Usaha untuk memperkuat koordinasi, menebalkan kohesi serta sinergi terus menerus kita dengar dan bicarakan. Berbagai program pelatihan, camp dan outbound dilakukan agar individu lebih bersatu dan saling memahami satu sama lain. Namun, tetap banyak yang mengeluhkan betapa sinergi tetap saja seolah tertahan dan tidak terjadi. Tidak jarang terjadi, dalam sesi-sesi ‘brainstorming’ yang dilakukan orang-orang pintar, ide-ide yang muncul seringkali terasa tertahan dan bahkan ‘basi’. Kinerja kolektif yang di atas kertas semestinya lebih baik dari rata-rata kehebatan masing-masing individu, malahan berkinerja di bawah rata-rata. Sebaliknya, ada kelompok yang anggotanya biasa-biasa saja, namun ketika membentuk tim malah bisa menghasilkan prestasi luar biasa yang bahkan membuat “surprise” anggotanya sendiri. Apa rahasianya sehingga sebuah tim, apalagi tim yang terdiri dari para bintang, bisa menunjukkan kinerja kinclong dan smart? Bagaimana menumbuhkan kekuatan “collective intelligence” yang disebut-sebut bisa melipatgandakan prestasi dan menjadi faktor kunci dari keberhasilan suatu tim dan organisasi?
Kolaborasi dan Peduli
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa kinerja sebuah kelompok dalam membuat tugas semacam puzzle, brainstorming, dan negosiasi, lebih baik daripada hasil kerja masing-masing individunya. Ketika diteliti lebih jauh, ternyata “kekuatan” yang dihasilkan oleh kelompok, tidak banyak kaitannya dengan kohesi, kedekatan interpersonal, motivasi maupun kepuasan individu, namun lebih dipengaruhi faktor “care” atau kepedulian. Setiap individu peduli tidak hanya pada keberhasilan tugas dan peran pribadinya, namun ingin rekannya juga berhasil. Bila kegiatan team-building dan outbound yang dilakukan baru semata mempererat kohesi, merekatkan hubungan interpersonal kelompok, namun belum menyentuh suasana hati dan “ego” dari masing-masing individu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa kegiatan itu akan betul-betul bisa membawa dampak positif sekembalinya mereka ke tempat kerja.
Orang-orang yang cerdas dan berprestasi kita lihat mempunyai kemauan yang keras. Selain itu, individunya juga sangat percaya pada prinsip dan pendapatnya sendiri. Ini adalah kekuatan, namun sekaligus berpotensi menjadi sumber perpecahan dalam kelompok. Hanya bila individu menyadari kekuatan dan peran dirinya, sambil melihat kekuatan dan peran orang lain, kemudian terbuka mata dan pikirannya untuk berkolaborasi mencapai tujuan bersama, barulah bisa timbul percikan sinergi. Kuncinya adalah kesadaran bahwa “no team member can be successful without ensuring the success of everyone else”. Jadi tugas kita adalah membuat orang lain bisa melakukan perannya dengan baik dan membuat orang lain terlihat baik, bukan malah menjatuhkannya. Ini tentu keyakinan yang perlu dibangun dengan fokus pada tujuan bersama dan keberhasilan bersama.
Terobos Dinding ‘Ego’
Dalam suatu perusahaan, individu-individu yang berkinerja bagus dipromosikan menjadi direksi. Di luar dugaan, tim yang tadinya solid ini malahan tiba-tiba tidak menghasilkan kinerja yang cemerlang lagi. Walaupun tidak berkonflik terbuka, terasa hubungan menjadi dingin dan setiap individu terkesan tetap bersikeras dengan gaya dan keahlian masing-masing. Suasana terasa hambar, bahkan enggan berkomunikasi satu sama lain. Ketika tim menemui jalan buntu dan akhirnya masing-masing berkesempatan membuka hati, barulah hubungan mencair dan komunikasi menjadi lebih tulus untuk bersatu dan menolong satu sama lain. Ternyata, individu yang berprestasi pun perlu juga digelitik kepekaan sosialnya, sehingga kembali bisa melihat lebih obyektif dan lebih mampu mendengar lebih aktif.
Teman saya berkomentar, “Orang-orang pintar, biasanya egonya juga sama-sama kuat.” Benarkah ini? Kita memang kerap melihat bahwa kerasnya ego individu bahkan mewarnai berbagai konflik skala “nasional” yang disorot media, entah itu kisruh PSSI, perseteruan anggota dewan yang terhormat atau juga di jajaran kabinet. Bisa jadi, karena “ego” pribadi masih mendominasi, collective intelligence jadi sulit terwujud. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa individu yang inteligen belum tentu bisa membangun inteligensi kolektif. Individu yang mampu menumbuhkan inteligensi kolektif biasanya menjaga kepekaannya, banyak memperhatikan kebutuhan orang lain, berusaha tidak mendominasi pembicaraan walaupun sebenarnya ahli dalam topik pembicaraannya, sambil benar-benar mendekatkan’hati’nya dengan tim.
Dengan individu-individu yang berprestasi, dialog satu sama lain sangat penting, baik itu formal dan informal. Perlu ada keterbukaan yang ‘genuine”. Kita bisa membicarakan tugas atau proyek tertentu, tetapi spirit untuk menjaga kebersamaan perlu berakar di dasar kepribadian individu. Kita tidak bisa lagi memandang aspek emosional sebagai aspek penghambat prestasi. Justru pada orang yang sudah berprestasi, aspek emosilah yang mempengaruhi mental dan spiritnya. Itulah sebabnya pemimpin dari kelompok berprestasi ini selalu menggunakan pendekatan kembar, yaitu tugas dan hubungan interpersonal. Hanya melalui pendekatan yang ‘dalam’ inilah ‘trust’ bisa dikembangkan, berdampingan dengan ‘good-will’ organisasi.
(Dimuat di KOMPAS, 21 Mei 2011)