Kesadaran akan pentingnya servis saat sekarang memang tidak lagi diperdebatkan. Maju tidaknya bisnis sangat bergantung dari bagaimana sentimen pelanggan pada perusahaan kita. Pelanggan menentukan bagaimana gaya hidup yang mereka pilih dan apa yang membuat mereka ‘happy’. Sebagus-bagusnya produk, perasaan pelanggan masih sangat-sangat menentukan keputusan mereka dalam memilih dan menggunakan produk. Dengan kemajuan teknologi dan informasi, pelanggan semakin pintar, tuntutannya pun semakin banyak. Itu sebabnya kita tidak bisa menggampangkan servis. Jika servis tidak dijadikan sebagai nilai penting dalam perusahaan, ketidakpuasan pelanggan dan karyawan otomatis menurunkan moral kerja, menciptakan inefisiensi, sehingga bisnis akan kehilangan gairah dan tidak mampu bersaing lagi.
Dalam skala negara, kita bisa melihat bagaimana Singapura sukses berjualan servis. Industri penerbangan, pariwisata, pendidikan, kesehatan sangat maju dan berkembang pesat karena orientasi untuk memberi pelayanan terbaik. Kita semestinya sadar bahwa kemajuan dan keberhasilan lembaga, parpol, pemimpin, bahkan negara pun ditentukan dari seberapa besar kepuasan individu dan masyarakat terhadap pelayanan yang diterima. Meskipun bangsa kita disebut-sebut ramah-tamah dan suka menolong, tapi kenyataannya kita memang harus banyak belajar dari negara-tetangga. Sebagai individu, lembaga, perusahaan dan bangsa, kita perlu serius memikirkan: nilai tambah apa yang bisa kita hasilkan? Apakah kita masih mau mempertahankan muka-muka asam? Bagaimana kita berupaya keluar dari kebiasaan menjual sumber daya alam saja dan mulai berpikir kreatif serta memperkuat kepemimpinan untuk menjadikan servis sebagai keunggulan bersaing?
Investasi Biaya Rendah
Banyak perusahaan, salah satunya adalah Disney, yang sangat percaya bahwa hanya dengan ‘service excellence’ perusahaan bisa bertahan. Tukang sampah di Disneyland, secara antusias menyambut anak yang akan membuang sampah dengan senyum dan muka gembira, sehingga anak mendapatkan ‘reward’ yang jauh lebih dalam daripada sekedar pujian mengenai perilakunya. Bukankah pengalaman berkesan ini yang senantiasa membuat pelanggan rindu datang kembali? Disney konsisten mempercayai servis, sehingga sejak rekrutmen, mereka hanya memilih wajah-wajah yang “enak dilihat”, murah senyum dan mempunyai ‘passion’ pada servis. Individu dipromosikan karena servis. atau sebaliknya, diberhentikan karena servis yang buruk.
Tony Hsieh, CEO Zappos, perusahaan sepatu on-line yang sukses, memulai bisnisnya dengan sebuah problem. Ia sulit menemukan sepatu dengan model, warna, ukuran dan lebar yang sesuai, baik secara on-line maupun off line. Ia kemudian berangan-angan mendirikan perusahaan pilihan pelanggan dengan servis terbaik. Melalui motto "With Zappos, the shoe store comes to you," setiap pelanggan bisa bebas mengungkapkan apa yang ia inginkan pada petugas ‘customer service’ sampai bisa menemukan sepatu yang paling tepat. Semua frontliners terkesan mempunyai waktu cukup untuk melayani setiap pelanggan, supplier ataupun vendor. Bila dikalkulasi, semua upaya ini tidak mengeluarkan biaya tinggi, asal seluruh jajaran manajemen mempunyai sikap dan menjiwai keinginan untuk melayani.
Tampil beda dengan servis beda
Inovasi tidak selalu menemukan mesin atau alat canggih. Kita tahu pelanggan rela membayar lebih mahal untuk kue dengan kemasan istimewa daripada yang dijual “begitu saja”. Begitu kita melakukan sesuatu secara beda dan terasa beda oleh pelanggan serta membuatnya ‘happy’ maka pelanggan akan kembali. Kita benar-benar bisa tertegun, bila menghitung perbedaan uang masuk dari perusahaan yang secara konsisten menerapkan penanaman jiwa servis dibandingkan dengan perusahaan yang masa bodoh terhadap servis.
Kreativitas untuk menghadirkan servis yang berbeda memang perlu senantiasa ditumbuhkan dalam diskusi, meeting dan brainstorming di tempat kerja kita. Kita bisa menciptakan ide-ide pintar untuk menyambut kebutuhan pelanggan dengan resep-resep yang simpel, sikap frontliners yang ‘helpful’ serta manajemen yang ringkas, reliable dan responsif. Kita bisa membuat toko, lobby, bandara kita lebih harum daripada tempat lain. Kita bisa mengupayakan toilet-toilet yang super bersih. Kita bisa menyediakan sistem penanganan keluhan yang gesit dan peduli. Kita pun bisa menyediakan orang orang yang lebih ‘helpful’, mengerti pelanggan, mengerti duduk perkara dan lebih sigap daripada tempat lain.
Kita memang dituntut untuk berpikir jauh ke depan. Bila sumberdaya dan properti kita habis terjual, bagaimana kita menghadapi binis di masa depan? Bila pesaing kita sesama profesi bertambah banyak, bagaimana kita memberi nilai tambah? Secanggih-canggihnya teknologi, ‘judgement’ manusia pasti berlandaskan hubungan interpersonal. Kooperasi, apresiasi dan komunikasi adalah hal yang mutlak perlu kita kuasai dengan cermat. Satu-satunya jalan adalah meng-update dan mempercanggih kekuatan servis, menciptakan nilai tambah dari kelebihan itu dan menjadikannya bisnis. Dengan bertambah pintarnya pelanggan dan teknologi, kita tetap perlu mengemas semua kecanggihan ini dengan fleksibilitas dan penciptaan ‘peace of mind’ pelanggan secara manusiawi.
(Dimuat di KOMPAS, 15 Januari 2011)