Sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka, mengupayakan percobaan bekerja dari rumah. Alasan pimpinan perusahaan adalah bahwa di kantor pun hubungan sudah banyak menggunakan intranet, sementara banyak kemudahan yang bisa didapat bila kita bisa membudayakan ‘work from home’ ini. Seperti banyak orang yang mengatakan: “Kita sudah bisa meninggalkan kerja dengan baju seragam ataupun setelan jas, dan sebaliknya, bisa kerja produktif dengan kaos oblong, bahkan piyama dan daster.” Kemudahan laptop, Ipad, kekuatan ‘broadband’ dan kemajuan perangkat lunak untuk bekerja, membuat kita betul betul merasa bahwa datang ke kantor bisa di alternatifkan dengan bekerja di rumah saja. “Toh, ke kantor mengetik mengetik juga”. Kita lihat bahwa jenis pekerjaan yang tidak menuntut tatap muka yang intensif memiliki peluang untuk bisa dilakukan secara fleksibel dan virtual, bukan? Namun, apa yang perlu dipikirkan terkait dampak dari penerapan kerja virtual ini?
Sebaliknya, sebuah perusahaan yang nampaknya sangat global, selalu terdepan dalam pemilihan produk dan pembelian perangkat kerja di kantor, merasa belum bisa beranjak dari cara kerja “tradisional”, yaitu absensi ketat, ‘nametag’ harus terpasang dan ‘dresscode’ sesuai dengan peraturan. Derap kerja dan spirit untuk berprestasi terasa ketika jam kerja di mulai, sampai berakhir di sore hari. Kita memang jadi lebih mudah memantau pergerakan, bisa lebih kuat dalam komunikasi tatap muka saat ada masalah. Namun, sampai kapan kita bisa mengabaikan kebutuhan para orangtua untuk bisa lebih memperhatikan pendidikan anak? Bagaimana dengan kebutuhan para customer service dan barisan sales untuk menjangkau tempat pelanggan tanpa mondar mandiri menceklok mesin absen dan berdisiplin waktu? Bisakah kita menjamin happiness dan engagement individu bila kebutuhan pribadi, fisik dan emosinya, sulit terpenuhi?
Kendalikan Efektivitas kinerja
Di sebuah perusahaan yang sudah lama menerapkan fleksibilitas kerja ini, para karyawan ternyata memang merasa lebih ‘happy’ karena mereka bisa mengerjakan banyak hal sambil bekerja di rumah. Seorang karyawan mengatakan bahwa ia bisa mengantar jemput anak-anak dan bisa bisa bekerja intensif di sela waktu tersebut. Individu lain menceriterakan tentang ‘quality time’ yang didapatkan dari kebersamaan dengan balitanya, di samping penghematan enerji bahan bakar, tenaga modar mandir dan emosi kalau menghadapi kemacetan lalu lintas. Kita lihat bahwa ada “win-win” solution, baik bagi perusahaan maupun karyawan dengan penerapan kerja virtual.
Seorang pimpinan perusahaan yang berani keluar dari perangkap gaya kerja ini mengatakan , bahwa yang paling penting adalah kekuatan pengukuran kinerja yang diukur dari setiap karyawan. “Untuk ‘melepas keseragaman dan disiplin kerja, kita perlu mempunyai kekuatan pengukuran kinerja yang bukan hanya berorientasi pada hasil akhir saja tetapi juga menjamin berjalannya ‘coaching’, pengembangan sistem, pencanangan prioritas dan manajemen waktu. Perubahan gaya kerja bisa dibuat ‘step by step’ dengan menerapkan pengukuran kinerja alternatif diluar kedisiplinan dan kehadiaran fisik. Baru nanti, setelah setiap karyawan terbiasa untuk mengukur kinerja gaya baru ini, perusahaan bisa beranjak ke gaya kerja yang lebih virtual.
Bahaya Alienasi
Salah satu musuh terbesar dari bekerja ‘on line’ adalah komunikasi. Kita bisa berkomunikasi dengan cara ‘conference’, menggunakan grup, audiovisual, namun kita akui bahwa ‘feel’ kebersamaan pasti berkurang. Hubungan on line, tetap hanya mentransfer hal-hal yang ‘kering’saja, seperti data, informasi, laporan, walaupun sudah dibumbui dengan ‘emoticon’ yang beraneka ragam dan warna. Seseorang teman yang pernah mengalami suasana kerja “on line’ saat ditempatkan di negara lain, mengatakan setiap hari yang ia hadapi adalah punggung teman kerja. Saat menyalakan komputer, ia akan segera memulai komunikasinya melalui sistem messenger dengan teman kerjanya dibelahan dunia lain. Ia yakin bahwa teman yang memunggunginya juga melakukan hal yang sama. Ini tanda bahwa kebutuhan komunikasi sebetulnya sangat kuat dan perlu diakomodir, sehingga system untuk menjaga komunikasi senantiasa harus dibangun dan dievaluasi.
Walaupun perusahaan perusahaan besar seperti Apple dan Cisco sudah melaksanakan pelatihan ‘salesmanship’ secara full on line dengan mengupayakan agar imajinasi para peserta pelatihan benar benar riil seperti dibuatnya gerbang ruang pelatihan ketika baru memasuki situs pelatihan, menyajikan rekaman-rekaman seolah-olah kita berada diruang auditorium, mendengarkan para pakar melakukan ‘webinar’, bahkan disediakan pula ‘chat room’ bagi para peserta sebagai ajang ’networking’, namun hampir semua ahli mengatakan “You can’t replace face to face situations”. Kita tidak bisa mentransfer motivasi, inspirasi seratur persen. Kita tetap harus memikirkan bahaya alienasi bila seseorang sudah mulai meninggalkan suasana kantor.
Menghidupkan Kualitas Tatap Muka
Banjir gadget akhir-akhir ini, sangat bisa membuat kita terjebak menjadi ‘korban teknologi’. Kita bisa kehilangan ‘kedalaman’ cara pikir, kekuatan berfokus dan berkonsentrasi pada hal yang sedang kita tekuni. Baru ingin berkonsentrasi, ada pesan muncul di sistem messenger kita, belum lagi bila ada anggota grup mengirimkan pesan bersamaan dengan panggilan untuk berkomunikasi audiovisual dengan orang lain. “Cognitive load “ yang menghujani reservoir ingatan kita yang ada batasnya, sering menyebabkan kita sering lupa dan tidak tanggap terhadap persoalan yang muncul. Manusia adalah mahluk paling canggih di dunia ini. Manusia justru menjadi hebat karena kapasitas refleksi, berkreasi, berempati, berhatinurani, dan bahkan bisa menjangkau ‘meta-qualities’ yang tidak bisa dijangkau mesin manapun. Satu- satunya sikap yang harus kita pelihara, di tengah kebutuhan kerja virtual, adalah dengan tetap menghargai dan menghidupkan kualitas tatap muka kita, di mana kedalaman “rasa’ tetap terjaga, sambil kita mengambil manfaat sebanya-banyaknya dari kehidupan ‘on line’.
(Dimuat di Kompas, 19 Mei 2012