was successfully added to your cart.

ARE YOU A ‘PEOPLE’ PERSON?

Apakah Anda ‘People Person’? Banyak orang mengklaim dirinya sebagai ‘people person’ semata karena setuju dengan pernyataan:‘manusia adalah aset terpenting’. Namun demikian, kerap kita lihat klaim itu sebatas di bibir saja, kenyataannya bisa jauh berbeda. Masih banyak orang mengeluh bahwa atasannya tidak tersenyum ketika bertemu di lift. Masih banyak atasan yang melihat bawahan sebagai orang yang tidak mempunyai inisiatif, sehingga perlu dikontrol, diawasi, dan diingatkan terus. Ada pimpinan perusahaan, yang jelas-jelas sadar perannya sebagai role model, namun bisa dengan enteng mengatakan bahwa ia tidak berkepentingan mengurusi ‘orang’, karena ‘orang’ itu urusan line managers atau HRD. Bahkan, orang HRD sendiri pun, yang dinilai sebagai ahli manusia, ada yang kelihatan tidak berminat pada ‘orang’, misalnya: susah tersenyum, tidak mendengar, buang muka saat bertemu atau tidak turun bergaul.

Kita sesungguhnya bisa menilai kedalaman ‘People Person’ dari ‘rasa’ dan ‘emosi’ antar manusia. Banyak perusahaan yang meletakkan investasi besar-besaran untuk perbaikan sistem dan proses bisnis, namun tidak mau tahu bagaimana perubahan kebiasaan akibat sistem baru tersebut membuat karyawan merasa frustrasi. Saat akhir tahun di mana kita mulai menetapkan target-target kerja, banya terdengar kata ‘tidak mau tahu’ dan menilai sudah sewajarnya orang digaji untuk bekerja keras dan mencapai target yang ditetapkan. Selain mengevaluasi hubungan kita dengan rekan kerja di kantor, rasanya kita pun harus mengevaluasi juga hubungan kita dalam keluarga. Bukankah banyak orang yang merasa bahwa ‘connections’ dalam keluarga itu cukup dibangun dengan makan bersama secara berkala, tanpa memperhatikan sambung hati dan pemikiran? Bila ini yang terjadi, kita menghadapi gejala penumpulan ‘rasa’ dalam pendekatan manusia.

Di abad ke-21 ini, perusahaan yang sukses justru perusahaan yang dikenal dengan ‘people’ companies, di mana karyawan tidak sekedar memenuhi KPI (key performance indicator)-nya saja , tetapi juga meletakkan hatinya dalam bekerja. Mau tidak mau hal ini sangat tergantung pada hubungan interpersonal di dalamnya. “Relationship is the mirror in which we see ourselves as we are.” Herb Kelleher, co-founder Southwest Airlines jelas membutkikan betapa policy-nya terkait "Employees First" berhasil membawa perusahaan menghindari kebangkrutan , tetapi justeru meraih penghargaan karena atensi dan keyakinannya ke ‘people’.   Sebelum engagement menjadi trend seperti sekarang, beliau sudah mengatakan: “A company is stronger if it is bound by love rather than fear”. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita mengembangkan diri sebagai ‘People Person’ yang betul-betul ahli dalam membangun hubungan dan rasa pada manusia lain? Bagaimana kita membudayakan sikap respek dan melayani yang tulus, bila di perusahaan ada puluhan ribu karyawan?

Empowerment mindset

Alasan utama mengapa orang tidak menjadi ‘people’ person adalah karena ketidakyakinannya bahwa manusia punya kapasitasi ekstra yang luar biasa. Padahal, kita bisa menemukan banyak bukti di mana kemampuan simpati dan empati sangat sakti dalam proses negosiasi maupun kegiatan interpersonal lain, bahkan juga bisa menumbuhkan kreativitas untuk menciptakan hal-hal yang disangka tidak mungkin. Kita jelas perlu mengingat bahwa: When you make a positive difference in the life of one person, you've made a difference in the world . Bila keyakinan ini dimiliki oleh individu, ia akan mempersepsi manusia, pelanggan atau bawahan dengan cara yang berbeda. Bila seorang atasan meyakini betapa ‘personal growth’ dan hubungan baik perlu dijaga, ia akan berusaha menggali sebanyak-banyaknya energi yang ada dari orang yang ia temui dan akan menyadari bahwa empowerment bisa merubah individu. Kharismanya dalam memimpin pun akan lebih kuat, bahkan bisa menulari individu dengan kehendak untuk maju dan berubah.

Flesh and blood individual

Untuk menjadi ‘people’person, kita hanya perlu ‘back to basic’, yaitu menyadari kembali bahwa manusia beremosi dan berakal budi. Kita juga perlu mengingat bahwa manusia satu- satunya mahluk yang  mempunyai ‘pegangan’ dan kompas moral. Justru kekuatan ‘values’ inilah yang dapat menjadi ‘benang merah’ pendekatan ‘person to person’. Kita bisa memberikan pengaruh pada orang lain dengan menyentuh ‘values’ atau nilai-nilai yang benar.  Dengan penekanan pada ‘values’,  kita punya kekuatan untuk semangat dan kepekaan ke organisasi yang tidak terbatas ‘size’-nya. Orang sering menilai ibu Teresa dari Kalkuta, sebagai suster yang bekerja di pelosok India membela orang miskin. Sebenarnya, ia memimpin organisasi dengan 4000 pemimpin lain di ratusan negara, dengan misi: offering wholehearted service to the poorest of the poor. Hal ini hanya bisa dilakukan bila kita memang betul-betul menghayati perjuangan dan risiko untuk berada dekat dan mengembangkan hubungan yang sangat dekat dengan orang lain.

Pendekatan subyektif

Sadar tidak sadar, membangun kekuatan hubungan butuh keberanian. Saat kita berusaha dekat dengan teman sekerja, apakah itu atasan, bawahan atau rekan, kita mau tidak mau harus bersikap terbuka, padahal transparansi ini ada risikonya. Kita bisa kelihatan bodoh kalau kita  memang tidak mengerti esensi masalah, integritas kita pun akan terlihat oleh orang lain yang dekat dengan diri kita. Mau tidak mau kita harus siap dikritik dan perlu siap menerima kritik dengan lapang dada. Di sinilah kita diuji untuk membangun ‘jiwa besar’, misalnya mengakui kesalahan dengan sikap ‘gentleman’, saat memang berbuat kekeliruan,. Jangan sampai kita menjadi ‘orang yang takut orang’ karena menghindari risiko ini.

Bila kita berkeinginan menjadi people person, kita perlu sekuat tenaga menggunakan sikap subyektif kita, karena pendekatan dengan misi ‘empowerment’ adalah pendekatan subyek versus subyek. Kemampuan ini membutuhkan latihan, apalagi untuk orang-orang yang biasanya berfokus pada bisnis, sistem dan teknologi. Pada perusahaan yang besar, di samping visi, tetap dibutuhkan kepekaan dan intuisi yang kuat untuk menilai situasi interpersonal. Keberanian kita juga perlu tercermin dalam ‘walk the walk’ kita. Berani jadi orang yang terdepan dalam menggarap lahan yang sulit.

Dimuat di Kompas, 22 Desember 2012

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com