Teman saya dikenal sebagai seorang yang sangat gesit. Dia hadir di setiap ‘launching’ produk ponsel baru, dan selalu mendapatkan produk sesuai kemauannya. Dalam konser-konser musik kesukaannya, dia sering tersorot di pemberitaan karena selalu berdiri paling depan di area festival. Dalam bekerja ia hampir tidak pernah menolak tugas dan seolah tahu dengan jelas apa yang ia inginkan. Ia pun mengerjakan tugasnya secara cepat, dengan kualitas yang baik, bahkan hampir sempurna. Tidak heran, bila teman lain menyebutnya sebagai si “serba bisa”. Bayangkan betapa “bernilai”-nya individu seperti ini.
Dalam situasi lain, kita sering menemukan orang-orang yang seolah-olah tidak ‘kepikiran’ mengenai apa yang harus dilakukan, meskipun sudah punya pengalaman puluhan tahun. Ada yang jelas-jelas punya wewenang dan tanggung jawabnya yang tinggi di perusahaan, namun terlihat seolah melimpahkan semua pelaksanaan pada orang lain atau ‘ahli’-nya, seakan lupa bahwa eksekutif itu adalah ahli eksekusi. Bila kita dengarkan baik-baik, biasanya mereka mempunyai analisa yang benar, bahkan tidak jarang menunjukkan pengetahuan, argumentasi yang cemerlang. Hanya saja, ketika berbicara soal pelaksanaan, bahkan yang sangat sederhana, pembicaraan mulai berputar-putar, dan mereka seolah-olah ‘gelap’ dalam membuat ‘action plan’ dan kerangka waktu. Teori yang kuat langsung terasa mentah bila individu tidak dapat menentukan prioritas, memilih hal apa yang akan dilakukan terlebih dulu, mana yang harus dipelajari, dan mana yang boleh disisihkan. Ujung-ujungnya kita menyebut individu seperti ini sebagai ‘omdo’(baca: omong doang), tidak ‘walk the talk’, bahkan sebagai ‘pendekar teori’. Lebih tajam lagi, pimpinan perusahaan pun kemudian mempertanyakan:”bisa ‘kerja’ tidak sih , orang ini?”
Apa sebetulnya yang membedakan orang yang ‘ahli eksekusi’ dengan yang tidak? Kapasitas ini jelas tidak tergantung posisi, pangkat, wewenang dalam organisasi, juga latar belakang tugasnya. Kita bisa melihat individu dengan latar belakang pendidikan sekretaris, biasanya tidak kehilangan kompetensinya untuk ‘melaksanakan’ tugas tertentu. Sementara, banyak juga CEO yang tetap mempimpin rapat eksekusi, memutuskan strategi tindakan, menentukan prioritas apa yang difokuskan. Jadi, perbedaannya adalah pada ‘behaviour intelligence’-nya. Orang dengan behaviour intelligence tinggi biasanya tidak sulit untuk menindaklanjuti, bahkan menuntaskan tugas. Mereka menganggap tugas yang belum tuntas sebagai hutang. Begitu kuat akuntabilitasnya terhadap tugas, sehingga otomatis cara berpikirnya jadi efektif dan ‘time management’-nya pun kuat. Aspek inteligensi ini tidak sama dengan ‘Emotional Intelligence’ yang banyak dibahas orang, karena behavior intelligence ini adalah sekumpulan ketrampilan dan kemampuan untuk menseleksi, mengeksekusi, dan memilih tindakan yang tepat untuk mengelola suatu situasi, baik sosial maupun yang bersifat proyek non-manusia. Orang dengan inteligensi emosi tinggi cirinya adalah ‘smart with people’, sementara orang dengan ‘behaviour intelligence’ tinggi, tahu cara menyelesaikan tugas, baik itu yang melibatkan orang atau tidak. Jadi, emotional intelligence bisa ‘embedded’ di dalam behaviour intelligence, tetapi tidak semua orang ber-EQ tinggi otomatis memiliki behaviour intelligence yang tinggi.
