Di era internet, di mana banyak orang berhubungan secara ‘cyber’, banyak yang menyangka bahwa kekurangannya dalam ‘bergaul’ atau menjalin kontak dengan orang lain bisa ditanggulangi dengan menjalin kontak melalui ‘facebook’, ‘twitter’ dan media sosial lainnya. Nyatanya, setelah membina kontak melalui udara, tetap saja ada kebutuhan ‘kopi darat’ dan bertemu muka. Ini berarti hubungan yang berkualitas memang tidak bisa semata basa-basi ataupun di permukaan saja. Dalam pameran, di mana penjaga stand bertemu dengan calon pelanggan, kesuksesan hasil tindaklanjut hubungan tersebut ternyata mempunyai persentage yang rendah, kecuali bila penjaga stand yang dipilih benar-benar jago membina hubungan dan menindaklanjutinya. Tidak heran bila saat sekarang, tiba-tiba banyak perusahaan yang merasakan perlunya meningkatkan kemampuan membina hubungan interpersonal di kalangan karyawannya. Hal yang sebetulnya sangat ‘common sense’ ini seketika dirasakan sebagai kebutuhan utama di lingkungan kerja.
Hubungan baik yang begitu sering dianggap gampang, ternyata bila kita benar-benar amati memang bisa jadi ‘persoalan’. Kita bisa dengan mudah menemukan contoh orang tidak mau membuka pembicaraan karena merasa tidak bisa mengambil posisi sejajar dengan orang lain. Ada orang yang kapok karena pernah mengalami sikap yang tidak berkenan di hati atau tidak yakin bahwa pihak lain akan berespons positif. Woody Allen mengatakan, “A relationship, I think, is like a shark, you know? It has to constantly move forward or it dies. And I think what we got on our hands is a dead shark.” Pada kenyataannya, kita memang menemui lebih banyak berita mengenai “dead sharks” daripada hubungan yang maju terus.
Di dunia kita yang makin kompleks, kita bisa melihat bahwa banyak orang salah mendefinisikan hubungan baik. Kita melihat bagaimana para wakil rakyat sulit mendapatkan kata sepakat. Sedikit beda pendapat sering dibumbui kesulitan mengkontrol emosinya, bahkan banyak individu yang bangga bila ia bersikap tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Sungguh disayangkan bila hubungan baik dipersepsikan sebagai fenomena yang hitam putih, tetapi tetap tidak menjadi prioritas untuk dibina. Padahal, kita semua yang sudah memasuki usia matang pastilah sudah makan asam garam dalam membina hubungan interpersonal. Bukankah kita bisa berhasil menjaga hubungan suami-isteri, atasan-bawahan? Berarti, kita hanya perlu sedikit lebih berupaya menomorsatukan hubungan baik dan juga mengembangkannya.
Personal Chemistry
Bila kita diminta menyebutkan nama seseorang yang jago dalam membangun hubungan baik, biasanya yang terbayang di kepala kita pastilah orang yang supel dalam bergaul. Ya, ini memang bisa jadi salah satu kriteria, namun masih ada pula kriteria-kriteria lain yang tidak kalah penting. Orang yang pandai menjaga hubungan baik adalah juga orang yang mampu meminimalisir kegagalan dalam hubungan interpersonalnya. Percuma bila ia banyak teman, namun juga sering menyinggung perasaan orang yang tidak disukainya. Seseorang tidak bisa kita sebut pandai membina hubungan, bila ia hanya nyaman berhubungan dengan orang dari kalangan tertentu saja, misalnya teman sebaya, seprofesi, atau justru dengan orang yang lebih rendah tingkat sosialnya daripada dia.
Ada orang yang dikenal sangat pintar, namun ia seolah tidak punya ‘personal chemistry’ yang bisa dimanfaatkan untuk berorganisasi, melakukan coaching, mempersuasi anak buah, bernegosiasi atau berpolitik dengan halus. Ada orang yang luwes berbasa-basi di permukaan saja, padahal hubungan yang berkualitas adalah hubungan yang dalam, tidak perlu terlalu banyak basa-basi, namun terasa halus dan penuh perasaan. Kehalusan hubungan ini, bukan saja terbatas pada tutur kata, tetapi lebih pada kemampuan untuk menyadari, mengkontrol dan memotivasi diri sendiri untuk senantiasa berupaya agar pihak lain ‘happy’ dengan keberadaannya. Individu yang “personal chemistry”-nya kuat senantiasa sadar bahwa ia perlu bisa bertenaga untuk memberi inspirasi pada orang lain. Saat orang berinteraksi dengannya orang lain akan nyaman dan menikmati hubungan yang tulus. Kapasitas membangun “personal chemistry” juga ditandai kepiawaian dalam menyelesaikan konflik dalam waktu yang relatif cepat, tidak ditunda, apalagi dikubur atau bahkan tidak diselesaikan sama sekali.
Berinisiatif untuk Selalu Positif
Seorang teman yang piawai dalam membina hubungan baik, saat ditanya apa rahasianya, mengatakan bahwa sikap positif yang tulus sangat diperlukan. Ini berarti, kita harus menanamkan pikiran bahwa hubungan baik itu memang keinginan semua orang. Inisiatif untuk membina hubungan positif perlu datang dari kita. Niat untuk memberikan servis dan pertolongan juga perlu datang dari kita. Kita kadang lupa bahwa dengan keyakinan positif yang tumbuhkan, otomatis akan membuat kita lebih berani membuka diri, lebih jujur untuk memberikan informasi ‘personal’ tentang diri kita, sehingga kesempatan memiliki hubungan yang transparan lebih mudah dicapai. Dengan melakukan hal ini, kegiatan coaching, negosiasi, menegur, me-’manage’ atasan, atau apapun yang seringkali dianggap sulit dalam ‘people handling’ seketika akan terlihat manusiawi dan wajar.
(Dimuat di Kompas, 14 April 2012)