Dengan begitu kerasnya kompetisi, kita sadar bahwa organisasi tidak mungkin mempraktikkan pengambilan keputusan secara ‘top-down’ saja. Organisasi yang sehat mendorong keputusan juga diambil di kalangan manajemen tengah bahkan lapisan bawah. Dengan keyakinan ini, bagaimana kita survive memunculkan ide di perusahaan yang sudah mantap tapi alot untuk berubah?
Jangan Diam Saja
Posisi junior tidak pernah enak. Tak sedikit atasan yang mengeluhkan gejala di mana para ‘fresh graduate’ tidak mempunyai insiatif, banyak menunggu. Sebaliknya, banyak juga komentar negatif atasan terhadap pengajuan ide-ide para junior. Ada yang mengatakan bahwa apa yang dikemukakan anak muda terlalu banyak teori, belum terbukti dan teruji, tidak ‘ngambah tanah” atau bahkan ‘sok tahu’. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa ada kesenjangan antara apa yang dilihat oleh orang yang baru masuk, dengan orang yang sudah lama berada di dalam memang ada. Kesenjangan juga pastinya terasa antara individu yang masih fresh dengan ilmu yang baru dipelajari vs orang yang banyak berpraktek dan sudah makan asam garam. Siapa yang lebih berkuasa? Biasanya yang senior. Tampak bahwa baik yang senior maupun junior harus sama-sama sabar untuk mendengarkan, menyikapi perbedaan dan kesenjangan.
Gejala ‘merasa benar sendiri’ inilah yang sering menghambat kita dalam menjual ide. Terkadang kita juga melupakan kenyataan bahwa si pendengar presentasi mempunyai cara dan referensinya sendiri dalam menginterpretasikannya. Tidak semua orang siap menerima bahwa adanya “misunderstanding” ketika ide pertama kali diungkapkan adalah hal yang wajar. Beberapa orang yang saya temui survive menembus jaringan para senior selalu menyatakan kiat bahwa kita perlu siap dengan fakta, kita perlu banyak bertanya dan kita mengemukakan kasus, sehingga ide kita bisa dengan lebih mudah diserap oleh orang lain. Jadi, sebagai penjual ide, kita memang perlu aktif, tidak pernah pasif.
Tembus Pikiran Penerima Ide
Champions turn "no" into "yes." Demikian ungkapan lama. Hal yang perlu kita ingat adalah bukan sekedar dicerna dan diterimanya ide kita, tetapi juga pemahaman mengenai proses berpikir si penerima ide. Bagaimana mungkin kita bisa memberi ‘brutal facts’ atau mengusulkan program ‘free of charge’ untuk kepentingan marketing, mengusulkan promosi produk yang selama ini tidak pernah bisa terpasarkan dengan baik, atau bahkan memotong tunjangan tertentu dengan empuk dan langsung disetujui? Sikap keras kepala dipunyai semua orang. Mempengaruhi orang lain, terutama atasan atau para senior untuk mengambil alih inisiatif anda adalah sebuah paradox besar. Apalagi bila kita masih dianggap sebagai ‘outsider’. Tetapi, kita juga mesti tetap sadar bahwa dalam kehidupan karir kita, menjual ide tetap merupakan kewajiban.
Mengikuti arus, irama, bahasa yang beredar disebuah kelompok akan membawa efek ‘magic’ bila kita menawarkan ide baru. Apalagi bila dalam mempresentasikannya kita sudah siap menggunakan kata-kata yang positif, memuat manfaat bagi atasan dan organisasi, dan menyajikannya dalam “business case” yang didukung bukti-bukti. Kita pun bisa memperhitungkan bahwa tidak selamanya individu itu auditif, visual atau kinestetik. Untuk itu kita perlu bisa berganti gaya presentasi untuk menembus pikiran penerima ide. Terkadang dengan membantunya memvisualisasikan atau memperagakan ide kita. Inga : ”A picture is worth a thousand words.” Orang tidak senang mengaku bahwa mereka tidak mengerti, padahal setiap dari kita mengerti bahwa orang tidak akan membeli ide yang tidak dipahaminya.
Pastikan “Alignment”
Tentunya ada alasan mengapa perusahaan melakukan praktik-praktik manajemen. Demikian juga ada alasan mengapa atasan memangku jabatan dan tugasnya. Seorang junior yang baru masuk dan ambisius bisa saja penuh dengan ide-ide baru. Hanya saja, ada kemungkinan bahwa ide baru itu belum sejalan dengan sasaran dan visi perusahaan. Untuk itu, kita pun perlu mengecek, memperhatikan dan bertanya apakah ide ini tetap sejalan dan menunjang upaya-upaya yang sudah ada saat ini.
Kita memang terkadang tidak bisa ambisius dan mengira jual ide bisa diselesaikan dalam sekejap atau satu kali saja. Kita perlu menggunakan multi media dan perlu berobsesi dalam menjual ide ini. Mengingat kita menjual ide ke manusia lain, hubungan antar manusia juga sangat menentukan kesuksesan kita dalam berjualan ide. Bila dalam mengungkapkan pendapat, salah satu ‘audience’ kita sudah mengenal ide tersebut dan sudah “membeli” sebagian ide kita, pastinya orang ini akan berperan sebagai ‘co-champion’ kita. Ide adalah produk manusia pekerja yang tidak pernah habis. Ide tidak ada artinya bila belum terimplementasi. Kadang-kadang kita perlu menunggu tahap demi tahap agar keseluruhan ide terealisasi. Namun, kita tetap perlu bergerak aktif, mencari celah untuk bisa menjual ide demi kemajuan tim dan organisasi.
(Dimuat di KOMPAS, 11 Desember 2010)