Di lain pihak, kita juga bisa menyaksikan pimpinan atau CEO yang biasa-biasa saja alias melempem. Mereka tidak kalah pandainya, banyak yang memiliki “tongkrongan” keren, tetapi tidak mengeluarkan aura ‘get things done’-nya dengan keras, bahkan tak mampu mengkolaborasikan tim satu dengan yang lain. Perbedaan yang kelihatan dari para CEO sukses adalah pencapaian sasaran perusahaan dilakukan dengan penuh semangat oleh para karyawannya, sementara CEO yang kurang sukses biasanya memimpin karyawan yang kurang ‘happy’ dan seringkali tidak kuat kerjasamanya. Kita lihat bahwa apapun bentuk organisasi yang dipimpinnya, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap terciptanya lingkungan yang memungkinkan karyawannya untuk bersinergi dan “excel” dalam pencapaian targetnya. Tidak heran bahwa dalam cerita sukses para CEO, mereka selalu menekankan ‘soft skills’ sebagai modal untuk bisa bekerja efektif, melampaui keadaan, bahkan mengatasi berbagai hambatan. Bila ‘softskills’ ini sedemikian penting, kita tentu perlu mengevaluasi bagaimana perangkat pengukuran kinerja di tempat kerja kita. Masihkah kita berpatokan pada pengukuran kinerja yang semata berorientasi “hardskills” seperti pencapaian sasaran dan Key Performance Indicator, tanpa mementingkan penularan spirit dan semangat yang positif?
Tanda Kematangan
Dengan kecepatan jalan bisnis, serta sengitnya persaingan, sikap pemimpin atau profesional yang menunjukkan “I have the right answer”, benar-benar tidak efektif. Seorang ahli bahkan menyatakan bahwa sikap ini hanya boleh diperlihatkan oleh seorang mahasiswa. Di tempat kerja, kita perlu bersikap “I can help make this work”, dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada, office politics, serta segala agenda yang dimiliki pihak-pihak lain. Tidak heran bila pemimpin yang masih sering bersikap “I’m OK, you re not OK”, merasa diri paling pintar dan paling benar, akan sulit untuk membawa organisasinya berprestasi “beyond average”.
Kesuksesan dalam bisnis sama sekali tidak terletak pada bagaimana mendapatkan jawaban yang tepat, namun lebih pada memastikan gerak roda bisnis bergulir dengan lancar. Ada perusahaan yang seolah jalan di tempat karena para karyawan sampai pada direkturnya tidak menunjukkan ‘rasa memiliki’ yang disebabkan pucuk pimpinannya kurang bisa bersikap asertif. Bila pemimpin sungguh-sungguh ini menciptakan “success stories”, ia memang perlu menciptakan dan menjaga baik-baik atmosfir di perusahaan. Bila ada pihak yang sudah mulai tidak melaporkan kejadian-kejadian penting, tidak menyatakan pendapatnya, tidak bisa menolak hal yang sebetulnya merugikan perusahaan, atau bahkan menunjukkan sikap ‘walk out’, maka pimpinan perlu bersiaga satu dan mulai menelaah kembali praktek-praktek komunikasi yang dikembangkan. Selain melihat angka pertumbuhan, memelototi indikator pencapaian finansial, para pimpinan juga perlu meraba-rasa bahwa lingkungan kerja masih diwarnai suasana ‘seru’ dan “asik” di kalangan karyawannya, sehingga karyawan tetap bekerja sama dalam pencapaian tujuan. Atmosfir positif ini semakin kritikal bila perusahaan memang sedang mengalami tekanan, apakah tekanan waktu, persaingan, dikeluarkannya produk baru, ataupun perubahan.
Kepekaan & Respons
Banyak orang yang begitu dipromosikan langsung berpikiran: “saya dapat apa?”. Pada saat itulah orang tersebut mulai ‘invalid’, bahkan mematikan tombol inisiatifnya. Sebaliknya, keinginan untuk membuat tempat kerja kita sebuah tempat yang lebih baik adalah tanda awal yang positif. Dengan sikap mental seperti ini kita pasti tidak keberatan menolong orang lain, berusaha menyelesaikan tugas dengan lebih cepat, mengembangkan hubungan interpersonal dan kerja tim yang lebih baik. Jadi kekuatan bersikap positif, optimis dan percaya diri bukanlah sekedar bumbu kehidupan bekerja, tapi menjadi sumber kekuatan untuk berprestasi. Kekuatan ini membuat kita mempunyai ‘kontrol’ yang kuat terhadap lingkungan. Sikap “do it yourself” juga sangat terlihat pada figur-figur sukses, yang justru menghilangkan birokrasi, mudah dihubungi, banyak melakukan pekerjaan pekerjaannya sendiri tanpa asisten.
Kita lihat di jaman di mana perkembangan teknologi demikian canggih dan seolah-olah berkejaran dengan otak manusia, ada sisi lain dari kekuatan manusia yang benar-benar perlu diperhatikan dan difokuskan. Kita perlu lebih peka terhadap ‘sense’ dan “respons”, kekuatan sosialisasi, “engagement”, pemilihan kata-kata, interpretasi terhadap waktu dan informasi dengan jeli yang kesemuanya sering tidak dipelajari dibangku sekolah, melainkan di lapangan. Inilah “soft skills”.
(Dimuat di KOMPAS, 24 Desember 2011)