Banyak pimpinan mengeluhkan sulitnya mengubah kebiasaan dan menambah wawasan karyawan, seolah-olah kemampuan belajarnya tidak ada. Hal yang kerap dijadikan alasan mandeknya belajar adalah sibuknya melakukan kegiatan operasional atau memang tidak berminat. Upaya perusahaan untuk mengembangkan ketrampilan servis, mendengar atau juga menjaga ‘compliance’ kerap dilakukan sampai membuat poster ‘do’s dan “don’ts” di setiap sudut kantor, namun ini pun belum tentu mempan. Jadi, kalau ada perusahaan meng-‘klaim’ bahwa mereka adalah ‘learning organization”, perusahaan ini tentu sudah melakukan upaya atau kebiasaan yang sangat istimewa, karena banyak lembaga lain yang sama sekali tidak berhasil mengembangkan situasi ini, bahkan tidak menemukan ‘clue’ bagaimana melakukannya.
Di tengah maraknya kritik dan komentar bahwa pengajaran di sekolah “tidak seperti dulu”, bahkan “salah arah”, sebaliknya kita juga melihat betapa terobosan belajar tumbuh subur. Cara belajar yang “canggih”, di mana murid atau karyawan diberi kesempatan bereksperimen, berpresentasi, berdiskusi, bertanya pun bertebaran. Kita juga melihat munculnya komunitas belajar gratis yang banyak sekali diminati, bahkan di komunitas ini para peserta rela berpanas-panas atau duduk di lantai mempelajari sesuatu. Ini tentu gejala positif dan adalah bukti betapa kita sebetulnya “haus” untuk mengembangkan diri, memperkuat expertise serta mengembangkan budaya belajar.
Revolusi Belajar
Dalam bukunya “The learning revolution” Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos mengungkapkan bahwa perkembangan cara berkomunikasi dan teknologi sudah demikian pesat. Tengok bagaimana cara komunikasi kita yang beralih dari telepon menjadi lebih menggunakan ‘text’ yaitu ber-sms ataupun menggunakan “messenger”. Kita pun, dengan bantuan teknologi, kini bisa menguasai bahawa asing dalam hitungan bulan, tidak usah lagi bertahun-tahun. Di era teknologi ini, belajar bisa dengan waktu yang fleksibel karena bisa dilakukan secara e-learning, menggunakan e-book, dan diuji secara e-assessment. Dunia seolah tidak berbatas, bahkan kita bisa mengatakan bahwa dunia sudah dibanjiri oleh informasi dan produk-produk yang dapat kita gunakan untuk belajar. Namun demikian, kita juga sangat sadar bahwa memiliki akses ke informasi tidak berarti proses penyerapan ilmu baru lebih mudah. Tetap saja ada tantangan pada bagaimana individu akan memproses informasi yang diperoleh agar dapat memperkaya wawasan dan terjadi proses belajar efektif. Kita juga perlu ingat bahwa banjirnya informasi bisa menimbulkan distraksi atau gangguan terhadap proses pemahaman individu. Itu sebabnya mantra belajar yang klasik: “Make it Matter. Make it Simple. Make it Stick” tetap berlaku dalam revolusi belajar ini.
Prinsip belajar yang juga kita perlu pahami adalah proses belajar bersifat individual. Kita sendiri bisa membedakan antara kecepatan dan efektivitas mempelajari sesuatu yang menarik dan yang tidak menarik. Orang akan menyerap dan mempraktekkan apa yang baru dipelajarinya bila ia merasa bahwa apa yang dipelajarinya itu ‘berarti’. Ini sebabnya maka ada ahli yang mendalami ‘experiential learning’ di mana individu menemukan sendiri makna dan ‘aha’ dalam pengalamannya, sehingga ia bisa menceriterakan kembali, bahkan mengotak-atik konsep ini dalam pemikiran dan perbuatannya.
Komunitas: Instruktur yang paling handal
Tentu kita pernah mendengar diskusi seru seperti ini: “Nih, lihat nih”, Oh begini nih...”, “Ternyata yang dimaksud itu...”, “Sudah mengerti, belum?”. Bisa dipastikan individu yang terlibat pembicaraan ini merasakan keasikan belajar. Kita bisa menyebutnya sebagai situasi “learning by not learning”. Ini bukan hal baru, karena sejak beribu-ribu tahun yang lalu, orang sudah menyadari bahwa mempelajari sesuatu dari teman atau orang-orang yang kita sukai lebih mudah daripada belajar dari seorang ‘guru’, apalagi bila diajarkan secara satu arah. Efektifitas “peer teaching” ini, walaupun bukan penemuan baru, memang terlihat lebih nyata daripada sistem pengajaran lain.
Jika ingin belajar efektif, pertama-tama kita perlu menebarkan paradigma bahwa kita belum tahu banyak. Pikiran kita masih terisi setengah, masih perlu menyerap hal-hal lain. Pemikiran seperti ini memungkinkan kita membentuk kebiasaan bertanya, mengeksplorasi, berdiskusi bahkan berdebat, dan pada akhirnya belajar sesuatu. Kita pun perlu berusaha membasmi kebiasaan defensif yang nyata-nyata gejala menutup diri. Individu yang bersikap defensif seperti ini perlu ditegur dan disadarkan bahwa ia defensif. Bahkan, kita perlu mengembangkan sikap positif terhadap kesalahan dan selalu berpikir bahwa pengalaman, walaupun buruk, adalah media belajar yang baik bagi anggota kelompok. Dengan terbentuknya suasana seperti ini, program belajar menjadi murah meriah, karena individu-individunyalah yang akan mencari dan mengusulkan kepada kita, apa yang ingin ia pelajari.
(Dimuat di Kompas, 8 September 2012)