Kita bisa merasa sedikit lega, karena penelitian menunjukkan bahwa kesadaran bahwa manusia itu penting tetap ada. Tantangannya adalah karena pengembangan manusia ini memakan waktu yang panjang dan membutuhkan keseriusan serta pendalaman mengenai sifat manusia. Kesulitan menguasai asset bisnis paling berharga ini, kadang menyebabkan aktivitas pengembangan manusia menjadi seperti lingkaran setan. Semakin kita tidak bisa mendalaminya, semakin kita merasakan kesenjangannya. Semakin kita merasakan kesenjangan, semakin kita merasa kesal terhadap kondisi sumberdaya manusia yang tidak akomodatif. Pada akhirnya, kita lebih sering mengeluh dan beranggapan bahwa memang manusianya yang payah dan tidak mau dikembangkan.
Mentalitas Pengrajin
Kita pasti setuju bahwa bila kita akan ‘membuat’ sesuatu dengan kualitas baik, kita perlu menanganinya secara telaten, mendetil, mengikuti SOP dalam setiap langkahnya. Kita tahu
pengembangan manusia tidak sepenuhnya bisa kita bandingkan dengan proses produksi masal, misalnya produksi mobil. Dalam memproduksi mobil kita bisa mengotomasi banyak hal tanpa perlu banyak ‘human touch’ lagi. Memproduksi orang mungkin lebih bisa kita analogikan dengan seniman pengrajin produk yang harus menggunakan hati dalam menghasilkan sebuah karya, memperhatikan detail, menunjukkan kesabaran dan ketelatenan dalam setiap karyanya.
Para pengrajin produk sadar bahwa setiap material mempunyai karakter yang berbeda. Serat kayu dari satu batang pohon saja bisa berbeda karakter, warna, dan ukuran. Saat kekurangan bahan dengan ukuran tertentu, akankah mereka berhenti berproduksi? Tentu tidak. Karya akan dibentuk menyesuaikan dari bahan yang ada. Karya itu tidak jadi kehilangan nilai tambah, malahan bisa menjadi barang yang unik dan artistik. Para pengrajin juga tidak bisa “semau gue”, namun tetap harus punya standar “compliance”. Selain harus memperhatikan cara menjemur dan kemiringan material saat dijemur, mereka perlu memastikan tingkat kekeringan bahan dan berapa lama harus menunggu sebelum bahan diproses lebih lanjut. Ini jelas butuh kesabaran dan persistensi. Satu hal lagi, ketrampilan tangan pun harus terlatih. Tidak ada artis perajin yang tiba-tiba piawai membuat karya yang halus dan bermutu. Dia harus belajar dari yang mudah-mudah, kasar-kasar, sampai yang canggih dan halus.
Kita bisa mengadaptasi mentalitas pengrajin karya dalam mengelola dan memproduksi manusia. Kita tahu setiap individu unik, “bahan”-nya tidak sama, sehingga kitalah yang harus mengerti dan mendalaminya. Bila di sini saja sudah ‘mentok’, karena merasa bahwa bawahan adalah mahluk yang sulit dimengerti, maka kita tidak punya jalan untuk maju. Kita akan terjebak pada realitas seperti kekurangan orang, tidak ada ahli dan yang paling parah tidak adanya suksesi. Seperti halnya para pengrajin, sebagai atasan kita pun perlu telaten, jeli, dan terus mengasah minat bahkan “passion” kita untuk menelaah dan mencetak bawahan yang hebat dan berkualitas dengan seksama.
Seni “Mencetak” Manusia
Gejala “turnover” karyawan yang dulu dipandang sebagai hilangnya loyalitas sekarang dianggap sebagai fakta yang tidak mengejutkan, tetapi harus diperhitungkan. Maraknya orang keluar masuk tentu menjadikan arus perekrutan ‘special hires” semakin marak. Kondisi ini bagi ‘orang dalam’ kerap dilihat sebagai ancaman dan menimbulkan perasaan di nomorduakan. Kita perlu juga mewaspadai bahwa bila karyawan mulai merasa ‘meaningless’ tetapi tetap bercokol di perusahaan. Dalam mengelola manusia pun kita perlu memastikan bahwa mobilitas manusia senantiasa dijaga dan digalakkan, karena mobilitas ibarat denyut jantung perusahaan, bila melemah badan tidak sehat, begitu juga kalau jantung berdegup terlalu kencang.
Kita memang perlu selalu mengevaluasi berbagai aspek ‘people management’. Pertama, kompensasi atau imbalan hasil kerja haruslah menarik, semenarik tantangan kerjanya. Seorang ahli mengatakan:”Your top talent wants to work with other talented people, and their networks may be better than yours.”Artinya, kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa ‘pasaran gaji’ perlu kompetitif. Karyawan akan membandingkan dan akan berkata ‘baik’ bila paket remunerasi kita baik, atau juga sebaliknya. Di saat kita mengincar orang bagus dari luar perusahaan, orang luar pun di saat yang sama mengincar orang potensial yang ada di tempat kita. Sekali kita teledor mengembangkan kompetensi individu dan menjaga orang dalam tim, akan ‘kecolongan’-lah kita. Mengingat generasi sekarang adalah generasi yang gemar hal instan, kita tidak lagi bisa menyuguhkan jenjang karir yang bersusun dari tahun ke tahun. Individu semakin tidak sabar menunggu untuk ‘dinaikkan pangkat’nya. Untuk itu, perusahaan perlu menciptakan ‘chemistry’ yang tepat untuk tim kerja, sambil meyakinkan “right mix of people”, menyesuaikan kompetensi dan ekspertisnya agar kinerja optimal, mencocokkan aspirasi individu dengan kebutuhan pasar, sehingga kita bisa menghasilkan kemesraan dalam tim dan sekaligus karyawan yang betah bertahan bekerja di perusahaan, dengan tantangan yang tak kunjung habis.
(Dimuat di Kompas, 28 Juli 2012)