Kita lihat berita seorang tahanan yang bebas keluar-masuk rutan dalam masa tahanannya, menjadi pembahasan panjang, dikomentari dan menjadi headline berita. Ya, kebenaran memang dilanggar, nurani kita pun terusik. Padahal, kita juga sadar bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang baru terjadi. Siapa yang tidak pernah mendengar kabar angin ada ‘helipad’ di penjara yang kebetulan dihuni oleh salah satu orang terkaya di Indonesia? Siapa yang tidak tahu bahwa banyak tahanan berkeliaran dan bisa pulang dengan alasan sakit ke rumah? Memberi dan menerima insentif atau suap, bukankah juga begitu sering kita temui? Disadari atau tidak, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, korupsi waktu, juga kerap kita lakukan tanpa merasa bersalah, bukan? Jika kita sekarang ramai membicarakan cara memusnahkan jaringan ‘servis’ yang ada di penjara atau mematikan korupsi atau tindakan kebohongan yang beredar di setiap sudut di lingkungan kita, tentu kita pun perlu serius memikirkan kebenaran dalam tiap langkah dan perbuatan dalam diri kita dan sekitar kita juga.
Bisakah Dibelokkan?
Pada awal abad yang lalu penulis Oscar Wilde, menyatakan: ”The truth is rarely pure and never simple”. Dengan semakin canggihnya praktis bisnis, kita rasakan kebenaran pun memang semakin samar. Bukan tindakan korupsi yang sudah jelas-jelas salah, tetapi juga janji yang tidak ditepati, kebenaran yang ditutup-tutupi, jalan pintas, pinjaman bank dengan agunan yang tidak sama nilainya, bahkan ketidaksanggupan membayar hutang sering dipindahkan tanggung jawabnya keluar individu. “Siapa suruh banknya memberi bunga yang mencekik” demikian seorang debitur yang tidak sanggup membayar cicilan”. Hal yang mencengangkan adalah kebenaran yang sudah dikuakkan, disaksikan semua orang, bisa-bisanya diputarbalikkan, atau bahkan dilupakan secara berjamaah.
Kita bisa merasakan betapa jeritan untuk menegakkan kejujuran seolah-olah tindakan menggapai pelangi. Teman saya yang terkenal berintegritas masih mengatakan:”Yah, kalau seorang pejabat mengeluarkan begitu banyak uang untuk memperoleh jabatannya, kemudian melakukan tindak korupsi untuk membayarnya kembali, itu masuk akal…”. Kita lihat bahkan kejujuran atau kebenaran bisa begitu ‘mudah’-nya dibicarakan seakan bisa di “gunting-copot” dari pribadi kita, tergantung situasinya. Seolah-olah, secara personal mungkin seseorang bisa sangat-sangat jujur, tetapi untuk kepentingan politik, kejujuran terpaksa dibelokkan.
Bukan Semata Teori
“Ah,teori….”Komentar ini terdengar di sebuah ruang tunggu sopir di sebuah gedung, ketika wacana mengenai pembubaran rutan yang berjaringan korupsi, penegakan disiplin, dan hukuman bagi koruptor dibicarakan. Bicara memang mudah, namun implementasi adalah tantangan yang sesunnguhnya. Kita tidak bisa menilai sebuah perusahaan, lembaga atau negara dari pernyataan, slogan dan “company profile”-nya saja. Budaya yang sebenarnya selalu ‘unspoken’, hanya bisa diobservasi. Realita kejujuran hanya bisa tergambar pada perilaku, terutama perilaku pemimpinnya, bagaimana sistem dijalankan, serta simbol-simbol yang ada secara konsisten.
Perusahaan yang mengutamakan efisiensi, pasti tidak akan sembarangan dalam menandatangani cek pembayaran dan akan melakukan negosiasi habis-habisan. Perusahaan yang mengumandangkan servis, tidak mungkin memperlakukan pelanggan atau komplen pelanggan secara asal-asalan. Pemilik perusahaan IKEA, Ingvar Kamprad, sangat menjunjung tinggi filosofi perusahaannya yang ekonomis, sederhana dan fungsionalnya. Meski terkenal kaya raya, ia membuktikan filosifinya dalam kebiasaan antri kalau ada ‘sale’, bepergian dengan kelas ekonomi, dan menjalankan hidup secukupnya secara konsisten. Di sini kita belajar untuk senantiasa mengevaluasi, seberapa jauh kita “menghidupkan” nilai-nilai kebenaran dalam tindakan sehari-hari? Apakah kebenaran baru sebatas slogan dan hiasan bibir saja, atau benar-benar sudah bisa terasa, terbaca, terlihat secara nyata oleh orang lain?
Benarkah budaya kejujuran tidak bisa ditransformasikan lagi?
Tanpa kita sadari, pelajaran kebohongan bisa dimulai sejak kecil. “Bilang saja ayah sedang tidak di rumah….” Demikian perintah seorang ayah yang menolak berbicara di telpon. Bisa juga tindakan jujur seorang anak, tidak sempat di ‘reward’ oleh orang tua ataupun gurunya. Misalnya saja, bila seorang anak mengembalikan barang yang sangat menarik, milik temannya, disaksikan oleh gurunya, ia tidak mendapat pujian yang layak, sehingga kita melewatkan momentum pelajaran kejujuran yang berharga.
Bila saja mulai dari lingkungan kecil, kita dibiasakan dan diberikan contoh kongkrit agar semua orang ‘berkata jujur’, apapun konsekuensinya, kita sudah memulai gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi bila kita “menjual” konsep bahwa dengan berkata jujur kita tidak membuat masalah semakin “ribet”. Larry Johnson dalam bukunya ‘Honesty pays”, mengatakan “Do your homework first, open the debate, open your ears, open your mouth and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes atau perbedaan pendapatnya. Dengan demikian, kita bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk menegakkan kejujuran. Pembuktian terhadap menangnya kejujuran adalah penyelesaian masalah yang jelas dan terbuka, sehingga setiap orang mempunyai spirit dan tetap bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sikap jujur lebih baik daripada tidak.
(Dimuat di KOMPAS, 20 November 2010)