Media kita yang sedemikian bebas telah menggiring mata kita ke pelaku perbuatan terlarang, mengekspos kesalahannya selama berminggu-minggu dengan segala bumbu dan cerita sampingan. Banyak orang yang kemudian juga mengirimkan lelucon terkait situasi yang berkembang. Hal ini tentu membuat pejabat humas lembaga dan perusahaan tersebut bekerja keras mengemas berita agar dampak kerugian bisnis bisa diredam dan reputasi lembaga tetap terjaga. Ada institusi yang tidak ragu memampang kesalahan dan pelaku di media internal perusahaan, seolah-olah mengatakan:”Ini penjahatnya. Jangan coba-coba meniru perbuatannya”. Di salah satu perusahaan yang tengah mendapat sorotan, karyawannya malah beramai-ramai memasang logo perusahaan di identitas media elektronik dan jejaring sosial yang dimilikinya. Banyak teman dan saudara yanng mempertanyakan kepada para karyawan, ”Bukankah perusahaanmu sedang terpuruk? Kok malah branding?” Jawabannya: ”Ya, kami prihatin dengan penyimpangan yang membuat orang memberi cap negatif. Namun, kami bangga dan meyakini values perusahaan yang dari dulu sampai sekarang kita junjung tinggi”.
Sebagai pengamat atau penonton, kita memang bisa dengan mudah mencemooh dan mencibir. Namun yang jelas, perasaan tidak nyaman bergumul di hati karyawan bahkan keluarganya. Ada yang kesal pada oknum yang merusak nama baik perusahaan, ada yang bersyukur dan bertekad agar diri sendiri tidak terkena godaan dan ada juga yang merasa terusik hatinya karena teman yang berbuat salah tersebut di-’pajang’ di depan umum. Kita memang tercengang dengan begitu besarnya uang yang dikorupsi dan geleng-geleng kepala mempertanyakan mengapa orang bisa begitu serakahnya. Namun, bukankah masih ada karyawan lain yang bekerja tidak sekedar demi uang namun untuk hal-hal lain yang lebih berharga yang dibelanya? Pertanyaannya, siapa yang menjaga perasaan karyawan “existing” agar ingin tetap bekerja dengan baik, berkarya dan loyal pada perusahaan? Bukankah secara persentase lebih banyak hati yang perlu dijaga dan dikembangkan? Dave Ulrich, pakar manajemen SDM:” leaders have to start thinking longer term about their businesses and the value proposition they offer to employees.” Pimpinan di perusahaan perlu sadar bahwa karyawan tidak hanya ingin membawa pulang gaji, tapi juga ingin merasa bangga pada tempat kerjanya.
“Sense of Purpose”
Dalam menghitung atau menawarkan remunerasi, hal yang pertama diungkapkan dan selalu akan menjadi daya tarik adalah gaji. Kita bisa bertengkar dan merasa iri serta berjuang untuk kenaikan atau keselarasan gaji kita. Demikian pula aneka tunjangan yang ditawarkan. Di sisi lain, kita bisa melihat banyak orang bertahan dengan gaji yang lebih rendah di sebuah lembaga atau perusahaan, namun tetap termotivasi dan berjuang untuk kinerja yang selalu tumbuh dan berkembang. Bukankah ini mengindikasikan bahwa uang bukan satu-satunya “mata uang” yang tersedia? Karyawan, terutama generasi sekarang sudah tidak lagi senang diam dan menurut pada instruksi atasan. Mereka dibesarkan untuk bersikap kritis dan ingin mengetahui dan mendapatkan “sense of purpose” dari bekerjanya. Banyak anak muda berbondong-bondong mengikuti gerakan yang bertujuan untuk memberi pendidikan dan mengajar ke berbagai wilayah pedalaman Indonesia. Hal yang dicari tentu bukan uang, tapi mereka bangga dengan impact yang bisa mereka berikan pada masyarakat. Itu sebabnya karyawan pun harus tahu bagaimana perusahaan mengembangkan bisnisnya. Dia ingin bekerja sungguh sungguh karenanya alasan bersungguh sungguhnya harus jelas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa karyawan bisa ‘malu’ bila bekerja di perusahaan yang tidak memberi nilai tambah pada “stakeholder”-nya. Ini tidak hanya berarti perusahaan menguntungkan pemegang saham dan pemilik perusahaan, namun apakah perusahaan juga menunjukkan kepedulian dan membahagiakan pelanggan, karyawan dan masyarakat. Iming-iming gaji memang menggiurkan, namun tanpa emotional benefit yang nyata, karyawan tentu tidak akan rela capek-capek menempuh jalan macet berpuluh kilometer untuk menyumbangkan produktivitasnya. Identitas perusahaan juga penting karena karyawan ingin bangga terhadap apa yang ia kerjakan, apa yang ia bela dan nikmati.
“Return On Values”
Seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa pada akhirnya kita harus menyadari bahwa manusia adalah mahluk sosial. Individu akan lebih produktif, lebih merasa ‘berisi’, bila mereka merasa menjadi anggota dari sesuatu yang lebih direspek dan dihormatinya. Nilai upah berbentuk uang yang di dekade lalu menjadi daya tarik penting, di masa sekarang semakin akan turun peringkat dibanding dengan kepuasan suasana kerja. Karyawan akan merespek perusahaan yang menjunjung tinggi kreativitas, suasana kompetitif dan kerja kelompok dalam intensitas tinggi. Karyawan ingin bekerja di tempat yang seru, peduli dan membuat mereka ‘’’happy’ dan “excited”. Bila hal ini tersedia dan dikembangkan, karyawan tentu lebih siap menuangkan dan mengembangkan kompetensi mereka tanpa batas dan tidak perlu dipaksa-paksa untuk berkomitmen. Perusahaan pun perlu mempertimbangkan untuk menghitung ROV, “Return on Values”, yang pada akhirnya sangat berkorelasi dengan pertumbuhan laba perusahaan.
(Dimuat di KOMPAS, 9 April 2011)