Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya tidak bisa mencopot ‘earphone’ bila sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak ‘konsen’. “Mana mungkin pelajaran masuk ...” demikian ibunya. Padahal, menurut dia, itulah cara paling efektif baginya untuk belajar. Ada orang yang dipaksa duduk membaca dan membaca tetapi tidak ada satupun materi bacaan yang menempel di benaknya. Lain lagi ceritera generasi M atau Z yang mendapatkan pengetahuan secepat kilat hanya dengan menggeser geser jarinya di layar ipad, tanpa merasa perlu untuk mendalami suatu subyek dan memastikan pemahaman yang benar. Kita pun sering tidak mengerti, darimana seseorang mempelajari hal baru, istilah baru, atau pengetahuan baru dengan lancar, tanpa kita menyadari kapan dan bagaimana ia belajar.
Apapun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar adalah pengetahuannya saja. Namun tentu yang lebih kita harapkan adalah karyawan bisa lebih trampil dan bisa mempraktekkannya dalam kondisi riil sehari-hari. Kita baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan ‘teori’ sebagai hasil pengalamannya. Belajar baru bisa dibilang sukses bila cara pikir dan cara bertindak individu bisa berubah dan ilmu barunya diaplikasikan secara riil. Ini jelas tidak mudah, apalagi mengingat individu sudah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang melekat dalam dirinya dan belum tentu berminat untuk mendapatkan ketrampilan baru. Namun, kita tidak mungkin mundur ke belakang, bukan? Belajar adalah tanggung jawab kita semua.
Proses Belajar
Guru sejarah di SD saya, selalu membawa alat peraga pada saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja, dan tertarik pada benda-benda atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses belajar, karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi baru. Kita jelas akan mendapat manfaat yang jauh lebih besar apabila pengetahuan baru dibarengi dengan imajinasi, emosi , motivasi dan ‘insight’ yang mendalam tentang subyeknya. Repotnya, informasi baru ini, kemudian akan berhadapan dengan informasi lama, yang sudah bercokol dibenak individu dewasa. Ada kemudian yang berkomentar:”Biasanya tidak begini...”, atau”Saya dari lahir sudah begini...”. Inilah tantangan proses pengajaran, di mana informasi baru tersebut bukan sekedar “masuk’ tetapi diolah, bahkan perlu menjadi ‘pengetahuan’ dan ‘pemahaman’ baru bagi si individu.
Klas Mellander dalam bukunya “Power of Learning” mengatakan: "If people are given the opportunity to discover things for themselves and to draw their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace the opportunity to make change happen." Pemahaman bisnis, kemampuan meng-’handel’ manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko, hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman ‘how it feels’ dan ‘how it works’. Pengalaman inilah yang kemudian tumbuh menjadi ‘knowledge-base’ nya. Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekedar di ‘otak’ nya, tetapi juga di hati dan ‘nerves’ nya.
Babak selanjutnya: penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar: “Training bagus, komitmen sudah dikumandangkan, namun ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di tempat kerja”. Di sini, rasanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein: The only source of knowledge is experience”. Saat kita belajar bersepeda saat kanak-kanak dulu, kita tentu ingat benar bahwa kita perlu mengendarainya untuk ‘tahu’ cara bersepeda. Seperti simulasi menerbangkan pesawat, situasi tidak merupakan fenomena tunggal, namun stimulus datang bertubi-tubi. Dalam kehidupan sehari hari, kita juga mengalami hal yang sama. Krisis dalam perusahaan , penumpukan stok, tercekiknya ‘cashflow’, tuntutan ‘growth’ penjualan dan laba datang sekaligus, tidak bisa dipecahkan dalam sistim ‘urut kacang’. Individu yang sedang belajar, perlu menata kesemuanya ini sebagai ‘mental projections’ dan ‘insights’ yang sistematis. Bila hal ini sempat terjadi dalam proses simulasi, maka proses belajar akan berdampak pada reaksi-reaksi individu di kemudian hari. Ia sudah tahu bagamana cara mengelak. Ia punya pengalaman mengenai bagaimana, mengapa dan kapan harus “tancap gas”, bahkan sudah merasakan konsekuensinya, bila ternyata ia salah bereaksi. Hal yang kritikal untuk kesuksesan belajar tentunya juga adalah dukungan dalam bentuk proses coaching oleh atasan, serta kesempatan untuk mempraktekkannya dalam situasi riil. Hanya dengan proses yang utuh seperti ini, kita bisa yakin terjadi proses belajar dalam diri individu.
(Dimuat di Kompas, 21 Juli 2012)