Kita lihat dunia kerja sudah begitu berubah. Di banyak organisasi, kesempatan untuk maju terbuka luas bagi mereka yang berpotensi serta cakap atau kompeten. Persaingan untuk maju ke jenjang berikut menjadi lebih kompetitif, bahkan sampai sikut-sikutan. Di sisi lain, ada orang yang dengan sinis mengatakan bahwa perusahaan sengaja membuat jenjang kepangkatan dan struktur organisasi yang berlapis-lapis, sehingga membuat karyawan seolah bisa mendaki terus. Padahal, tidak ada perubahan dalam bobot kerja maupun mutu di jenjang yang lebih tinggi itu, sehingga karyawan secara mental merasa lelah dan melihat masa kerja berjalan lambat. Di kalangan organisasi pemerintahan, perjalanan karir sering diibaratkan sebagai upaya menabung dan kesabaran menanti. Menabung dalam karir bisa diartikan sebagai menabung ijazah, sertifikat yang kemudian bisa di-‘trade off’ dengan kenaikan pangkat. Di lingkungan semacam ini, kegiatan menunggu diartikan dengan rasa bahwa nasib kita dalam berkarir ditentukan oleh pihak eksternal, bukan diri kita. Bagaimana kita memandang perjalanan karir kita? Seberapa jauh kita melihat diri kita bisa aktif merencanakan dan menata karir kita?
Promosi bukan Kado
Ungkapan ‘naik pangkat’ nampaknya sudah bisa ditinggalkan di jaman yang sudah berubah ini. Dengan kemajuan teknologi, gaya kerja yang lebih fleksibel, globalisasi dan struktur organisasi yang semakin pipih, tidak berjenjang banyak, maka kemajuan karir sudah tidak bisa disamakan dengan kegiatan mendaki tangga. Gerakan karir sudah lebih mengarah pada gerakan lateral. Kita tidak bisa lagi pasrah pada batasan, aturan, pembagian wilayah atau pengkotak-kotakan organisasi yang konvensional. Sudah semakin jarang orang yang bekerja tanpa inisiatif untuk menentukan karirnya. Keberhasilan projek, bertambahnya ketrampilan, tidak bisa disimpan baik-baik, melainkan perlu di-”jembreng” agar dijadikan bahan pertimbangan manajemen untuk penugasan yang lebih berbobot, lebih berkontribusi dan memberi nilai tambah
Sikap rendah hati dan pasif dalam berkarir boleh dikatakan merupakan satu paket dalam cara berkarir konvensional. Sebaliknya, bila kita melihat karir sebagai sesuatu hal yang bisa kita tata sendiri, maka kita memang perlu mampu mengekspresikan ambisi, bahkan kegelisahan kita. Di saat sekarang ini, individu perlu menjadi “a known quantity” yang terlihat pencapaian kinerjanya, terutama di hadapan orang-orang yang mengambil keputusan promosi, antara lain atasan. Saat seseorang tahu ambisi karirnya, ia bisa lebih mudah mengajukan diri untuk mendapat mentoring secara terarah. Sebuah penelitian membuktikan bahwa 4 dari 5 promosi dalam sebuah organisasi dicapai oleh orang yang tekun mendapat mentoring. Tanpa disadari, kegiatan mentoring adalah kegiatan networking juga. Kita mendapat kesempatan untuk dikenal dan mengenal senior kita, serta teman-temannya. Selain itu, dari seorang mentor ataupun atasan langsung, bila hubungan kita baik, kita mendapat kesempatan untuk melihat cara dan di mana kesempatan berkembang itu ada.
Jangan Alergi dengan Tanggung Jawab
Seorang teman berkomentar mengenai CEO-nya yang mempunyai beban mental sedemikian berat, karena para direktur dibawahnya enggan mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Ya, betapa sering kita melihat orang ingin memangku sebuah jabatan bergengsi tanpa mengecek apa dan seberapa besar wewenang dan tanggung jawab yang harus diemban dan dipertanggungjawabkannya. Apakah karir akan berarti bila hanya berupa jabatan kosong, namun tidak diimbangi dengan kinerja dan nilai tambah yang terasa, terukur dan terlihat? Individu yang ingin berkembang perlu memikirkan dan menunjukkan apa yang bisa ditambahkan agar bobot pekerjaannya meningkat. Sikap seperti ini tentu menguntungkan tidak hanya bagi individu, tapi juga bagi atasan dan organisasi. Individu dengan ambisinya ingin berkembang, sementara perusahaan menginginkan penyelesaian tugas.
Dengan keadaan organisasi yang kompetitif dan semakin tidak berjenjang, kita bisa merasa khawatir, jangan-jangan kita tidak mempunyai tempat di dalam organisasi. Ya, kita memang harus mawas diri bahwa organisasi pun tidak luput dari keharusan untuk menjadi fleksibel. Hal ini berarti kita harus ingat juga melihat kiri dan kanan, yaitu pekerjaan-pekerjaan dengan ekspertis yang berbeda. Kita tidak bisa alergi dengan pindah bagian atau divisi, karena hal ini sangat dimungkinkan. Hal yang kritikal sesungguhnya adalah mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, perencanaan, yang kesemuanya langsung bisa diterapkan di tempat kerja manapun.
(Dimuat di KOMPAS, 22 Oktober 2011)