Sebetulnya, secara simpel, kita bisa menghitung betapa “fun” bisa mempengaruhi produktivitas. Di sebuah bank yang terkenal pekerja keras dan menghabiskan waktu kerja minimal 14 jam sehari, setiap usai rapat, para peserta dengan bersemangat mengganti status pribadi di aplikasi jejaring sosial atau smartphone mereka, sesuai dengan spirit rapat yang baru dijalani. Disinilah kita melihat betapa “fun” mampu menciptakan magic sehingga para eksekutif ini terlihat punya energi begitu banyak, di tengah begitu besarnya beban kerja.
Seorang ahli manajemen Dr. David Abramis meyakini bahwa suasana kerja yang positif dan ‘fun” membuat orang lebih kreatif, produktif dan membuat keputusan yang lebih bermutu. Hasil penelitiannya juga menemukan bahwa tawa menghasilkan “endorphin” yang punya pengaruh terhadap emosi dan berkekuatan lebih besar daripada morphin. Endorphin menyebabkan rasa sejahtera dan optimis. Fakta inilah yang membuat makin banyaknya perusahaan menyusul Southern Airways, Google dan Zappos untuk menganut ‘fun’ sebagai corporate strategy. Perusahaan IT di Amerika, Acclaris, mengangkat khusus seorang “Chief Fun Officer”, sementara sebuah perusahaan di Kanada mengembangkan sebuah departemen khusus untuk urusan menciptakan “Wow”. Kesemua usaha ini pada akhirnya kembali kepada tujuan bisnis, di mana 3 hal, yaitu empowerment, engagement dan kreativitas diharapkan meningkat. Pertanyaannya, masihkah kita tidak serius untuk menggarap “fun” sebacai cara untuk mencapai puncak kinerja dari ketiga hal tersebut?
Menyelaraskan pikiran dan hati
Dalam budaya kerja, kita memang terbiasa memisahkan antara pikiran dan hati. Walaupun banyak slogan menyerukan bekerja dengan hati, banyak orang lebih meyakini bahwa bekerja memang didominasi oleh pikiran. Kita sering lupa, bahwa pada saat genting, di mana kita perlu mengambil keputusan, toh ternyata hatilah yang sering mendominasi keputusan kita. Kerjasama hati dan pikiran justru sangat erat. Pikiran menyediakan fakta, konsep dan membanding-bandingkan realitas satu dengan yang lain, sementara hati memberi arah dan memperkuat cara pandang kita terhadap suatu fenomena. Jadi, bila kita membandingkan kerja hati dan pikiran kita dengan situasi di pengadilan, maka pikiran kita adalah tim pembelanya, sementara hati adalah hakimnya. Namun demikian, dalam bekerja, kita sering menyaksikan ketidakseimbangan peran antara pikiran dan hati. Berapa banyak orang menggunakan pikirannya secara dominan, justru pada saat pikiran tidak boleh bekerja, misalnya saja ketika kita merayakan keberhasilan? Itu sebabnya, kita perlu menjinakkan pikiran kita dengan cara menyelaraskannya dengan hati. Pikiran dan hati perlu berjalan bersama, berpikir dengan hati, merasa dengan pikiran.
“Bermain’ dengan pikiran
Ayah saya yang memperkenalkan cara memainkan musik sederhana seperti harmonika dan suling, selalu menasehati ”Mainkan! tapi jangan main-main!”. Semangat untuk bermain ini ternyata kemudian sangat berguna dalam menghayati pekerjaan. Begitu kita menyukai apa yang kita kerjakan, tugas tersebut akan serasa sebagai permainan. Dengan penghayatan ini, kita pun jadi mempunyai sikap positif terhadap tugas yang kita lakukan, berusaha menjadi pemain yang perfek, menikmati prosesnya dengan bangga, bahkan ingin selalu lebih baik dan tanpa ragu mengambil tanggung jawab dari seluruh pekerjaan secara utuh. Dalam setiap permainan, sesungguhnya kita memang otomatis akan menggenjot kekuatan pikir kita sebisa-bisanya. Katakanlah, saat menerbangkan layang-layang, kita akan memfokuskan diri untuk mencari ke mana angin bertiup dan berusaha keras agar layang-layang diterpa angin sehingga akhirnya bisa terbang. Dalam bermain, tidak ada konsentrasi pada kelemahan. Semua perhatian kita terarah dan terfokus pada apa yang kita bisa. Hati dan pikiran kita menyatu dalam upaya bermain. Bila dikaji lebih jauh, maka dalam bermain pun ada unsur ketepatan, pencapaian target, ‘fairness’, keadilan, dan latihan serta ‘coaching’. Justru dengan pendekatan ‘gaming’ dalam bekerja ini, kita tidak terlepas dari profesionalisme dan kompetensi, hanya saja hati berperan dalam memainkan ‘sense of humor’, ‘fun”, dan perspektif positifnya.
Di perusahaan, kita bisa menterjemahkan unsur “gaming” dan ‘fun” ini ke dalam paket benefit yang tidak material. Anak muda sekarang, tentunya akan memilih waktu kerja yang fleksibel daripada ketentuan yang kaku. Individu tentu lebih memilih atasan yang bisa diajak berkomunikasi seperti teman sendiri, daripada birokrasi bersusun-susun yang ditempuh dengan keseriusan yang membuat stres. Kita sesungguhnya dapat selalu membawa unsur fun dalam kompetisi dan juga celebration di tempat kerja, sehingga pikiran dan hati senantiasa berkolaborasi menciptakan kinerja yang berlipat ganda.
(Dimuat di Kompas, 4 Februari 2012)