Operational excellence
Banyak situasi yang membutuhkan ‘operational excellence’ dari individu, apalagi bila ia seorang di posisi pimpinan. Penanggulangan banjir, jebolnya tanggul, tidak bisa diselesaikan dengan berteori, namun hanya bisa ditempuh dengan mengerahkan tenaga fisik dan tangan. Di sini kemampuan mengambil keputusan, mengambil tanggung jawab atas komando, instruksi dan komunikasi, memegang peranan penting. Inilah keahlian yang berdasarkan kapasitas “behaviour intelligence”. Orang dengan behaviour intelligence tinggi, mempunyai kapasitas opersional yang kuat. Waktu, tindakan, keputusan, menjadi komoditi di dalam pemikirannya. Ia pun peka deadline. Bahasanya ‘bahasa waktu”. Contoh :”Dalam waktu 24 jam , tanggul ini harus kita tutup.”Biasanya meeting-meeting yang mereka adakan efektif, langsung berbahasa action, dan langsung menunjuk “person in charge”-nya. Mereka juga sangat yakin bahwa semua pekerjaan tidak bisa diselesaikannya sendirian. Bahasa ‘kita’ biasanya digunakannya. Orang seperti ini tidak berkutat pada egonya, tetapi lebih berobsesi menyelesaikan tugas. Bagi mereka, sikap terhadap manusia tidak sulit dikembangkan, karena seseorang dengan ‘operational excellence’ tahu harga manusia lain, yang bisa diajak bekerjasama dalam peneyelesaian tugasnya.
Saat ini, manajer-manajer di lingkungan organisasi besar, banyak yang dikursuskan untuk belajar bagaimana mengeksekusi suatu strategi, seolah olah, eksekusi adalah suatu barang langka. Ya, kemampuan ini memang bisa diasah terus. Kita juga harus ingat bahwa dalam lingkungan tertentu, misalnya lingkungan politik atau organisasi yang tidak mementingkan proses, ‘timeline” dan “action plan”, kemampuan mengambil tindakan ini sering jadi tumpul. Memang pendidikan dan latihan untuk menata, memilah tindakan, menentukan prioritas tindakan ini bisa diperoleh ketika kita melaksanakan tugas ‘kerja’ organisasi. Tidak heran bila dalam interviu dalam proses rekrutmen, calon-calon yang pernah bekerja dalam organisasi kemahasiswaan, sering mendapat perhatian lebih, karena dianggap berpengalaman ‘kerja’.
“DO ers”
Istilah “pelaksana” untuk karyawan yang berkemampuan “operasional” sering mengakibatkan kita lupa bahwa sampai tingkat eksekutif pun kita perlu menguasai eksekusi. Eksekutif – eksekutif kondang seperti Jack Welsch, maupun jenderal-jenderal hebat seperti Harry Truman, justru melegenda karena tindakan-tindakannya, bukan teorinya. Bahkan Jenderal George S. Patton, terkenal dengan ucapannya: "An active mind cannot exist in an inactive body”. Kita perlu ingat, Peter Drucker menekankan: “Executives are doers; they execute.” Bahkan menurut beliau pengetahuan tak banyak gunanya, bila para eksekutif tidak mampu menterjemahkannya ke dalam tindakan. Seorang eksekutif harus bisa mengecek kualitas dan pencapaian hasil dan langsung membayangkan cara-cara pencapaiannya. Dengan mengambil peran ‘do-er’, setiap orang dalam organisasi akan berorientasi pada hasil, dan sekaligus juga trampil melakukan penyesuaian kalau pencapaian hasil terhambat. Behaviour Intelligence memang perlu dijaga dan dikembangkan. Apalagi sekarang, bukan saja penyelesaian tugas yang harus kita jamin, tetapi lebih kepada penyesuaian diri , dan juga perubahan perubahan drastis yang perlu kita kelola. Bukankah orang yang sukses ‘melaksanakan’ tugas juga akan merasa lebih ‘happy” ? “A really great talent finds its happiness in execution.” Goethe
(Dimuat di Kompas, 23 Maret 2013)