“The Long Hours Culture” di banyak perusahaan sukses sudah menjadi tren. Bahkan hal ini dijadikan ukuran berkinerja tidaknya seorang individu. Seorang teman mengatakan mengatakan dengan bangga :”Kita harus siap dipanggil kembali ke kantor walaupun sudah di rumah”. Banyak alasan yang melatarbelakangi kehidupan yang ‘hectic’ ini, misalnya saja atasan yang tidak memperhatikan, tuntutan pekerjaan terlalu banyak ataupun kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Apapun alasannya, ritual semacam ini telah membuat relaksasi tidak sempurna. Ketika kesempatannya ada, bisa-bisa individu lebih banyak ditemani oleh rasa bersalah dan stress. Rasa bersalah karena pekerjaan menumpuk dan tidak selesai, dicampur dengan rasa bersalah karena merasa tidak mampu mengelola kehidupan pribadi. Kita tentu bertanya-tanya, apakah memang efektif dan produktifkah bekerja penuh 12 jam sehari atau bahkan lebih? Kita tahu bahwa keuntungan bekerja fleksibel dengan segala macam dukungan teknologi adalah meningkatnya produktivitas. Namun, bukankah happiness karena bisa dengan efektif mengelola tanggung jawab kerja dan kehidupan pribadi juga menentukan produktivitas diri kita? Pertanyaannya: bagaimana kita berstrategi dan “menjaga” diri kita agar bisa membagi “timing’ di mana kita perlu ‘hadir’ secara fisik atau tidak? Kita juga perlu memasukkan agenda kehidupan pribadi disela-sela agenda pekerjaan yang memang sudah membuntuti kita secara fisik maupun psikologis. Ini memang tantangan baru dunia kerja masa kini yang tidak dihadapi sepuluh tahun lalu. Pandangan mengenai kerja keras rasanya perlu ditinjau kembali, baik oleh perusahaan maupun individunya sendiri.
Manusia bukan Mesin
Kita yang “knowledge worker” ini terkadang lupa dan menyamakan diri kita dengan komputer. Bukankah kita kerap merasa semakin “high speed”, semakin panjang jam kerja dan kemampuan mengerjakan beberapa tugas sekaligus membuat kita merasa semakin baik. Hal yang perlu kita ingat adalah manusia hidup menurut ritme tertentu. Jantung berdegup, otot berkontraksi dan berelaksasi. Tentunya kita bisa berfungsi optimal bila kita memanfaatkan enerji dengan optimal dan sempat menyegarkannya. Itulah sebabnya kebanyakan individu berpikiran ‘terang’ pada pagi hari atau setelah sempat ‘tidur’ sejenak. Bayangkan apa yang terjadi bila seorang atlit melakukan ‘sprint’ terus menerus tanpa restorasi enerji. Otak manusia pun mempunyai persamaan dengan kinerja tubuh si atlit itu. Artinya, bila si individu tidak mengatur enerjinya, bekerja terus tanpa henti sepanjang hari, ia pasti akan berproduksi lebih sedikit daripada orang dengan talenta yang sama yang mampu mengatur enerjinya.
Untuk berkinerja optimal kita tidak boleh mengabaikan bahwa kita perlu mengatur ritual kehidupan kita agar disela-sela kehidupan sehari-hari, kita bisa menyegarkan sumber energi kita. Secara fisik kita perlu kebugaran, tidur cukup, gizi dan waktu istirahat. Secara emosional kita pun perlu menghidupkan emosi positif dengan cara berkomunikasi positif dengan orang di sekitar kita. Secara mental kita perlu memperhatikan kekuatan fokus dan menyeimbangkan kerja otak hemisphere kiri dan kanan, sehingga kreativitas terjaga. Sementara secara spiritual kita tetap perlu menjaga pemahaman makna, sasaran dan tujuan pekerjaan kita. Tantangannya adalah banyak individu yang berpendapat bahwa pengaturan tugas bukan ditentukan oleh individu sendiri tetapi oleh atasan. Kita rasanya perlu berpikir ulang, benarkah bahwa sebagai bawahan kita tidak bisa menentukan ‘deadline’ dan ritme kerja kita? Apakah sepenuhnya enerji dan pembagian tugas betul-betul diatur oleh pihak luar dan tidak bisa dilakukan secara mandiri? Perasaan tidak memiliki kontrol atas diri dan waktu kitalah sebetulnya yang kerap menjadi sumber stress dan rasa bersalah. Dalam kehidupan yang kompetitif dan menantang ini, individu juga perlu berkeyakinan bahwa ia adalah pengelola enerji dirinya sendiri. Mindset yang tepat akan memberi enerji bagi kita untuk menyusun prioritas, mengelola mesin pribadi dan mengambil tanggung jawab penuh atas produktivitas diri kita.
Kenali Diri, Kelola Situasi Kerja
Ahli manajemen kawakan Peter Drucker: “the toughest job for knowledge workers is defining the work.” Seabad yang lalu, orang belum mengenal bisnis jasa. Pada waktu itu, bekerja berarti ‘membuat’, memindahkan’ dan ‘merakit’ barang. Lebih lama anda bekerja, lebih banyak barang yang diproduksi. Saat itu seorang pekerja tidak membutuhkan analisa, kreativitas dan pengambilan keputusan. Sungguh sangat berbeda dengan kondisi kerja sekarang, bukan? Kreativitas yang kita asah terus menerus bisa membuat kita bekerja dalam waktu yang lebih singkat dengan produktivitas yang lebih tinggi. Bila kita memahami ritme tubuh dan tahu kapan enerji kita di posisi puncak, “mesin” tubuh kita lebih bisa berdaya guna optimal. Dengan menuliskan semua komitmen, tugas dan sasaran sambil menyesuaikan dengan kekuatan enerji kita, mestinya kita bisa menyikapi tugas yang banyak tanpa perlu merasa tersiksa dan terbebani pekerjaan. Justeru pekerjaan bisa dilakukan dengan ‘fun’ seperti ‘game’ karena kita tidak bereaksi secara primitif terhadap situasinya.
Riset menunjukkan banyak orang memiliki gadget canggih namun sebetulnya hanya sedikit sekali kecanggihannya dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan. Pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu kerja, misalnya mencatat agenda, menentukan prioritas, menggunakan reminder otomatis, membuat rumus-rumus dan template standar bukan hanya bisa memangkas waktu kerja menjadi separuhnya, namun juga sekaligus bisa melipatgandakan kualitas dan kuantitas hasil kerja kita. Kerja 24/7 mungkin tidak bisa kita hindari, namun tetap saja manusianyalah yang menjadi sutradara dan bukan korban dari teknologi. Kitalah yang perlu mengelola“the strategic value of clear space” di dalam otak dan diri kita.
(Dimuat di KOMPAS, 7 Mei 2011)