Di samping menghitung laba, kita memang perlu secara berkala ‘mengukur’ sejauh mana coaching membudaya dan mengecek apakah organisasi kita mengarah ke learning organization. Ini penting, karena laba saja tidak bisa dijadikan kapital untuk maju. Dalam perusahaan dengan budaya ‘coaching’ yang mantap, setiap karyawan selalu ingin berprestasi ‘lebih baik lagi’, dan siap menerkan ‘opportunity’ di depan. Atasan-bawahan bisa membicarakan pekerjaan secara santai dengan target meningkatkan kompetensi dan kualitas kerja. Perusahaan dengan budaya ‘coaching’ yang kuat menjunjung tinggi nilai-nilai potensi manusia, sehingga pembicaraan korektif di antara atasan dan bawahan untuk memuaskan pelanggan internal dan eksternal, apapun bentuknya, diwarnai respek dan ‘trust’ yang tinggi. Sebaliknya, coaching sulit tumbuh bila kita banyak melihat atasan atau teman ‘membuang muka’ bila ada rekan kerja berbuat salah. Kita juga sudah pasti tidak bisa melihat budaya coaching tumbuh, bila setiap ada kesalahan ditemukan terjadi pengkambinghitaman atau pen’cucitangan’an. Semakin ‘coaching’ tidak dilakukan, kita akan melihat hubungan semakin longgar dan kinerja pun tidak bisa diramalkan. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan lingkaran setan ini? Sudahkah kita menjalankan upaya yang tepat, sehingga hasil belajar yang kita inginkan bisa kita lihat dalam kurun waktu yang terprediksi?
Sasaran Coaching = Sasaran Bisnis
Kita tahu bahwa setiap organisasi perlu mempunyai tujuan yang jelas. Setiap organsasi tentu perlu mengkomunikasikan sasarannya: tahunan, bulanan, kalau perlu mingguan kepada seluruh karyawannya. Sukses unit bisnis, departemen, ataupun perusahaan secara keseluruhanlah yang harus menjadi sasaran coaching. Misalnya, perusahaan ingin menurunkan ‘cost’ sebesar 10%, maka tujuan inilah yang menjadi patokan pengajarannya. Saat organisasi menargetkan untuk mencapai ‘juara servis’, kita pun perlu tahu apa yang diukur, bagaimana mengukurnya dan apa kriterianya. Bila perusahaan akan mendapatkan lebih banyak proyek dari kemampuan teknis karyawannya, maka otomatis karyawan akan terdorong belajar bahkan berlomba mengasah dan menguasai ketrampilan demi ketrampilan.. Saat sasaran, konten,urgensi dan benefit jelas, barulah individu belajar untuk mencapai sasaran dan berkontribusi dengan cara yang lebih baik. Dengan tujuan yang ‘clear’, baru kita bisa menghidupkan suasana pembelajaran yang baik. Jadi, ‘coaching culture’ perlu tetap dijadikan inisiatif bisnis, bukan sekedar program pengembangan manusia.
Budaya coaching tidak bisa dipaksakan dengan semata melakukan pelatihan coaching bagi tiap atasan. Ketrampilan coaching tidak akan menjadi amunisi hebat, bila konten dari inisiatif program ‘coaching’ tidak dibuat. Jadi, konten harus jelas dulu, selanjutnya barulah para leader ini perlu mengembangkan kepemimpinan yang menggunakan pendekatan ‘coaching’ dalam persuasi untuk mencapai konten atau sasaran bisnis tersebut. Coaching adalah ‘applied leadership’, di mana persuasi dilakukan dengan gaya bicara yang cerdas secara emosional, ber-EQ tinggi. Itulah sebabnya, saat Bank Mandiri menerapkan “7 Steps Service Coaching” dalam upaya menjadi juara servis, setiap atasan berlatih untuk mengungkapkan perasaannya, obsesi dan standarnya, sampai menyentuh “rasa”. Hanya dengan sentuhan rasa, ‘engagement’ bisa terjadi, dan pada saat itulah ‘feedback’ baru bisa efektif, tanpa penolakan atau pengelakan, malah menjadi sarana belajar. Pembentukan hubungan “tutor-traniee” ‘coach-coachee” , buddy system, kemudian menjadi struktur kegiatan coaching yang akan menjamin penyebaran dan pencatatatan hasil yang di’milik’i semua orang.
Motor ‘coaching’: ‘self belief”
Kita belum bisa mengatakan perusahaan kita berbudaya coaching, bila sesi pembelajaran yang terjadi bersuasana kaku dan menegangkan. Kita pun makin sadar bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan ‘classroom training’ saja. Kita tahu bila pekerjaan sedang padat, maka karyawan yang ada di kelas training hanya memberi separuh fokus, karena separuh fokusnya tertinggal di pekerjaan. Ini berarti pelajaran terbesar tetap adanya ‘on the job’. Atasanlah yang perlu kreatif mengupayakan ‘learning platform’ yang menarik, misalnya real-play, role-play atau simulasi yang benar-benar berdampak langsung terhadap perubahan perilaku.
Dalam perusahaan yang sudah terlihat budaya ‘coaching’-nya, kekayaan perusahaan justru terletak pada “Self Belief” karyawannya. Begitu karyawan sudah mengembangkan self belief, maka ia akan memilih cara belajarnya sendiri, yang akhirnya pasti membawa suasana ‘ingin tahu’ tinggi tetapi bertanggung jawab. Risiko dan kesalahan dianggap sebagai ujian dan studi kasus, yang kalau perlu dibicarakan bersama. Inilah suasana yang paling empuk untuk memasukkan ilmu dan ketrampilan baru, karena kehausan individu untuk belajar tidak ada habisnya. Bayangkan betapa positifnya suasana dalam organisasi bila setiap karyawan rela bekerja dan berpikir keras karena suasana kerja yang kondusif untuk belajar dan menerima kirtik dan masukan. Bila organisasi bisa menyedot tuntas manfaat dari kekuatan, ide-ide, kebijaksanaan, know-how dan hasil belajar setiap karyawan yang ada, tantangan kompetisi sekuat apapun pasti bisa dihadapi.
(Dimuat di Kompas, 27 Oktober 2012)