Meski di atas kertas memperoleh rapor positif, dilemanya, kita kerap mengeluhkan tidak adanya kemajuan, bahkan kemunduran dalam layanan publik. Jalan rusak, stasiun tidak terawat, pelayanan kesehatan yang mahal, juga kendaraan umum yang tidak nyaman. Lebih jauh lagi, kita juga terus mengeluhkan mengenai mentalitas, etika, korupsi, tidak adanya sopan santun, krisis kepercayaan, lemahnya ‘fairness’ dan banyak lagi hal-hal yang terasa timpang. Kita tentu bertanya-tanya, apakah kedua persepsi ini memang tidak sejalan? Apakah ukuran kemajuan sebuah lembaga, perusahaan atau negara semata tercermin dari kesehatan necara, labarugi dan ‘cash flow’-nya saja? Bila memang demikian, tidak heran para pejabat atau pimpinan perusahaan sering kurang peduli dengan realitas di lapangan, karena catatan finansial positif. Di samping ukuran tangible yang terekam dalam catatan finansial, seberapa jauh kita memperhitungkan betapa berharganya opini pelanggan terhadap lembaga kita? Seberapa serius kita memperhitungkan opini para turis terhadap ‘people’ kita? Di samping catatan pendapatan perusahaan, seberapa jauh kita memastikan kepuasan pelanggan terhadap produk, proses dan servis kita? Sadarkah bahwa aset intangible seperti reputasi, image, spirit, sense of belonging dan knowhow adalah penentu kekuatan kita di masa depan?
Mengukur Sukses
Ada perusahaan yang dinilai sukses karena budayanya, sikap manusianya, servisnya, padahal perusahaan belum tentu untung. Hanya saja, pemimpinnya sangat optimis bahwa keuntungan akan ia raih di masa depan. Negara yang belum terlalu kinclong seperti Vietnam, saat ini memfokuskan perbaikan pendidikan dan infrastruktur, sementara hitungan kemajuan ekonominya di mata dunia masih belum diperhitungkan. Kita tentu tidak boleh terjebak dalam ukuran populer yang lebih digunakan di masa lampau, saat “knowledge economy” belum berkembang. Kita perlu secara strategis menghitung tabungan ‘knowledge’ yang kita punyai sebagai modal untuk maju di seputar 300 juta rakyat Indonesia. Kita tidak boleh lupa bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada di peringkat 124 dari 187 negara, yang berarti kualitas hidup dan kesejahteraan masih jauh dari memuaskan. Pada tingkat perusahaan, apakah kita masih menghargai buruh sebatas pada tenaga fisiknya saja? Seberapa jauh kita telah menghubungkan kekuatan lain selain uang yang bisa menciptakan nilai tambah pada sasaran kita?
Meski menghitung aset intangible tidak semudah menghitung laporan rugi-laba, namun tidak berarti kita tidak usah memperhitungkannya. Aset seperti reputasi maupun “knowhow” yang ada dalam diri individu memang tidak bisa kita akui sebagai harta lembaga maupun perusahaan. Aset ini bagaikan angin, bisa hilang, musnah, bahkan bisa menipu seolah-olah ada tapi tidak ada. Individu yang telah kita biayai dan didik hingga pandai tetap punya pilihan bebas ke mana ia akan meletakkan komitmen dan kompetensinya, bahkan meski telah menandatangani kontrak sekalipun. Meski begitu, tetap saja kita tidak punya alasan untuk tidak berinvestasi pada pengembangan aset intangible ini karena ia sangat erat kaitannya dengan aset yang teraga. Bukankan image dan reputasi ini yang menyebabkan pelanggan kembali? Bila pelanggan tidak happy, bukankah ini akan sangat berpengaruh terhadap bisnis kita di masa depan? Bila kompetensi karyawan tidak dikembangkan, bagaimana kita akan mendapatkan proyek bergengsi ataupun berkompetisi dengan organisasi lain? Bagi para pimpinan dan eksekutif di bidang HRD, ini jelas berarti betapa pengembangan manusia harus dilakukan secara serius dan perlu dilakukan bersamaan dengan penguatan engagement.
Kekuatan Aset Intangible
Upah karyawan memang ada di dalam neraca perusahaan dan tercatat sebagai biaya. Sebaliknya, jumlah kepandaian, spirit dan kemampuan karyawan dalam berhubungan dengan orang lain tidak pernah tercatat sebagai aset. Padahal, Southwest Airlines, jelas bangkit dari kebangkrutan bukan karena harta yang teraga, tetapi justru karena spirit dan keinginan karyawannya untuk memperbaiki pelayanan. Namun, sungguh ketinggalan jaman bila kita masih memandang manusia sebagai biaya dan bukan aset yang perlu dijaga dan ditumbuhkan. Pengembangan budaya positif, talent development, inisiatif untuk menciptakan tempat kerja yang nyaman dan positif bukanlah pekerjaan sambilan, sebaliknya ini butuh komitmen, bahkan investasi yang tidak sedikit.
Kita perlu sadar bahwa kita tidak lagi sekedar melakukan efisiensi tetapi justru mengupayakan bagaimana manusia bisa membuat bisnis lebih efektif. Setiap orang perlu menjadi pembaca data yang handal sehingga setiap orang mengeluarkan output yang canggih, cerdas, dan membuat ‘business impact’. Perusahaan, bahkan Negara perlu berupaya untuk mengelola informasi dan sharing antar karyawan atau warga, sehingga terjadi saling mengerti yang mendalam mengenai ‘mindset’ masing-masing. Para manager dan karyawan perlu ‘melek data’ untuk menunjang keputusan yang tepat dan cepat. Kecepatan gerak, yang tadinya dianggap sebagai suatu ciri budaya sesungguhnya bisa dijadikan aset, karena kecepatan bisa membuat pelanggan terpesona.
(Dimuat di Kompas, 29 September 2012