada pertumbuhan laba yang bisa menjamin perkembangan perusahaan. Kita sering berpikir bahwa sikap keuangan bisa selesai dengan penghematan. Padahal sebetulnya, kita perlu melihatnya dalam rangkaian organisasi secara keseluruhan. Kita sering menyaksikan terbengkalainya proyek-proyek yang menyangga ekonomi negara, hanya karena jeleknya komunikasi sehingga tidak berbuah implementasi. Banyak kita lihat proyek dibiarkan macet dan tidak dituntaskan, padahal sudah dianggarkan. Bukankah banyak juga orang di perusahaan yang tidak gigih memberantas “Cilo”-ing yang sesungguhnya juga sangat merugikan dan tidak ekonomis? Namun, seringkali kita tidak berpikir kerugian finansial yang bisa ditimbulkan akan sikap-sikap tidak produktif seperti itu.
Jangan Alergi terhadap keuangan
Kepedulian kita membayar pajak adalah ‘concern’ terhadap perolehan negara. Pendapatan negara, juga perlu didukung oleh rakyatnya. Argumentasi bahwa kita tidak tahu kemana uang pajak itu diboroskan, tidak bisa membuat kita tidak membayar pajak. Alur keuangan negara akan berhenti. Segala hal, termasuk konsumerisme kita, juga perlu diarahkan pada ‘concern keuangan’. Lihatlah krisis ekonomi amerika yang terjadi beberapa waktu lalu, karena rendahnya sikap keuangan dan pemahaman masyarakat Negara Adidaya tersebut dalam kredit kepemilikan Kerugian yang ditimbulkan, bukan main besarnya, sampai berdampak ke seluruh dunia. Keputusan sederhana yang kita ambil, seperti tidak lagi membeli BBM bersubsidi, sesungguhnya juga akan merupakan kegiatan yang besar dampaknya dalam membantu keuangan Negara.
Banyak orang, bahkan yang berlatarbelakang pendidikan keuangan atau sudah mengikuti kursus finance for nonfinance sekalipun, tetap belum mengadaptasi sikap keuangan yang tepat. Jadi ‘aptitude’ keuangan tidak menjamin ‘attitude’ keuangan. Di masa akhir tahun ajaran sekolah seperti ini, banyak orang tua sibuk memikirkan untuk memasukkan anaknya ke sekolah bergengsi. Pertanyaannya, apakah orang tua ini bersedia menginvestasikan uang sekolah yang relatif mahal demi masa depan anak? Atau sekedar memasukkan anak ke sekolah bergengsi karena ‘ikut-ikutan’? Kedua situasi itu tentu sangat berbeda dan akan menghasilkan keluaran yang berbeda pula.
Di perusahaan sering kita melihat banyak tindakan dan keputusan yang keliru karena individu tidak melek finansial, tidak berpikir seperti “business owner”. Beberapa kepala unit di organisasi, begitu frustrasinya sampai bersikap masa bodoh, tidak “berteriak” untuk memperbaiki fasilitas kerja yang sudah usang. Banyak yang sekedar berpikir bahwa memang ‘tidak ada budget’ di perusahaan. Bayangkan berapa banyak kesempatan yang dilewatkan karena alat yang tidak memadai ini? Sebaliknya, bila setiap orang memiliki komitmen keuangan yang kuat, dengan modal kerja yang sama pun sebetulnya kita bisa memberi nilai tambah yang sangat berbeda dan menambah penghasilan perusahaan dengan simpel. Ada orang yang bisa ‘make money’ hanya dengan membuat divisi kiriman barang yang terpisah, untuk jasa membelikan jajanan setempat dan mengantarkannya secara ‘sameday” ke tujuan mana pun di Indonesia. Sikap keuangan pastinya perlu dipraktekkan secara “trial and error”, karena akhirnya menyangkut pengambilan risiko dan membutuhkan perhitungan yang matang. Kemampuan kita membaca tren pasar, kemampuan membeli dan membayar, kemampuan bertransaksi dan menagih, penghitungan kekuatan ‘manpower’, keahlian, kecermatan riset kita, kemampuan kita menghitung harga produk dengan memperhatikan biaya-biaya yang ada, akan bisa menciptakan hasil yang jauh berbeda, ketimbang upaya yang tidak dicermati. Kita memang harus strategis dalam mengupayakan berbagai cara untuk mengembangkan komitmen dan ‘concern’ terhadap keuangan di seluruh jajaran organisasi.
The Shop Methodology
Ram Charan, sorang ahli manajemen lulusan Harvard, yang piawai memberi konsultasi pada begitu banyak perusahaan, menceriterakan bahwa pada ‘sikap’ keuangan yang ia dapatkan sebetulnya berangkat dari pengalamannya ikut membangun toko sepatu keluarga. Keluarganya selalu berpikir keras bagaimana membuat pelanggan kembali, bagaimana harga bisa bersaing, bagaimana membangun kepercayaan pelanggan sehingga uang masuk stabil. Ram juga mempelajari bagaimana menjaga kelancaran arus kas, perputaran uang, fleksibilitas dalam menyesuaikan selera masyarakat dari manajemen toko kecilnya. Beliau menekankan, dimana pun kita bekerja, baik di organisasi nonprofit, komersial atau bahkan pemerintah, hal yang sama tetap berlaku. Uang harus masuk dengan lancar, daripada pengeluarannya. Perusahaan tetap harus untung, bisnis atau lembaga perlu berkembang dan pengalaman pelanggan selalu perlu diperhatikan.
Di lembaga pemerintah, pelanggan adalah rakyat, uang harus masuk dari retribusi, pajak, dan iuran lainnya. Kita harus tetap menjaga agar rakyat mengerti ‘business model’ pemerintah. Pelanggan, rakyat, atau penyandang dana di organisasi nonprofitlah yang menjamin ‘uang masuk’. Itu sebabnya, setiap pemimpin perlu tetap mempelajari dan mendekati pelanggannya, demi kelancaran arus kasnya. Idealnya, setiap orang akrab dengan ‘money making model’ organisasinya, bagaimana kontribusinya terhadap proses tersebut, dan bagaimana menjawab masalah-masalah kemacetannya.
(Dimuat di Kompas, 11 Mei 2013)