Maraknya dinamika dunia politik membuat kita semakin menyadari bahwa di negara kita para konsultan komunikasi massa bekerja keras untuk pembentukan citra positif pejabat yang sedang mendapat sorotan publik. Bila ada berita di media mengenai calon gubernur atau calon presiden dan kemudian banyak komentar miring yang menuduh situasi tersebut sebagai pencitraan, maka upaya pencitraan itu tergolong gagal. Ujung-ujungnya upaya pencitraan malah kerap dijadikan sindiran dan bahkan bahan olok-olokan. Padahal sebagai pemimpin, pejabat dan professional kita memang membutuhkan pencitraan diri positif agar bisa sukses dan efektif di pekerjaan kita, bukan? Kita tahu, Magareth Thatcher pun diminta untuk tidak menggunakan topinya lagi ketika ia sedang memperebutkan jabatan Perdana Menterinya. Namun, mengapa upaya pemolesan citra ini tidak mudah? Bukankah sudah ada pelajaran mengatur ‘body language”, olah vokal, public speaking dan ketrampilan lain? Berarti upaya pencitraan ini sah, namun bila tidak dilakukan dengan hati-hati dan penuh rekayasa, maka upaya yang tidak murah ini begitu rentan gagal.
Citra Diri vs Potret Pribadi
Seberapa sering Anda berdialog dengan diri sendiri di depan kaca? Apa yang anda katakan? Bagaimana Anda memberi julukan pada diri sendiri? Kita bisa berhadapan dengan kaca dan tiba-tiba seolah menghadapi orang asing, yang selama ini tidak kita “kenal” atau memarahi bayangan kita sendiri, karena ‘kurang diet’ dan terlihat gemuk. Sebaliknya, kita juga juga bisa mengatakan “good morning’ dengan ramah dan memberi semangat saat bertatapan dengan diri sendiri. “Mirror method” ini adalah salah satu cara yang bisa dimanfaatkan individu untuk ‘melihat ke dalam’ diri sendiri dan memulai ‘self appraisal’ terhadap diri. Tanpa kekuatan mawas diri ini, upaya menciptakan “kemasan” tidak bisa ‘pas’ bila tidak disesuaikan dengan isinya. Kita bisa mengemas, memperkuat, tetapi tidak bisa memalsu.
Kita bisa perhatikan bahwa di dunia di mana kita semakin mudah melakukan imitasi, meniru, melakukan “spin-off” atau “knock-off” seperti sekarang, orang sering melupakan jati diri yang sebenarnya. Orang sering melupakan ‘diri’ yang paling dalam bila sedang memoles citranya. Padahal, mempertahankan citra diri yang sesuai dengan jati diri sebenarnya adalah strategi yang paling ampuh, karena kekuatan kualitas diri ini tidak akan terhapus oleh badai persepsi buruk manapun. Upaya, kebiasaan-kebiasaan kita dan nilai yang kita anut adalah gambaran diri kita. Kalau kita biasa bangun pagi, sudah siap bekerja di kantor sejak jam 6.30, maka citra diri kita sebagai orang yang rajin dan produktif segera terbentuk. Sebaliknya bila kita tidak dekat dengan wong cilik, tetapi demi pencitraan lalu mendadak berkunjung ke tempat kumuh, ikut makan dengan keluarga miskin, publik akan tahu, apakah tidakan kita ini upaya berpura pura atau aslinya.
Seorang teman yang mengalami perceraian menyatakan bahwa ia tidak khawatir terhadap citranya sebagai janda. Ketika ada yang mempertanyakan, ia mengatakan: ”Upaya saya untuk mempertahankan perkawinan sudah sangat optimal dan mencapai titik di mana siapa pun yang mengalaminya pasti juga akan melakukan perceraian”. Itulah sebabnya tidak ada upaya untuk menutup-nutupi keadaan dirinya, sehingga penampilannya yang rileks justeru membawa daya tarik sendiri.
The real “YOU”
Melakukan “Marketing Me”, memang tidak mudah, namun bukannya tidak mungkin dilakukan. Bila kita memiliki ketrampilan, kebiasaan, hobi, ataupun keahlian yang unik dan khusus, apalagi ditambah “success journal” yang nyata, otomatis citra diri kita kuat melekat di mata orang lain. Meneg BUMN, yang menjadi ketua pembina klub-klub Barongsay memang sangat gemar menonton pertunjukan barongsay. Beliau pun langsung mendapat tempat di hati masyarakat di seputar kesenian ini, karena hobi yang dimilikinya.
Values yang ditangkap dari diri seseorang sebetulnya bisa lebih banyak bicara daripada penampilan, slogan ataupun kemasan-kemasan menarik yang berusaha diciptakan. Seorang yang terkenal ‘matre’ alias mementingkan uang, akan segera keliatan palsu bila mendadak tampil sederhana dan seolah-olah tidak butuh uang. Seseorang yang religius pun tidak selalu harus tampil dengan sorban atau busana yang kental nuansa agamanya,untuk mendapat penilaian bahwa ia memegang nilai spiritual tinggi. Melalui pendapat yang disampaikan, argumentasi dalam presentasi atau usulan yang dibawakan, orang sebetulnya sudah bisa meraba ‘values’ yang dianut seseorang. Topi Margareth Thatcher tidak membedakan apakah ia ‘wanita besi’ atau bukan ‘wanita besi”. Kejernihan amanah Jenderal Nasution tidak berasal dari polesan apapun, namun terasa benar berasal jauh dari dalam dirinya. Ini berarti bahwa kunci untuk membuat citra pribadi tidak dengan mencekoki publik dengan “image” tertentu, namun membeberkan “track record” kesuksesan, menampilkan apa adanya kebiasan-kebiasaan individu sehari-hari, serta menggarisbawahi perkataan individu yang menggambarkan nilai yang dianutnya. Biarkan publik menilai sendiri.
(Dimuat di Kompas, 28 April 2012)