Sebagai seorang pemula atau junior dalam sebuah tim, seorang teman kerap berolok-olok, bahkan menyebut dirinya “kacung kampret”. Ia yang menyiapkan presentasi, namun atasan yang “mendapat nama”. Ia begadang sampai tengah malam, sementara atasan pulang cepat dan tinggal memetik hasilnya. Singkatnya ia merasa semua “dirty-work”, “leg-work” harus dikerjakannya, sementara wewenang dan pengambilan keputusan tidak ia miliki “privilege” jabatan pun sering belum ia rasakan. Dalam situasi yang berbeda, teman saya yang lain pun merasakan hal yang sama. Ia tidak lagi junior dalam organisasi, bahkan direspek benar kompetensinya. Namun, setiap kali harus bergerak, melakukan pekerjaan besar atau kecil, bahkan ketika orang-orang lain mengandalkan dirinya, ia merasa diperbudak oleh situasi. Ia menggerutu dan tidak happy, karena seolah “dia lagi, dia lagi” yang harus maju mengerjakan sesuatu.
Kita lihat bahwa sikap merasa diri sebagai bulan-bulanan situasi bisa dialami dan dimiliki tidak hanya oleh orang dengan posisi rendah, tapi juga mereka yang kompeten dalam posisi tinggi. Si kompeten yang merasa sebagai ‘victim’ situasi, justru diam-diam merasa diri lebih daripada orang lain. Ia tidak tidak bisa melihat orang lain sebagai support melainkan sebagai beban. “Mengapa harus saya yang pergi presentasi?” “Mengapa harus saya yang menghadap atasan, mewakili teman teman?” Ia tidak melihat bahwa posisi terdepan adalah kekuatan yang akan mendorong dia kearah kesuksesan. Sementara orang-orang yang merasa ‘kecil’ dibandingkan orang di sekitarnya seperti para senior maupun atasan, juga memandang dirinya selalu berada pada posisi ‘victim” yang perlu dikasihani. Teringat seorang ahli manajemen John W. Gardner: “Self-pity is easily the most destructive of the nonpharmaceutical narcotics; it is addictive, gives momentary pleasure and separates the victim from reality.”
Bila individu kerap menyalahkan lingkungan kerja, keluarga, peraturan atau kebobrokan mental masyarakat, otomatis ia tumbuh menjadi orang yang mudah menggerutu, sekaligus melepaskan tanggung jawab dalam mengembangkan diri dan mengoreksi diri. Bahayanya, mindset sebagai korban ini mudah menular dan bisa menjadi penyakit dalam tim, organisasi dan masyarakat. Pertanyaannya, kalau mentalitas “korban” ini menyebar, tim dan masyarakat akan terdiri dari orang-orang yang merasa dirinya ‘innocent’ dan tidak berdaya. Lalu, siapakah yang akan diandalkan untuk mengubah situasi?
Responsibility = response-ability
Sekolot-kolotnya ayah saya, ia selalu mengingatkan bahwa manusia, hampir di semua situasi mempunyai pilihan, bahkan dalam situasi genting sekali pun. Akal budi membuat kita mampu berlatih untuk merespons apa yang kita hadapi sehingga tidak merasa bahwa semua situasi adalah nasib yang jatuh dari langit. Bila kita berlatih, stimulus yang datang kepada kita diolah sebagai informasi yang perlu direspons dengan kemauan kita sendiri. Dengan demikian kita tidak lagi merasa sekedar obyek atau ‘victim”, namun menjadi subyek atau sutradara untuk mengendalikan situasi. Hal inilah yang juga diajarkan pada pemain-pemain bola atau dalam latihan bela diri. Kita tidak asal bereaksi, tetapi kita memilih gerakan berdasarkan informasi tertentu.
Sikap mental ini tidak selalu harus dimiliki oleh individu dengan posisi tinggi ataupun jenderal jenderal besar seperti Mc Arthur atau LB Moerdani. Kita pun sebagai “wong cilik”, yang masih belum mempunyai jabatan bisa mempunyai “player mentality”, mengambil peran dan tanggung jawab penuh atas situasi yang terjadi. Di dalam pekerjaan, bila informasi yang dimiliki tidak cukup, bisa saja kita menyalahkan pihak yang memberi data tidak lengkap, namun kita pun sebetulnya bisa mengembangkan sikap bertanggung jawab dan proaktif untuk mencari informasi lebih banyak. Seorang pemelihara tanaman di kantor pun bisa mengambil inisiatif, misalnya sepenuh hati memberi pupuk, membuat larangan dan peraturan agar tanaman yang dirawatnya tidak rusak dan bisa tumbuh subur. Kenapa kita tidak bisa?
Bergerak Mengejar Sasaran
Latihan untuk menganggap bahwa apapun yang terjadi dihadapan kita adalah ‘informasi’, akan membuat kita terbiasa untuk memikirkan langkah apa yang kita ambil. Seorang “korban” dengan mudah menyalahkan situasi, sementara “pemain” selalu mampu memahami situasi. Seorang pemain sepak bola handal pun selalu paham tentang situasi yang dihadapinya dan mampu mengarahkan tendangannya sambil sekaligus meramalkan ke mana bola itu akan pergi. Jadi ia bukan berespons secara impulsif. Meski respons ini terjadi dalam hitungan detik, tetapi individu bermentalitas pemain sudah mempunyai kontrol terhadap situasi. Di situasi kerja kita pun perlu mempertanyakan, apakah kita hanya mengikuti perintah atau berusaha mempersiapkan, berpartisipasi dan mengkontrol situasi? Apakah kita mengambil peran pasif atau aktif? Apakah kita membuat keputusan karena terdesak ataukah kita membuat keputusan dalam keadaan sadar dan jernih? Individu dengan mentalitas pemain biasanya tidak sulit untuk bergerak dan mengarahkan diri ke masa depan dan “make things happen”. “They don’t sit around waiting for answers to appear; they stand up, put one foot in front of the other, and find the answers”.
Pelecehan psikologis, seperti menyebut diri “kacung kampret”, sebetulnya lebih sering dilakukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Kitalah yang perlu menyuburkan penghargaan diri, rasa percaya diri untuk maju dan mengembangkan karir. Dengan demikian, kita menumbuhkan, karakter diri yang kuat dan bisa bangga karena nyata-nyata memberikan kontribusi optimal.
(Dimuat di KOMPAS, 23 Juli 2011)