was successfully added to your cart.

Empowerment

Salah satu indikator organisasi yang sehat adalah bila didalamnya terdapat individu-individu yang bersemangat. Kita bisa menyaksikan seseorang yang bekerja melampaui jam kerja yang  standar dan masih penasaran menyelesaikan pekerjaaannya sampai larut malam. Para ‘office boy’ sekalipun bisa terlihat bergerak ke sana kemari, namun tetap tidak lupa memperhatikan apa yang dibutuhkan setiap karyawan yang dilayaninya. Sebaliknya, kita juga tahu bahwa ada lingkungan kerja di mana mindset “apa untungnya buat saya?” sangat kencang, dan selalu terjadi hitung-hitungan ‘untung-rugi’ yang ketat antara karyawan dan perusahaan. Banyak perusahaan yang merasa perlu mengikat karyawan dengan berbagai kontrak agar dana yang digunakan untuk mengembangkan karyawan tidak sia-sia. Padahal kita sangat yakin bahwa  bila ‘hati’ tidak berada di pekerjaan, kita dengan mudah ‘tidak berada’ di pekerjaaan kita. Secara fisik, individu bisa jadi tetap ada di depan komputernya, namun yang dikerjakan bisa saja ‘chatting’ seharian dengan teman, bahkan sibuk berbelanja ‘online’. Kita lihat betapa semangat karyawan di dalam sebuah organisasi menjadi misteri yang benar-benar perlu dipecahkan.

Menciptakan suasana produktif dan kondusif sama halnya dengan mempersiapkan tanah untuk menanam benih. Tanah yang liat, keras, dan padat, bila ditanami benih, paling-paling hanya bisa sampai memunculkan tunas, namun kemudian tidak bisa menghasilkan tanaman yang bermutu, bila dibandingkan dengan tanah yang sudah gembur, digarap, dicampur dengan kompos dan pupuk. Organisasi pun perlu memikirkan bagaimana membuat wadah yang nyaman untuk bekerja, berkarya dan berinovasi. ‘Empowerment’ perlu menjadi agenda penting dalam membina karyawan, karena kita tahu individu baru akan mengeluarkan isi pikirannya bila ia secara emosional dan spiritual merasa happy, diterima dan didukung. Kita pun tidak boleh lupa betapa generasi milenial yang kreatif dan pintar, merasa bahwa motivasi adalah hal yang terpenting dalam bekerja. Pada saat bisnis sangat memerlukan konsentrasi, kita kerap melihat ‘empowerment’ bawahan sering kita lupakan. Padahal, dengan adanya karyawan yang penuh percaya diri dan ‘feel good’ terhadap pekerjaan, kita akan diuntungkan oleh sikap responsif, inovasi dan kemampuan belajar yang lebih canggih.

Rasa Sukses sebagai Penyemangat

Kita bisa melihat banyak tantangan yang dihadapi Jokowi-Ahok untuk mengubah mental dan etos kerja institusinya. Namun, suasana kondusif yang kita idam-idamkan, di mana percaya diri dan rasa kompeten karyawan dirasakan setiap individu, bukanlah hal yang mustahil. Keyakinan, visi yang jernih dan sasaran yang jelas tentu merupakan langkah awal yang baik. Agar rasa percaya diri dan rasa kompeten ini semakin subur, seorang atasan mesti bisa memainkan beragam peran, mulai dari ‘trainer’, “coach” dan “mentor” bagi anak buah. Atasan juga perlu membiasakan diri agar dalam setiap instruksi dan tugas yang ia berikan terselip pesan-pesan pembelajaran pada bawahannya. Individu pasti akan tergerak bila ia tahu apa yang bisa ia pelajari, mengapa ia harus mengetahui esensi tugasnya. Dengan memberi cukup informasi, mendemosntrasikan cara melakukan pekerjaan, memberi kesempatan untuk mempraktekkan dan mengkoreksi kesalahannya, individu tentu akan merasa didorong untuk sukses. ‘Performance’ yang sukses inilah yang akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri. Bila setiap individu dalam organisasi meyakini bahwa upayanya berdampak signifikan terhadap divisi, instansi bahkan lingkungan, ia akan menyuburkan rasa positif mengenai dirinya, pekerjaannya dan tugasnya.

Menciptakan ‘empowerment’ dalam organisasi menyangkut ‘self concept’, ‘self esteem’ dan ‘self talk’ individu. Inidividu perlu merasa berharga, berguna, mempunyai pandangan positif mengenai karir, tugas dan pekerjaannya, dan selalu mempunyai ungkapan-ungkapan yang positif dalam ‘self dialog’-nya.

Tanggung Jawab Pengambilan Keputusan

Di sebuah perusahaan, seorang salesman potensial namun tergolong masih junior ditunjuk untuk mengikuti pertemuan industri sejenis di luar negeri. Ia kemudian datang ke atasannya dan mengatakan bahwa ia sebaiknya tidak diikutkan dalam tim, karena belum menguasai bisnis dibanding dengan rekan kerja lainnya yang sudah hafal mengenai kasus-kasus transaksi di perusahaan. Padahal, sebetulnya ia bisa dengan mudah ikut dalam rombongan, sekedar menikmati perjalanan dinas yang belum pernah dialaminya. Namun, hal ini tidak dilakukan, karena ia merasa punya tanggung jawab untuk memberi kontribusi penting dalam setiap penugasannya. Inilah yang membedakan individu yang ‘empowered’ dan yang tidak. Individu yang ‘empowered’ mampu mengambil keputusan atas dirinya, dan ‘take charge’ terhadap nasib karirnya sendiri.

Kita sendiri pun mungkin sering menggunakan ungkapan “serahkan pada ahlinya”, dan tidak menyadari bahwa sikap ini bisa menjadikan individu seolah menghindar dari pengambilan keputusan dan mengambil jarak terhadap suatu permasalahan. Akibatnya, individu terbiasa bersikap ‘indecisive’, tidak bisa mengambil keputusan di dalam area wewenangnya. Bahkan, yang lebih parah lagi, tidak mengambil keputusan atas diri dan nasibnya sendiri. Padahal, kita tahu bahwa individu sendirilah yang perlu memainkan peran aktif dalam menentukan masa depannya, menggapai cita-cita dan mimpinya, bukan perusahaan. Dalam konteks kerja, kita melihat ini sebagai ‘blind acceptance of authority’, yaitu kondisi di mana individu tidak terbiasa mempunyai gambaran dan melihat dirinya sendiri secara jelas. Bila berlarut-larut, hal ini bisa berkembang dan mempengaruhi struktur ‘power’ di organisasi.

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa individu dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda. Ada anak yang sudah diberi pilihan sejak kecil, tetapi ada juga anak yang pilihan hidupnya dibuatkan oleh orang tua. Alhasil, dalam organisasi kita akan menemukan individu yang bervariasi, dari mempunyai kapasitas ‘self growth’ besar dan kecil. Jadi, bisakah kita menciptakan empowerment di organisasi? Yang jelas, menciptakan suasana penuh inisiatif dan berspirit ini bukan suatu proses membalik tangan. Ini sama dengan kenyataan bahwa kita tidak bisa mengubah budaya korporasi dengan satu program saja. Menciptakan suasana penuh empowerment adalah proses yang dinamis, panjang, dan menyentuh area’ bawah sadar’ individu.

(Dimuat di Kompas, 29 Desember 2012)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com