Saya mendengar seorang anak buah mengomentari atasannya,”Dia memaksa kita menegakkan aturan absensi, tapi dia sendiri tidak mau absen. Alasannya dia bekerja dari rumah, memeriksa pe kerjaan dan mengirimkan email, sejak pukul 4 pagi. Tapi, bukankah dia juga tidak memberi contoh?”. Bawahan lain berkomentar,”Dia tidak mengukur kemampuan bawahan, semuanya dia atur berdasarkan ukurannya sendiri. Bukankah kita tidak punya kapasitas sama dengannya?” Posisi atasan memang jelas-jelas lebih “terlihat”, gerak-geriknya diikuti, sikapnya diperhatikan orang dan sudah pasti dikomentari. Ada atasan yang peka, namun ada juga yang pura-pura tidak tahu. Ada atasan yang terganggu, mencari tahu siapa yang memberi komentar memprovokasi, namun ada juga yang melihat ini sebagai kenyataan hidup yang harus dinikmati saja. Pantas saja kita kerap menemukan atasan yang akhirnya menutup telinga ketat-ketat dan akhirnya menjadi “single player”, melakukan ‘one man show’ atau bahkan menjadi diktator, juga menghindar untuk berkomunikasi dengan bawahannya. Situasi ini memang dilematis, karena bisa membuat atasan jadi jauh dari tim, kemudian kesulitan untuk menemukan perbaikan dalam diri sendiri, tim dan anak buah.
Manfaatkan Kegagalan Tim
Seorang ahli manajemen pernah mengemukankan bahwa salah satu tes, untuk melihat bagus tidaknya seorang atasan atau pemimpin adalah bagaimana sikapnya dalam menghadapi kesalahan yang dibuat anak buah. Ada atasan yang mengatakan:”Yah, kalau sudah terjadi mau diapakan lagi…”, tanpa menyadari bahwa kejadian tersebut bisa dijadikan ajang pembelajaran yang baik. Ada atasan yang langsung menghukum dan mengeluarkan surat peringatan. ”Kalau tidak, mereka tidak pernah belajar dari kesalahan! Mereka harus bisa menghitung, berapa kerugian perusahaan sebagai akaibat dari kecerobohannya”. Atasan lain bisa juga menggunakan prinsip:”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya, sekali berbuat kesalahan, anak buah langsung dicoret dari daftar orang yang kompeten. Alangkah merugikannya situasi-situasi demikian!
Kegagalan dan kesalahan biasanya memang dilakukan oleh bawahan, bukan atasan langsung. Namun, bukankah kita perlu ingat ungkapan:”Failure sucks but instructs”, dan “No learning without failure”?. Kita memang juga perlu bersikap hati-hati dengan kesalahan, apalagi bila bersinggungan dengan nyawa manusia, misalnya saja kegagalan bedah atau penerbangan. Namun, seorang profesor yang menekuni kepemimpinan, mengemukankan bahwa inovasi dan kreativitas, sangat sulit terjadi bila kita tidak pernah mengalami kegagalan. Beliau mengungkapkan: "Seorang pemimpin atau atasan yang sukses biasanya adalah pemimpin yang justru bisa mengelola kesalahan-kesalahan yang terjadi, bahkan sudah memprediksinya, namun ia tetap mampu mengajak seluruh tim mengambil manfaat dari kondisi tersebut.” Kita memang perlu berlatih untuk mengkomunikasikan kesalahan yang terjadi secara diplomatis. Rasa bersalah, merasakan kegagalan perlu ada, bahkan sense of crisis dan urgensinya, tetapi semangat “bouncing back” tetap harus terjaga. Mengemukakan kesalahan di dalam sebuah forum sebenarnya juga tidak salah, apalagi bila membahasnya sebagai studi kasus, tetapi tentunya pelaku kesalahan tidak boleh merasa terbantai, malu sehingga semua orang ‘belajar’ untuk takut berbuat salah. Dalam sebuah ‘learning organization” semua kesalahan harus tercatat dan didokumentasikan sebagai bahan pelajaran bagi generasi berikutnya.
Dimaafkan? Diingat? Atau Dilupakan?
Pernahkah menemukan atasan yang bersikap mengancam dan mengatakan: “Sekali berbuat salah, kamu akan saya pindahkan ke posisi yang tidak menyenangkan” atau “Kalau saya bisa tidak berbuat salah, anda juga bisa”. Bayangkan bagaimana suasana tim yang tercipta dengan pendekatan ini. Suasana yang mencekam sudah pasti akan mematikan kreativitas tim, sekaligus mematikan kepercayaan anak buah pada atasannya.
Jika kita sungguh-sungguh ingin menjadi atasan yang baik, kita memang perlu bermain di tepi jurang kesuksesan dan kesalahan. Atasan yang baik siap dengan langkah mundur, punya kemampuan membangun ‘trust’ anak buah dan memberi atmosfir yang menyediakan rasa aman secara psikologis. Kesalahan yang diungkit-ungkit terus tentu saja hanya menimbulkan rasa malu, menjatuhkan moral dan memupuk sakit hati pada orang yang melakukan kesalahan. Namun, sebetulnya tidak berarti juga bahwa kesalahan harus dimaafkan dan kemudian dilupakan. Hal yang paling penting tentu adalah memaafkan dan sekaligus mengajak timnya untuk mengingat kesalahan tersebut agar bisa belajar dari kesalahan yang pernah terjadi. Kita perlu punya kemampuan untuk memaafkan karena kesadaran bahwa manusia tidak mungkin beroperasi dengan zero error. Tantangan atasan adalah untuk tidak berfokus semata pada kesalahan dan kerugian saja, namun mem-balance antara komunikasi asertif dan diplomasi. Kita tentu juga perlu menghadapi sikap defensif bawahan dan menembusnya secara halus dan menyenangkan.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah sikap objektif. Seorang teman saya yang sukses, mengatakan bahwa ia selalu mengingatkan bawahannya untuk menyampaikan berita disertai fakta, contoh juga nama pelaku. “Semua komentar umum dan tidak spesifik, tidak akan masuk pertimbangan saya”. Ia berkata bahwa untuk menilai kesalahan kita tidak bisa menggunakan asumsi dan berandai-andai karena akan menyulitkan dalam mengkalkulasikan resiko dan memprediksikan kerugian maupun keuntungan dengan lebih tepat. Dengan senantiasa berorientasi pada objektivitas, kita bisa membuat diri kita menjadi atasan yang lebih “cool”, karena segala kecelakaan, kesalahan dan kerugian sudah terhitung. “Bila data sudah di tangan, kita tinggal memikirkan action yang akan dilakukan.”, demikian komentarnya.
(Dimuat di KOMPAS, 13 November 2010)