Orang sering mengartikan keadaan gembira sebagai konsekuensi dari suatu upaya atau keadaan. Bila saya dipromosikan, saya bahagia. Bila mencapai target, saya senang. Padahal keadaan senang ini ibarat ‘moving target’. Begitu kita mencapai target, kita senang, mengharapkan bonus, tetapi langsung atasan memancangkan sasaran baru lagi, sehingga kita berada dalam situasi yang lagi-lagi mengharap-harapkan kesenangan. Padahal, sebaliknya, the “positive advantage” adalah modal untuk mencapai target. Sebanyak 225 studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti Sonja Lyubomirsky, Laura King dan Ed Diener, menemukan adanya korelasi positif antara kepuasan hidup dengan kesuksesan binis. Dengan ‘mindset’ positif, orang ternyata bisa melihat tantangan sebagai sesuatu yang positif. Dalam kondisi positif, produktivitas, kreativitas, dan niat untuk ‘engage’ menjadi lebih kuat.
Beberapa dekade yang lalu, kebahagiaan adalah area yang hanya dibicarakan para filsuf dan penyair. Para psikolog baru secara serius mempelajari pengaruh sikap positif dalam hidup dan kehidupan bekerja pada 20 tahun terakhir. Saat sekarang, para ekonom dan ahli syaraf pun beramai-ramai mulai memfokuskan perhatian pada keadaan positif dan bahagia ini. Ahli syaraf mencari bagian otak yang mana yang paling aktif bekerja bila individu mendapat ‘reward’. Para ekonom ingin tahu persis “nilai” apa yang paling memotivasi individu. Hasilnya memang sangat masuk akal yaitu semua yang positif lebih baik dari yang negatif. Orang yang romantis lebih happy dari yang tidak. Orang yang sehat lebih happy dari yang sakit. Orang yang rajin beribadah lebih happy dari yang tidak beribadah. Jadi, mengapa memilih pendekatan negatif? Atau berintelegensi negatif?
Melatih Kebiasaan Positif
Seorang CEO, Burt’s Bees dan John Replogle, dalam menghadapi krisis di perusahaannya, memutuskan untuk tidak menyebarkan pesan-pesan dan tututan secara menegangkan. Mereka belajar bahwa dengan meningkatkan taraf kecemasan anggota tim, hasilnya malah meningkatkan kerja amigdala atau bagian otak yang menimbulkan ancaman, dan menghentikan daya kerja bagian otak yang berfungsi melakukan ‘problem solving’. Tindakan yang mereka lakukan justru mengirimkan email semangat setiap hari, berisi penghargaan terhadap anggota tim, yang melakukan sesuatu yang dipandangnya istimewa. Beliau juga mengingatkan pada manajer yang sedang sibuk sekali mengejar keuntungan finansial untuk meluangkan waktu membicarakan ‘nilai’ perusahaan yang tetap dianggap super penting. Dengan menerapkan kepemimpinan positif begini, para manajer ternyata semakin kohesif dan ‘engaged’ dan bahkan bisa melewati krisis yang berat.
Rasanya belum terlambat bila kita melatih otak untuk selalu bersikap positif. Mendengarkan presentasi para management trainee yang memang belum kompeten, kita bisa mulai komentar kita dengan penghargaan akan kerja kerasnya. Saat kita mendapatkan pertanyaan yang tidak ‘smart’ kita bisa memberi applause terhadap keberanian bertanya. Melatih otak sama persis seperti melatih otot tubuh kita. Otot yang terlatih bersifat lentur. Kita pun bisa mengupayakan neuroplasticity, di mana otak kita seakan diurai kembali dan membentuk konfigurasi yang lebih teratur dan fleksibel. Dengan melatih rasa bersyukur, mengeluarkan pernyataan positif kita akan terbiasa untuk bersikap tenang menghadapi kesulitan dan tantangan.
Mengembangkan “A Better Self”
Mari kita pikirkan, apa tujuan kita menyekolahkan anak? Apakah kita ingin ia menjadi bankir muda yang ambisius, mengejar gaji besar dan bonus tebal? Ataukah, kita ingin ia mengenal dirinya, berpegang teguh pada nilai-nilai moral, disukai orang di sekitarnya dan mengembangkan sikap untuk menjadi manusia yang utuh? Tentu kita memilih jawaban yang terakhir, bukan? “Self” yang kuat mampu menguatkan “sense of ownership” terhadap negara, perusahaan, dan masalah yang sedang dihadapi. Individu dengan self kuat, bersikap “excited” dalam menghadapi tantangan di depan mata dan lebih kuat belajar.
Penguatan “self’ ini perlu kita pikirkan bukan saja terhadap anak, tetapi juga karyawan. Apakah kita memang ingin melihat karyawan yang hanya berlomba-lomba dan terengah-engah mengejar komisi dan bonus? Sebaliknya, kita tentu lebih senang menciptakan barisan karyawan yang tidak hanya puas dengan prestasi yang biasa-biasa, dan justru menuntut dirinya untuk kreatif. Kita bisa membentuk karyawan bermental arsitek, pembangun dan kreator masa depan. Kita tidak peduli apakah manusia yang kita bangun menciptakan lagu, buku, usaha kecil, ataupun gaya rambut terkini, yang penting individu berniat keras untuk maju dan menerjang status quo. Jadi, dalam perusahaan yang sedang mengalami kemajuan pesat ataupun yang mengalami krisis, kita memang harus terus memikirkan strategi untuk membuat tiap individu merasa ‘terisi’, berguna dan autentik. Sudah waktunya kita meninggalkan materi, uang, ekonomi dan politik sebagai motivator utama. Kita perlu meyakini bahwa individu akan lebih ‘happy” bila ia berada dalam keadaan positif, sehingga dapat mengerahkan potensi pribadinya, merasa ber’power’ dan mempunyai tenaga untuk membahagiakan dirinya. Asah inteligensi positifnya.
(Dimuat di KOMPAS, 11 Februari 2012)