Tidak hanya tempat kerja yang menjadi semakin kabur, bergaul pun sudah semakin tidak berbatas. Beberapa perusahaan membatasi akses ke internet dan berbagai situs jejaring sosial bagi karyawan. Namun, tentu saja perusahaan tidak bisa memonitor karyawan yang mengakses jejaring sosial lewat gadget canggih di tangan mereka. Terkadang, lewat jejaring sosial ini servis, produk dan bisnis perusahaan malah dipromosikan. Bila perusahaan sendiri sudah meyakini “on line recruitment’ tidak saja melalui situs-situs spesifik untuk rekrutmen, tapi juga situs gaul seperti Facebook, LinkedIn, YouTube, Twitter bahkan Second Life, masih mungkinkah kita melarang pegawai melakukan social networking? Apa yang akan dilakukan oleh departemen Human Capital dengan deskripsi jabatan, yang setiap saat berkembang, berubah, bahkan hilang? Mengingat perusahaan sudah bervisi regional bahkan global, bagaimana perusahaan melakukan pelatihan pada pegawai yang tidak bisa ditarik dari tugasnya, berada di lokasi terpencil atau bahkan juga di negara lain? Bagaimana perusahaan mengakomodir kebutuhan para profesional dengan perubahan dunia kerja yang serba cepat? Bagaimana kita menambat hati para ‘knowledge workers’ ber-‘backpack’ yang saat ini bekerja di tempat-tempat publik, seperti café dan mall-mall?
“Work-Life Flexibility”
Bila di waktu lalu kita sering diusik oleh kesenjangan pengetahuan dan juga kematangan pengalaman antar generasi, maka sepuluh tahun dari sekarang, kita akan melihat bahwa generasi senior yang masih kuat dan awet muda akan berhubungan dengan generasi berusia di bawah 30 tahun yang siap bekerja dan sudah mengglobal melalui perjalanan-perjalanan virtualnya. Tidak waktunya lagi kita mempermasalahkan salah persepsi atau salah komunikasi antar generasi, karena pengetahuan begitu mudah untuk diakses dan ketrampilan untuk meraihnya terbuka bagi semua orang. Reputasi tidak lagi mengandalkan jam terbang, tetapi lebih kepada “apa karyamu” dan “apa yang sudah kau buktikan di masyarakat”
Kalau di jaman sekarang kita sudah tidak bisa bangga dengan keadaan gaptek (gagap teknologi), di masa depan perusahaan semakin perlu mengupayakan “über connectedness”. Tidak ada tempat untuk sikap kaku dan ‘over focus”. Perusahaan sudah harus mampu mengupayakan media sosialisasi di mana bekerja, bermain, belajar dan berkomunikasi terjadi dalam saat yang bersamaan. Multitasking sudah menjadi keharusan, bahkan pengelolaan rumah tangga perlu bisa dilakukan sekaligus dengan pengelolaan tugas kantor. Agar lebih didengar dan dimengerti jalan pikirannya, tidak ada salahnya seorang pimpinan mengelola “blog”-nya sendiri, di mana kepemimpinannya bahkan bisa terevaluasi dan terkritik setiap saat.
Bila kita sekarang sedang menyibukkan diri untuk mencapai “work-life balance” maka di masa mendatang “work-life flexibility” justru menjadi jawaban terhadap kebutuhan keluarga, belajar dan berkarya para pekerja. Jadi, selain menerima transaksi bahwa sebagai karyawan kita perlu mendatangkan laba bagi perusahaan, karyawan juga akan ‘happy’ bisa ia berkesempatan untuk melakukan hal-hal yang filantropik serta diberi kesempatan bersosialisasi seluas-luasnya.
Memuaskan Berbagai Kebutuhan
Seorang karyawan di perusahaan yang sudah menerapkan gaya kerja fleksibel, pulang dari kantor pukul 15 sore. Ia memasak dan mengurus rumah tangga, kemudian memulai pekerjaan kembali pada pukul 9 malam setelah anak-anak tidur dan mencuci piring. Karyawan ini mempunyai tingkat kepedulian yang setara antara hidup sehat, makanan sehat dan bekerja. Tantangan untuk menunjukkan produktivitas masih bisa dicapai sambil tetap memperhatikan lingkungan sosial, keluarga dan kehidupan pribadi. Kita sudah dan akan semakin memasuki era ROWE (Results Oriented Work Environment), di mana setiap karyawan, tua atau muda perlu menawarkan “Rx” ( result/ hasil) nya secara kongkrit dan terukur . Generasi termuda yang sudah sangat memperhatikan tanggung jawab sosial, tanggung jawab berkeluarga, dan lingkungan perlu menukarnya dengan produktivitas yang menarik perusahaan pula. Para pria juga merasa wajib memikirkan kegiatan domestik di rumah tangga, dan merasa berhak mendapat ijin tinggal di rumah kalau anak sakit. Sebaliknya jaminan kesuksesan, pertumbuhan bisnis , ketepatan waktu produktivitas juga harus disediakannya.
Kalau kita sampai saat ini bisa mengkaitkan sikap disiplin kita dengan hal-hal yang sangat rutin seperti absensi dan lembur maka nantinya disiplin justru perlu diarahkan pada hal-hal seperti ‘discovery’, inovasi, pembentukan kelompok, memimpin, menjual dan belajar. Hal-hal yang rutin perlu kita otomasi sehingga tidak membutuhkan pengawasan dan membuang energi manusia. Contohnya, kita bisa mengganti sesi sosialisasi dengan membangun situs sebagai ajang komunikasi. Bila proses penjualan memang tidak bisa digantikan oleh mesin apapun, maka kita bangun kapasitas manusia yang melakukan proses penjualan. Bila pemecahan masalah sering memakan waktu yang cukup lama terutama dengan adanya birokrasi, maka ‘adhocracy” yaitu kebiasaan membentuk tim sementara untuk proyek tertentu perlu dijadikan tren. Inilah mentalitas yang perlu kita bangun dan jalan yang perlu kita rintis menuju kerja masa depan.
(Dimuat di KOMPAS, 26 Maret 2011)