Kritik memang sudah pasti akan ada ke mana pun kita melangkah. Orang yang paling pintar, paling hebat, paling ahli dan paling bekerja keras pun tidak luput dari kritik. Bila kita ada di tahap belajar, tahap mencoba, tahap memulai, di mana hasil kerja kita masih jauh dari sempurna, sudah sewajarnya kita mengantisipasi kritikan deras yang kita bakal kita terima dan membuang jauh-jauh rasa sakit hati. Teman saya memang dikenal bertemperamen tinggi, apalagi bila ia diberi masukan. Setelah mengetahui kecenderungan ini, banyak sahabat karib yang akhirnya berhenti memberi masukan. Teman-teman yang mengkritik sebetulnya juga mengakui kehebatannya, mengagumi kerja keras dan usahanya yang pantang menyerah, angkat topi akan kemauan belajarnya yang tinggi. Mungkin karena merasa sudah berusaha sangat keras, maka kritik diterima teman kita ini sebagai sesuatu yang menyakitkan, sehingga ia tidak menjadikan kritik sebagai salah satu bentuk perbaikan dan ajang pembelajaran bagi dirinya.
Di satu sisi kita sadar bahwa umpan balik dan kritik penting untuk terus meningkatkan kinerja. Bukankah kita rela membayar mahal sekali dari perusahaan riset untuk mengetahui di mana posisi perusahaan kita dibanding dengan kompetitor, sudah baguskah ‘image’ perusahaan di mata pelanggan atau aspek apa saja dari produk atau layanan apa yang perlu diperbaiki. Bila hasil riset menunjukkan posisi kita di urutan buncit, akankah kita marah pada pihak yang melakukan riset? Di sini kita melihat kritik memang seperti pedang bermata dua: berguna, tapi sekaligus menyakitkan. Di dunia politik pun kita melihat sendiri tidak banyak orang yang bisa betul-betul memanfaatkan kritik sebagai bahan pembelajaran. Hal yang lebih menonjol adalah merespon kritik dengan penuh emosi, menyalahkan orang lain, membantah dan mempertanyakan niat pemberi kritik, bahkan malah menyerang balik pemberi kritik. Akankah kita terus menyuburkan sikap yang tidak tepat dalam mencerna kritik?
Kuping Tipis, bolehkah?
Teman saya, seorang CEO sebuah perusahaan besar, terkenal berkuping tipis. Semua masukan menjadi perhatiannya, baik yang tertuju bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kritik membuatnya sangat moody, uring-uringan dan bereaksi segera. Padahal sikap reaktif ini diakuinya sendiri melelahkan dan menjadikan dirinya tidak produktif. Kita bisa lihat bahwa kecenderungan untuk merasa tersinggung sering disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan situasi atau sikap yang dikritik dengan diri kita pribadi atau istilahnya:“take it personally”. Bila setiap kritik kita sikapi secara “personal” dan seakan menyerang inti kepribadian kita, maka bisa jadi kita akan dilihat sebagai orang yang kurang matang dan temperamental.
Dalam sebuah pelatihan servis, para frontliners muda mengeluh tidak tahan dengan sikap pelanggan yang sering melontarkan kata-kata kasar dan makian kepada jajaran frontliner bila mereka tidak puas dengan produk dan layanan yang diberikan oleh perusahaan. Bila para frontliners tidak berlatih untuk membangun “benteng” yang memisahkan diri pribadi dan peran sebagai pemberi servis profesional, kemudian berpikir jernih untuk melihat kejadian dengan objektif dan proporsional sudah pasti diri pribadi akan menjadi korban dari kritik yang menjadi makanan mereka sehari-hari. Agar tetap bisa mendapat manfaat dari kritik yang dilontarkan, kita lihat bahwa berkuping tipis sangat perlu, tetapi cara menangkapnya perlu kita pelajari dan latih, agar suasana tetap ‘clear’ dan kondusif.
Aksi, bukan Reaksi
Apa yang akan Anda lakukan bila kritik ternyata sangat memalukan dan tidak benar? Apa yang kita lakukan bila kritik sudah menyangkut hal yang paling pribadi dan melanggar privacy? Apakah kita bersabar saja dan bahkan memberikan “pipi kanan” kita? Bersabar memang butuh kekuatan mental, namun kita bisa mengingat pepatah cina kuno ini: “Bila anjing menggigit, apakah anda akan balas menggigit?” Binatang akan menyerang bila teritorinya diganggu. Tetapi kita, manusia, mempunyai inteligensi untuk menahan diri dan bersikap lebih taktis.
Tindakan ‘tidak pikir panjang’ atau bersikap defensif, biasanya akan membawa hasil yang tidak positif. Akan lebih baik bila kita tenangkan diri dan menganalisa siapa yang bicara. Apakah orang yang memberi kritik kredibel atau tidak? Sudahkah kita menerka apa maksud kritikannya? Apakah asal bunyi saja atau memang membuka mata kita akan sesuatu yang tidak kita sadari? Bukankah kita juga perlu milih musuh yang ‘tepat’ untuk dimusuhi? Terkadang kita perlu meyakini bahwa berdiam diri bisa jadi tindakan yang tepat. Reaksi defensif bisa tidak produktif karena menghabiskan tenaga tanpa hasil. Dengan banyaknya pertimbangan seperti ini, hal yang perlu kita lakukan ketika dikritik adalah menahan reaksi pertama kita. Bila kita mampu mendinginkan kepala dan kemudian menanggapi secara taktis, maka kita mendapatkan impresi positif dari orang lain. Sementara, kita pun akan ‘feel good’ karena berhasil mengontrol diri dan terhindar dari reaksi yang tidak pada tempatnya. Inilah tantangan kita bersama, mengubah ‘mindset’ untuk bersahabat dengan kritik, baik itu yang membangun atau menyakitkan dan berterimakasih serta bersikap terbuka.
(Dimuat di KOMPAS, 4 Juni 2011