Di jaman sosial media ini, tiap orang tiba-tiba bisa mengkontak ‘siapa saja’. Dunia menjadi begitu lebar, bahkan ada orang yang tadinya tidak ketahuan kepandaiannya, bisa jadi terkenal di dunia maya. Alangkah ‘terbuka’-nya dunia ini. Bila kita rajin mengeksplorasi dunia internet, rasanya tidak akan kita kehilangan informasi sedikitpun. Semua informasi terkini, baik itu perceraian selebriti, kehidupan putri kerjaan, hasil penemuan pengobatan baru, semua dapat kita ikuti di web. Gratis lagi. Bila demikian encernya informasi yang bertebaran, mestinya setiap orang akan bertambah cerdas. Bila kita bisa mengakses bahaya rokok, gaya hidup sehat, cara berolah raga, belajar yoga, dan berbagai info bermanfaat lainnya, semestinya hidup kita bisa lebih sejahtera, bukan? Namun, mengapa lubernya informasi ini tidak selalu membawa perubahan? Masih banyak orang yang tidak obyektif dalam menanggapi berita, bahkan lebih senang mendengar kabar burung daripada mencari fakta yang obyektif. Masih banyak orang tidak tahu kemana ia harus bergabung saat ingin menyumbangkan tenaga sukarelanya. Kita lihat betapa perubahan perilaku dan kebiasaan, sering tidak sejalan dengan pengetahuan yang sampai atau tersedia.
Di perusahaan, banyak orang memiliki informasi atau ide penting, namun mengeluhkan betapa ia ‘tidak didengar’ dalam mengabarkan berita, baik berita yang membahayakan perusahaan, maupun berita yang bisa membuat perusahaan berprestasi jauh lebih baik. Banyak perusahaan memiliki bagian R&D yang membuahkan penelitian, memiliki prediksi mengenai masa depan, prospek dan kesempatan yang bisa digarap di perusahaan. Hasil kesimpulan atau survei yang sudah dibuat, sebenarnya punya pengaruh untuk mengubah dan membelokkan strategi perusahaan, namun kerap pemikiran-pemikiran ini tidak “muncul”, apalagi membawa pengaruh. Kita melihat betapa sekedar informasi saja tidak dengan serta-merta mampu membuat ‘impact’. Data yang mentah, bisa saja membuat orang tidak mengerti. Berita yang kita sampaikan kadang tidak bergaung bila kita hanya menyajikan fakta yang ‘mengancam’, namun tidak dilengkapi dengan jalan keluarnya. Sekedar membuat ‘noise’ memang beda dengan ‘make things happen’. Jadi, menggaungkan pesan perubahan memang tidak bisa sekedar ‘mengatakan’ menerangkan, tetapi perlu memperhitungkan apakah pesan tersebut berhasil ‘menggerakkan’ orang lain. Seorang ahli mengatakan: “Ideas can help people change the world, and now anyone can become powerful enough to be a catalyst for what matters to them.” Ini berarti, para aktivis lingkungan, gerakan kesehatan, bahkan setiap karyawan sekarang sudah mempunyai alat-alat baru untuk meneriakkan misinya, seolah-olah megaphone ada di mana mana. Tinggal bagaimana cara yang efektif menggaungkannya sehingga betul-betul bisa membawa impact?
“Halo Effect”
Kita sering bertemu orang-orang berpengaruh, yang kata-katanya dengan mudah diikuti orang, bahkan terkadang kita terima pendapatnya tanpa sikap kritis. Namun, bila kita telaah kembali, alasan mengapa kita mengikuti pendapat orang tersebut sangat jelas. Kita tahu tentang reputasinya. Kita tahu latarbelakangnya. Kita banyak mendengar cerita-cerita mengenai kesuksesannya. Kita pergi ke dokter spesialis, mendengarkan nasihatnya, karena dokter ini sudah terbukti reputasinya. Jadi, kita tidak mendengarkan ‘content’ pembicaraannya tanpa ‘context’ yang menyelimuti dirinya. Inilah yang di dalam ilmu psikologi di sebut sebagai “halo efect” atau efek orang suci. Nah, bagaimana dengan kita, yang memang tidak bermodalkan reputasi, tetapi ingin menyampaikan hal penting pada orang lain, bahkan seluruh karyawan perusahaan?
Meski tampaknya hampir tidak ada lagi hambatan dalam menemukan dan mengemukakan ide, kita tetap perlu mengembangkan taktik berkomunikasi. Bukan hanya para praktisi humas saja yang perlu pandai berkomunikasi, setiap individu sebetulnya perlu mencari peluang untuk melatihkan kemampuan persuasinya. Selain isi pembicaraan yang memang harus berbobot, kita pun perlu mempertimbangkan 3V: voice, verbal, dan visual. Kita perlu cermat memilih kata-kata yang mengadung “magic” dan dekat dengan kebutuhan pendengar, agar ide yang kita sampaikan bisa tercerna dengan baik. Kita juga jelas bisa membedakan antara komunikator yag berbobot dan tidak dari intonasi, volume, artikulasi juga sikap tubuh kita dalam menyampaikan ide. Bila kita jeli, bukankah ini semua bisa kita latihkan dalam setiap diskusi dan meeting?
Everybody Sells
Hal yang memprihatikan adalah, bila dalam satu organisasi, orang ‘dalam’ tidak didengar di dalam, padahal suaranya begitu populer, didengar dan bergaung di luar lembaganya. Banyak orang yang mengatakan, ‘perintah harus dari atas’. Di negara kita, pemimpinlah yang berpengaruh. Kalau bukan pemimpin yang bicara, tidak ada yang mau mengikuti. Bukankah hal ini perlu dibenahi, karena masih banyak orang yang bukan pemimpin yang bisa menjadi ‘thought leaders”. Perusahaan perusahaan moderen seperti Google, dan Microsoft, sangat menekankan bahwa di dalam perusahaannya ‘everybody sells”, artinya setiap orang dalam lembaganya harus bisa menggaungkan pesan yang sama, termasuk dalam menjual ide. Chris Brogan dan Julien Smith, dalam bukunya Impact Equation mengemukakan bahwa setiap orang sebetulnya bisa didengar layaknya selebriti, asalkan dalam komunikasinya ia selalu tidak sekedar asbun, tetapi memikirkan ‘goal’ dari komunikasi, mengintroduksinya dengan baik, memikirkan bagaimana mendapatkan landasan berpikir yang sama dengan pendengar, sebelum berbicara lebih lanjut. Kita tidak bisa menyalahkan kiri kanan atau para pendengar yang tidak terpengaruh. Kitalah yang perlu mengubah diri agar lebih efektif dalam berkomunikasi.
(Dimuat di Kompas, 23 Februari 2013)