Kita bisa menilai sendiri seberapa sering kita menyalahkan orang yang sedang tidak hadir di suatu pertemuan bila ada kejadian yang tidak menyenangkan. Bukankah banyak atasan yang hanya melihat sisi ‘salah’ dari anak buah dan hanya berkomunikasi dengan anak buah jika ada yang tidak beres. Di sisi lain, tak jarang atasan menganggap bahwa prestasi bagus anak buah adalah keadaan yang wajar dan sudah semestinya, sehingga tidak perlu dipuji. Bayangkan suasana kerja bila seorang atasan cenderung mengkomplain kesalahan anak buah sementara lupa memberi komentar ketika seseorang bisa berpikir kreatif pada saat orang lain sudah menghadapi jalan buntu? Pernahkah kita benar-benar memikirkan bahayanya bila sebuah tim atau suatu lingkungan sosial, partai, perusahaan atau bahkan negara, mempunyai pola pikir pesimis negatif dan tidak segar? Bisakah individu berkinerja optimal bila sering merasa tidak berdaya, tertekan dan terus menerus memikirkan kekurangan dan kelemahan yang ada? Bagai ana perasaan orang atau lembaga lain yang harus berhubungan dengan komunitas seperti ini?
Kita sendiri sebetulnya bisa merasakan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan dan saling menghargai akan memberi kekuatan, peningkatan produktivitas, laba dan juga kepuasaan karyawan dan pelanggan. Di sebuah kantor, bertegur sapa seakan sudah menjadi aturan tidak tertulis yang dilakukan oleh semua orang di semua level jabatan. Ada juga tempat kerja di mana setiap orang otomatis mengucapkan terimakasih pada kolega yang memberi bantuan, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun. Sikap peduli teman kerja ini tanpa disadari memiliki “harga” tertentu yang tidak bisa dinilai dengan uang, tetapi justru nyata-nyata meningkatkan bisnis perusahaan. Bila sikap dan tindakan ini dilakukan oleh seseorang secara konsisten, bahkan saat atasan atau pimpinannya tidak ada, maka hal ini bisa katakan menjadi “budaya” di lingkungan tersebut. Saat pimpinan dan atasan sadar akan kekuatan yang ada di balik sikap dan kebiasaan manusia, secara serius menumbuhkan kebiasaan positif dan apresiatif, maka peningkatan produktivitas kerja tentu bukan hal mustahil dicapai.
Bergulir Tanpa Paksaan
Dalam suatu pelatihan beberapa peserta semula tidak percaya bahwa segala sikap dan perilaku dapat ditumbuhkan dengan apresiasi. Tidak perlu kritik berlebihan atau bicara negatif. Seorang direktur perusahaan yang legendaris dan terkenal mampu membentuk budaya positif di perusahaannya, mengatakan:”Kita hanya perlu jeli menunggu orang berbuat sesuatu yang bisa dipuji. Orang lain yang hadir otomatis akan mencari perilaku apa yang patut dan bisa diterima oleh atasannya dan berusaha melakukannya”. Perilaku positif pun kemudian akan bergulir dengan sendirinya. Kita lihat bahwa pimpinan dan atasan memang berperan penting dalam memberi contoh dan menyuburkan budaya positif yang diinginkan. Itu sebabnya atasan perlu sadar kebiasaan apa yang ingin ditumbuhkan. Saat tingkah laku, sikap dan suasana kerja terjadi secara otomatis tanpa paksaan atau aturan, kita akan bisa melihat budaya organisasi itu sudah merupakan aset lingkungan sosial tersebut.
Di Southwest Airlines, satu-satunya airline yang bertahan pada waktu krisis, manajemen memang secara sengaja mengembangkan kebiasaan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang apresiatif. Mereka tidak secara berlebihan menganalisa kekurangan, kelemahan dan kondisi krisis yang menekan, namun dalam meeting-meeting di perusahaan, mereka berfokus pada pertanyaan: “what works, what matters, what adds value, what makes a difference?” Dengan pendekatan ini, perusahaan memperoleh tambahan energi yang luar biasa. Karyawan menjadi lebih mudah mengkombinasikan berbagai kekuatan yang dimiliki. Karyawan pun bisa lebih mudah merealisasikan sikap yang berfokus pada pelanggan, setia kawan dalam membantu rekan, bahkan juga kreativitas untuk menemukan proses bisnis yang lebih efisien.
Memilih untuk Menghidupkan Semangat
Bayangkan bila seorang atasan membuat pernyataan ini:”Pekerjaan kita membuat kita berkesempatan untuk memperluas wawasan dan belajar dari yang mengalami kesuksesan”. Bandingkan dengan pimpinan yang berulang kali mengatakan hal ini:”Persaingan sudah demikian ketat, namun kita masih bisa bertahan”. Pernyataan pertama merangsang naluri kehidupan, sementara pernyataan selanjutnya lebih dekat pada kegagalan dan mematikan semangat. Kita bisa melihat bahwa cara bicara kita sangat menentukan arah spirit orang di sekitar kita. Tidak pelak lagi, kita memang perlu mengembangkan budaya apresiatif di lingkungan kita. Kita bisa mulai dengan pikirkan perilaku atau situasi apa yang pantas mendapat pujian dan apresiasi? Kita pun perlu bisa menggambarkan ‘poin’ terpenting dari sikap atau perilaku tersebut dan bagaimana perilaku tersebut menguntungkan perusahaan. Hal-hal inilah yang kita kemas sehingga bisa ber-’impact’ dan berpengaruh di rapat atau di pertemuan lain dan memungkinkan semua orang membayangkan kesuksesan. Kata-kata positif, seperti bangga dan ‘happy’ perlu diikutsertakan untuk membangkitkan energi. Bila hal ini dilakukan dengan jitu dalam dialog-dialog yang kontinu dan dianggap sebagai suatu entitas yang hidup. Budaya akan bersinergi dengan inovasi dan tumbuhnya bisnis. Pasti
(Dimuat di KOMPAS, 14 Mei 2011)