Setiap orang, setiap pekerja, mustinya sadar bahwa peningkatan kehandalan diri adalah prioritas utama. Kita melihat masih begitu banyak situasi yang kita temui, di mana para profesional yang dituntut memberikan layanan yang tepat waktu dan profesional, malah memberikan servis dengan angin-anginan, tidak mempraktekkan prosedur dengan benar, tidak tuntas dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan. Seringkali pelanggan tidak mau repot-repot mengeluh, tetapi dengan gampang tidak lagi kembali dan mencari profesional lain. Ada perusahaan yang memindahkan keagenan produk ke perusahaan lain karena tidak puas, sampai akhirnya si produsen membuka kantor perwakilan sendiri. Lihat betapa para pasien bereksodus ke rumah sakit negara tetangga untuk mendapatkan pelayanan yang lebih profesional. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang “menyelundupkan” supervisor asing, sekedar untuk memandori buruh kita. Apa yang kita rasakan melihat dicaploknya rejeki dalam pariwisata, dengan pengelolaan asing yang dominan dalam industri pariwisata negara kita sendiri? Para “bule” menjadi wirausaha handicraft, sementara pekerja kita hanya sebagai pekerja kasar karena mereka tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa profesional.
Banyak hal yang perlu kita evaluasi. Sadarkah kita bahwa di Komodo, Raja Ampat, Bunaken, yang kita kenal sebagai nirwana selam, terdapat 150 pengelola kapal penyelam yang 95% dimiliki dan dikelola orang asing. Apakah kita tidak cukup penyelam? Bukankah para penyelam mutiara di perusahaan-perusahaan mutiara adalah orang Indonesia? Bagaimana dengan ‘arlog’ (arek logam), penyelam natural di pinggir kapal feri dan membuat pertunjukan menyelam ke dasar laut untuk mengambil koin? Apakah kita tidak punya kapal? Bukankan kapal pinisi dibuat dengan cantik, kekar, canggih oleh nelayan kita? Apakah kita tidak mengenal servis? Bukankah bangsa Indonesia terkenal murah senyum? Mengapa eco-tourism di negara kita dominan dikelola oleh asing? Apakah betul ini disebabkan karena pendidikan? Ke mana para sarjana kita yang sudah mengenyam pendidikan tinggi berkualitas? Mengapa penularan profesionalitas tidak kunjung mencapai kualitas jempolan sehingga ada salah satu atau beberapa profesi yang dilirik negara lain, untuk ‘dibeli’ dari kita? Sampai kapan kita biarkan ini terjadi?
Profesionalitas ada di semua profesi
Individu di semua profesi, dengan pendidikan khusus, pendidikan bersertifikat, ataupun sekedar pelatihan, bisa dilihat ‘stakeholder’ sebagai profesional atau tidak profesional. Bisakah membayangkan sopir taksi yang tidak tahu jalan atau petugas bandara yang tidak bisa mengarahkan pengunjung bandara yang bertanya loket mana untuk apa? Bagaimana profesionalisme petugas purna jual mesin bergaransi yang tidak bisa tahu ‘penyakit’ mesin atau dokter yang mengirim pasien untuk melakukan pemeriksaan ini-itu yang sebenarnya belum diarahkan diagnosanya? Kita baru bisa menyebut diri sebagai profesional bila setidaknya kita sadari betul apa yang menjadi tugas, tanggung jawab, batasan wewenang, serta etika dalam pekerjaan kita. Seorang profesional perlu menyajikan “service of value”, sehingga pelanggan selalu merasa nyaman. Hal semacam ini perlu datang dari tiap pribadi, tanpa harus menunggu arahan dari orang lain, bukan? Secara awam saja kita bisa tahu bahwa bila profesionalisme ini tidak kita sikapi secara keras dan tegas, kita tidak akan bisa mengembangkan diri, lembaga, perusahaan tempat kita bekerja dengan subur.
Setiap profesi mempunya sistem, prosedur pelaksanaan, cara problem solving, serta cara pelayanan yang standar. Penyusunan SOP, penulisan job description dan perumusan key performance indicator memang tidak boleh dipandang sebelah mata, sehingga kita senantiasa bisa mengukur dan mengevaluasi kehandalan kita. Di jaman penuh persaingan seperti ini, kita tidak bisa sekedar memenuhi standar, tapi harus melebihi standar, agar bisa ‘stand out’ di mata pemakai jasa. Seorang profesional baru terlihat kehandalannya bila ia bisa berada diatas kemampuan standar, mampu melihat situasi dan meramalkan apa yang dibutuhkan di situasi tersebut, dan meramal untuk masa depannya. Ia berpikir untuk kliennya atau perusahaan tempat ia bekerja. Ia mempunyai persepsi jangka panjang dan tidak tergoda oleh ‘quick wins”. Pemakai jasalah yang akan menilai, bagaimana kita tampil, bicara, menulis, mengambil tindakan dan bekerja. Saat ada salah satu aspek dari pekerjaan ini salah, atau di bawah standar, maka kita langsung dicap sebagai golongan amatir.
HANDAL : lebih daripada sekedar profesional
Bila kita menelaah pendidikan profesi, di mana pun, kita pasti sadar bahwa jaminan untuk menjadi profesional handal begitu keluar dari pendidikan sangatlah minim. Berapa banyak kasus yang ditangani seorang psikolog ketika kerja praktek di rumah sakit jiwa? Tuntaskah diagnosa, analisa, prognosa, dan terapinya? Berapa kali seorang lulusan pendidikan akuntansi membuat laporan keuangan? Berapa jenis industri yang ditekuninya selagi kerja praktek? Begitu individu menerima sertifikasi profesinya, tantangannya baru dimulai. Individu yang memang berorientasi untuk jadi profesional akan sibuk mencari kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengasah diri dan terus menambah wawasannya. Kesempatan belajar dan pengembangan diri ini yang juga perlu disediakan dan diberikan oleh pimpinan dan perusahaan.
Kita bukannya tidak bisa mencetak prestasi. Lihat saja dominasi kejuaraan servis di dunia perbankan Indonesia tidak lagi dikuasai oleh perusahaan asing. Bukankah perusahaan kita juga ada yang bisa memamerkan tatakrama, pengelolaan waktu, pemahaman dan pemenuhan kebutuhan pelanggan, komitmen, serta pembinaan hubungan yang kinclong? Kita bisa, asal mau. Kebisaan dan kemauan ini juga dalam sebuah lembaga harus terjadi turun temurun. Bila perusahaan berkembang sekali pun, kebisaan dan kemauan ini harus menular sampai tercium ke garda depan .
(Dimuat di Kompas, 17 Maret 2012)